Pertemuan yang
dinanti-nanti itu pun akhirnya datang juga. Ya, pertemuan Kelas Belajar Menulis
Nusantara (KBMN) gelombang 28 pada hari Senin, 23 Januari 2023 mulai pukul
19.00 WIB dengan obyek pembahasan tentang ‘virus’ yang sering menghinggapi
penulis. Muncul pertanyaan menarik, bagaimana jurus jitu menangkal ‘virus’
tersebut? Pertanyaan tersebut akan dijawab dan dibahas tuntas oleh narasumber
yang hebat dan inspirator Ibu Ditta Widya Utami, S.Pd., Gr. (seorang guru
berprestasi dan sangat menginspirasi sekaligus alumnus KBMN gelombang ke-7) dengan
dipandu moderator yang tidak kalah hebat dan produktif Ibu Raliyanti, S.Sos.,
M.Pd. Ayo ikuti ulasannya!
Menarik ungkapan yang
disampaikan Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay) sebelum dimulainya pertemuan pada
hari ini, “Di dalam kesulitan itu pasti ada kemudahan. Namun sebaliknya di
dalam kemudahan itu justru ada kesulitan. Kita sendiri yang menciptakan
kesulitan demi kesulitan sehingga hidup terasa sulit”. Omjay juga berpesan,
“Tak ada penulis yang malas membaca. Ingatlah mantra ajaib Omjay. Membaca
lah setiap hari dan buktikan apa yang terjadi. Banyak membaca akan membuat Anda
keliling dunia. banyak ilmu dan pengetahuan Anda dapatkan. Banyak pengalaman
orang lain bisa Anda tiru dan kemudian Anda amalkan dalam kehidupan
sehari-hari”.
Tidak kalah ciamik-nya,
moderator Ibu Raliyanti memulai pertemuan ini dengan satu pantun pembuka,
“Masih terasa euforia pertemuan sebelumnya # Tantangan menulis dari Prof Eko
yang menggoda # Semoga buku bisa terwujud nyata # Tanpa ada writer’s block
yang melanda”. Moderator kali ini sangat produktif, di mana ia berhasil
mewujudkan buku pertamanya “Wujudkan Mimpi Terbitkan Buku” kemudian di tahun
berikutnya lahir buku solo yang kedua dengan judul “Guru di Era Digital”.
Selain itu, ada 17 judul buku antologi yang dimilikinya baik fiksi maupun
nonfiksi. Semua ini terwujud karena Ibu Raliyanti punya mimpi, termotivasi
karena komunitas ini dan mendapat support serta ilmu dari narasumber hebat yang
ikhlas berbagi tanpa pamrih. Masya Allah!
Memasuki inti
pertemuan, narasumber Ibu Ditta Widya Utami menyapa para peserta dengan sapaan
yang hangat dan inspiratif. Ibu Ditta ingin berbagi pengalaman menulis yang
nantinya berkaitan dengan tema pada pertemuan kali ini. Ibu Ditta
menginformasikan kalau ia mempunyai akun di Kompasiana dan Blogspot, sekaligus
menyatakan bahwa siapa pun yang ingin menjadi penulis handal, maka harus
siap dengan prosesnya. Tidak bisa instan tentu. Diperlukan jam terbang yang
cukup banyak agar bisa menjadi penulis hebat dan profesional.
Ibu Ditta Widya Utami
sendiri mulai kecil (sebelum SD) sudah senang membaca buku-buku cerita dan
senang menulis sejak di Sekolah Dasar (dalam buku diary). Lalu saat SMP, sering
mengirim tulisan ke mading sekolah dan pernah menulis cerita di buku tulis yang
dibaca bergiliran oleh teman-teman. Atas arahan guru bahasa Inggris, ia juga
menulis diary dalam bahasa Inggris. Ketika SMA, ia masih tetap menulis diary.
Beberapa teman dekat yang membaca diary-nya sempat berkomentar bahwa tulisannya
sudah seperti novel. Namanya anak remaja, banyak emosi yang dituangkan dalam
catatan Ditta remaja. Namun belakangan, ia tahu bahwa menulis apapun yang kita
rasakan bisa menjadi self healing yang baik. Bahkan saat ini, beberapa
psikolog ada yang menyarankan kepada para pasiennya untuk menulis sebagai salah
satu cara mengatasi depresi dan sebagainya.
