Sabtu, 21 Januari 2023

GURU DAN BUKU

Peran strategis guru sangat mendasar yaitu sebagai pejuang intelektual yang menyiapkan generasi berikutnya agar menjadi generasi yang baik. Ada beragam julukan yang diberikan kepada sosok guru. Salah satu yang paling terkenal adalah “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Julukan ini mengindikasikan betapa besar peran dan jasa yang dilakukan guru sehingga guru disebut sebagai pahlawan, walaupun ‘penghargaan’ terhadap guru terkadang tidak sebanding dengan besarnya jasa yang telah diberikan. Guru adalah sosok yang rela mencurahkan sebagian besar waktunya untuk mengajar dan mendidik peserta didik agar menjadi generasi unggul di masa depan. Minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dibutuhkan peserta didik tidak akan berkembang optimal tanpa bantuan guru.

Mohammad Fauzil Adhim dalam pengantar buku “Spiritual Teaching” mengatakan bahwa bagi seorang guru, yang paling menentukan kesungguhan mengajar bukanlah gaji, meski gaji yang tidak mencukupi kebutuhan dasar memang dapat mengganggu ketenangan dan totalitas mengajar. Sebaliknya, bertambahnya gaji yang tidak diiringi oleh kuatnya komitmen sebagai guru tidak cukup memadai untuk membuat seorang guru mengajar dengan totalitas. Sungguh, bukan besarnya gaji dan tunjangan yang membuat seorang guru bisa senantiasa tersenyum menghadapi muridnya yang sering berulah. Tetapi, seberapa kuat panggilan jiwa mengantarkan ia berdiri di depan kelas, berada di tengah murid-muridnya yang beragam jenis dan asalnya.

Seorang guru yang mengajar karena panggilan jiwa serta memiliki misi untuk mengantarkan anak didiknya kepada kehidupan yang lebih baik secara intelektual dan sosial, akan bisa mengalirkan energi kecerdasan, kemanusiaan, kemuliaan, dan keislaman yang besar dalam dada setiap muridnya, bahkan sesudah ia mati. Guru yang mengajar dengan mental seorang pendakwah sekaligus pengasuh –bukan dengan mental tukang teriak untuk mendapat upah bulanan bernama gaji– akan mampu menyediakan cadangan energi, agar tetap lembut menghadapi murid yang membuat kening berkerut.

Guru adalah sosok penting yang cukup menentukan dalam proses pembelajaran. Walaupun sekarang ini ada berbagai sumber belajar alternatif yang lebih kaya, seperti buku, jurnal, majalah, internet, maupun sumber belajar lainnya, namun guru tetap menjadi kunci untuk optimalisasi sumber-sumber belajar yang ada. Tanpa guru, proses pembelajaran tidak akan dapat berjalan secara maksimal.

Pada masa merebaknya pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, di mana guru dan para peserta didik harus melakukan proses belajar dan mengajar dari rumah dikarenakan adanya larangan berkumpul di suatu tempat, para peserta didik bisa merasakan betapa mahalnya sebuah face to face dengan guru dalam proses transfer ilmu pengetahuan. Walaupun beberapa peserta didik bisa belajar secara mandiri, namun mereka masih sangat membutuhkan pendampingan guru untuk memahami sebuah materi, hal ini selaras dengan petuah ahli hikmah مَنْ كَانَ شَيْخُهُ كِتَابُهُ فَغَلَطُهُ أَكْثَرُ مِنْ صَوَابِهِ “Barang siapa berguru hanya pada kitabnya (tanpa pengawasan dan arahan dari seorang guru) maka salahnya (dalam memahami isi kitab itu) lebih banyak daripada benarnya.

Guru dituntut untuk menjadi orang yang berwawasan dan berpengetahuan luas. Oleh karena itu, seorang guru harus selalu berusaha secara maksimal untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuannya dengan tekun menimba ilmu, karena ilmu itu tidak diperoleh lewat warisan tetapi melalui proses belajar, sebagaimana diungkapkan oleh ulama kharismatik berkaliber internasional dari Mekkah al-Mukarramah As-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki اَلْمَشِيْخَةُ لَيْسَتْ بِالْوِرَاثَةِ، وَإِنَّمَا بِالتَّعَلُّمِ وَالطَّلَبِ “Menjadi seorang guru bukan dengan warisan, akan tetapi dengan belajar dan menuntut ilmu. Guru yang tidak pernah mau meng-up grade pengetahuannya ibarat sebuah kaset yang terus menerus diputar ulang tanpa ada revisi dan penambahan sama sekali.

Di antara cara untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan adalah dengan membaca. Guru dan membaca bagaikan dua sisi mata uang. Satu dan lainnya saling menunjang peran dan fungsi masing-masing. Adalah kekeliruan yang besar pendapat orang yang menganggap membaca itu membuang-buang waktu. Membaca adalah pekerjaan besar bagi orang-orang berperadaban. Dengan membaca buku atau lainnya maka guru akan mengetahui perkembangan kurikulum, sistem pengajaran, dan dasar-dasar teori belajar terbaru. Dengan demikian, maka guru dapat mengembangkan dan mendesain sistem pengajaran menjadi lebih efektif, serta mampu mengevaluasi pembelajaran secara potensial, dan sebagai titik akhirnya adalah mampu menghantarkan pembelajaran peserta didik dengan sukses.

Seorang guru memang idealnya senantiasa bercakap-cakap dengan buku, bersahabat dengan ilmu, dan berteman dengan pengetahuan, sebagaimana dikatakan خَيْرُ جَلِيْسٍ فِي الزَّمَانِ كِتَابٌ “Sebaik-baik teman duduk