Rupanya kebiasaan
menulis tersebut memberi banyak manfaat. Misalnya ketika kuliah, Ibu Ditta Widya Utami pernah membuat buku Petualangan Kimia bersama rekannya dan diikutsertakan dalam
Lomba Kreativitas Mahasiswa di jurusan. Alhamdulillah meraih posisi kedua. Dan
di saat Ibu Ditta Widya Utami kuliah, ia menulis proposal bersama teman-temannya dan
berhasil mendapat dana hibah untuk asosiasi profesi dari Dikti hingga 40 juta
(di tahun 2009-2010 jumlah tersebut tentu sangat besar). Ibu Ditta Widya Utami bersyukur,
karena berawal dari arahan untuk membuat resume, ia kemudian kembali aktif
menulis di blog. Bahkan berkesempatan menulis bersama Prof. Richardus Eko
Indrajit dan menjadi 1 di antara 9 orang (angkatan pertama tantangan Prof Eko)
yang bukunya terbit di penerbit mayor. Karena terbiasa menulis juga, Ibu Ditta Widya Utami bisa menyelesaikan esai di seleksi Calon Pengajar Praktik Pendidikan Guru
Penggerak Angkatan 3 dan lulus (saat ini sedang bertugas lagi di Angkatan 6).
Ibu Ditta Widya Utami menyatakan
bahwa di antara manusia ada yang menulis karena hobi, kebutuhan, tuntutan
profesi, dan lain sebagainya. Apa pun alasannya, aktivitas menulis memang tak
bisa lepas dari kita sebagai makhluk yang berbahasa dan berbudaya. Nah, lalu
apa kaitannya cerita Ibu Ditta Widya Utami dengan writer’s block?
Pertama, mari kita
samakan persepsi bahwa aktivitas menulis itu maknanya luas. Sebagaimana dalam
kisah di awal, ada tulisan pribadi dalam bentuk diary, ada karya tulis ilmiah,
cerpen, artikel, resume, dan sebagainya. Menulis adalah kata kerja
yang hasilnya bisa sangat beragam. Oleh karena itu tak hanya novelis,
cerpenis, jurnalis, atau blogger, namun ada juga copywriter
yang tulisannya mengajak orang untuk membeli produk, ada content writer
yang bertugas membuat tulisan profesional di website, ada script writer
penulis naskah film/sinetron, ada ghost writer, techincal writer, hingga
UX writer, dan lain-lain.
Faktanya,
penulis-penulis tersebut masih bisa terserang virus WB alias Writer’s
Block. Tak peduli tua atau muda, profesional atau belum, Writer’s
Block (WB) bisa menyerang siapa pun yang masuk dalam dunia kepenulisan.
Oleh karena itu, penting bagi seorang penulis untuk mengenali WB dan cara
mengatasinya. Karena Writer’s Block ini bisa menjangkit dalam hitungan
detik, menit, hari, minggu, bulan, bahkan tahunan. Tergantung seberapa cepat
kita menyadari dan mengatasinya.
Sederhananya, writer’s
block adalah kondisi di mana kita mengalami kebuntuan menulis. Tak lagi
produktif atau berkurang kemampuan menulisnya. Hal ini bisa terjadi dengan
disadari ataupun tidak. Istilah writer’s block sebenarnya sudah ada
sejak tahun 1940-an. Diperkenalkan pertama kali oleh Edmund Bergler, seorang
psikoanalis di Amerika. Berkaca dari pengalaman, writer’s block ini bisa
terjadi berulang. Me-reinfeksi kita sebagai penulis. Itulah mengapa Ibu Ditta Widya Utami mengatakan bahwa writer’s block ini sebagai “virus” yang sesekali bisa
aktif bila kondisinya memungkinkan. Ibarat penyakit, tentu akan lebih mudah
disembuhkan bila kita mengetahui faktor penyebabnya, bukan? Begitu pula dengan writer’s
block. Agar bisa terhindar atau segera terlepas dari writer’s block,
maka kita perlu mengenali penyebabnya.
Ibu Ditta Widya Utami menjelaskan
beberapa hal yang dapat mengakibatkan writer’s block:
ü Mencoba metode/topik baru dalam menulis
sebenarnya bisa menjadi penyebab sekaligus obat untuk writer’s block.
Misal ketika jadi penyebab: Ada orang yang senang menulis cerpen atau puisi.
Kemudian tiba-tiba harus menulis KTI (Karya Tulis Ilmiah) yang tentu saja
memiliki struktur dan metode penulisan yang berbeda. Bila tak lekas
beradaptasi, bisa jadi kita malah terserang writer’s block.
Lalu bagaimana hal tersebut bisa
menjadi salah satu obat writer’s block? Jawabannya akan berkaitan dengan
faktor penyebab writer’s block yang kedua dan ketiga.
ü Dalam
kamus Psikologi, stres diartikan sebagai ketegangan, tekanan, tekanan
batin, tegangan dan konflik.
ü Lelah fisik/mental akibat
aktivitas harian yang padat juga dapat memicu stres. Pada akhirnya, jangankan
menulis, kita bisa merasa jenuh dan suntuk serta terserang writer’s block.
Maka, mencoba hal baru dalam menulis bisa jadi alternatif solusi.
Mempelajari hal-hal baru yang berbeda dengan sebelumnya pasti menyenangkan.
Beberapa teman dan juga Ibu Ditta Widya Utami terkadang memilih untuk sejenak rehat dan
melakukan hal yang disukai untuk refreshing.
Membaca buku-buku
ringan untuk cemilan otak juga bisa jadi solusi mengatasi writer’s block.
Biar bagaimanapun, writer’s block bisa terjadi karena kita belum bisa
mengekspresikan ide dalam bentuk kata. Dengan membaca, kita bisa menambah
kosakata. Pada akhirnya, jika diteruskan insya Allah bisa sekaligus
mengatasi writer’s block.
ü Terakhir
yang bisa menyebabkan writer’s block adalah terlalu perfeksionis.
Teringat kisah Ibu Ditta Widya Utami menulis diary berbahasa Inggris yang diceritakan di
awal? Jika dibuka kembali diary berbahasa Inggris yang ditulisnya saat duduk di
kelas 2 SMP, ia akan tersenyum bahkan tertawa sendiri. Bagaimana tidak?
Grammar-nya saja banyak yang tidak sesuai, tetapi ia tetap PD (Percaya
Diri) menulis, bahkan ini tidak satu diary saja, ada dua atau tiga diary. Tapi,
justru itulah salah satu kunci menghadapi writer’s block.
Bila saat itu Ibu Ditta Widya Utami terlalu
perfeksionis, terlalu memikirkan apakah tulisannya sudah sesuai kaidah atau
belum, niscaya diary berbahasa Inggris itu tidak akan pernah rampung. Kondisi
menulis di mana kita tidak memikirkan salah eja, salah ketik, koherensi dan
sebagainya ternyata dalam dunia psikologi dikenal dengan istilah free
writing atau menulis bebas.
Merespon
hal di atas, Ibu Ditta Widya Utami bertanya kepada para peserta apakah masih ada yang
khawatir kalau tulisannya tidak dibaca? khawatir dinyinyir orang? khawatir
dikritik ahli? khawatir tulisannya tidak bagus? dan masih banyak kekhawatiran
lainnya. Untuk menjawab kekhawatiran tersebut Ibu Ditta mengajak untuk mencoba
menulis bebas guna mengatasi salah satu penyebab writer’s block. Bukankah
tulisan yang buruk jauh lebih baik daripada tulisan yang tidak selesai?
Menutup
catatan pertemuan ini, kiranya perlu ditampilkan 1 atau 3 pertanyaan dari
peserta guna semakin membuka wawasan dan informasi bagaimana jurus jitu menangkal virus writer’s block
ini, di antaranya:
1. Pertanyaan dari Ibu Indah (Banjarnegara),
“Bagaimana cara mengatasi writer’s block saat kita mengikuti 3 pelatihan
sekaligus, seperti yang dialami saat ini, saya mengikuti pelatihan KBMN 28,
tapi juga minat dengan tantangan Prof Ekoji, dan juga program dari Pak Dail
(semuanya hanya membutuhkan waktu singkat). Kadang kalau digunakan untuk
membaca-baca seperti ada waktu yang hilang. Mohon pencerahannya agar semuanya
dapat terselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan”.
Jawaban Ibu Ditta Widya
Utami: Setengah dari pertanyaan adalah jawaban. Saya yakin
sebetulnya Ibu Indah sudah tahu jawaban cara mengatasi writer’s block
yang berkaitan dengan waktu. Kalau saya di posisi ibu, saya akan membuat skala
prioritas dan jadwal menulis. Insya Allah ketiga-tiganya akan bisa dijalani
dengan baik asal kita istiqamah dengan jadwal yang telah kita tetapkan. Cari
dan kenali waktu emas Ibu Indah dalam menulis (karena tiap orang bisa berbeda).
Apakah Ibu Indah senang menulis di kala shubuh? sebelum tidur? saat jeda istirahat?
Menulislah di waktu terbaik tersebut.
2. Pertanyaan dari Wahyuning (Jakarta Pusat),
“Kalimat akhir yang menusuk di dada, tulisan buruk lebih baik daripada tulisan
yang tidak selesai. Nyesek dadaku Ibu guru hehe . . . tapi boleh donk berikan
tips dan trik dari Ibu Ditta yang cantik ini untuk saya agar bisa menyelesaikan
satu persatu karya yang masih menjadi draft di laptop? terima kasih”.
Jawaban Ibu Ditta Widya
Utami: Eheheh . . . Tenang-tenang, saya juga pernah kok
membuat tulisan-tulisan buruk. Tapi toh itu tetap berkesan ketika dibaca ulang.
Tips dari saya, coba buka kembali kemudian kelompokkan. Siapa tahu jadi buku.
Buku solo pertama saya berjudul “Lelaki di Ladang Tebu” juga asalnya kumpulan
draft cerpen di laptop. Kuatkan tekad, olah kembali. Kalau bisa sambil
membuat daftar isi. Mulai dari akhir (bayangkan bukunya sudah jadi, bukan
sekedar draft lagi). Dan tentu saja: mulai menulis. Mari kita ingat
bersama bahwa menulis adalah kata kerja. Artinya harus dilakukan
baru ia akan bermakna. Semangat!
3. Pertanyaan dari R. Agung PS (Jakarta),
“Saya sudah merasakan writer’s block ketika tulisan saya sedikit yang
membaca. Muncul di sana keengganan untuk menulis lagi. Apakah yang harus saya
lakukan? Menulis dengan topik aktual tetapi kurang dikuasai, atau terus menulis
tanpa menghiraukan jumlah pembaca”.
Jawaban Ibu Ditta Widya
Utami: Pak Agung, saya juga pernah merasa di posisi Pak
Agung. Sedih memang ketika sudah menulis dengan kesungguhan hati namun masih
sedikit yang membaca. Tapi, kalau boleh saya tanyakan, apa sebetulnya niat
Pak Agung dalam menulis? Seingat saya Prof Eko juga menyarankan agar kita
menulis sesuai dengan minat kita atau yang kita kuasai. Namun, jika niat Pak
Agung memang menulis agar bisa dibaca banyak orang, banyak cara yang bisa
ditempuh. Tetap konsisten menulis dan berbagi tulisan, atau ikut kelas menulis
khusus untuk freelance seperti ghost writer, content writer,
dan lain-lain. Berbeda jika ternyata Pak Agung memiliki niat lain misal, untuk
berbagi pengalaman maka jangan jadikan jumlah pembaca sebagai patokan, karena
setiap penulis akan menemukan takdir pada para pembacanya. Yakin bahwa setiap
tulisan yang kita buat akan tetap bermanfaat walau hanya untuk satu orang.
Bukankah satu tulisan yang bermanfaat atau menginspirasi bagi satu orang, akan
lebih baik daripada tulisan yang dibaca banyak orang tapi mudah dilupakan? Saya
yakin, jika Pak Agung tetap menulis, kelak tulisan Pak Agung akan dibaca oleh
banyak orang, sebanyak yang Pak Agung mau, insya Allah. Semangat Pak.
Benar-benar ilmu dan
informasi yang sangat mencerahkan dan inspiratif. Kita sebagai penulis atau
calon penulis disuguhkan bagaimana tips dan trik dalam menangkal dan
menaklukkan virus writer’s block ini. Selamat menulis!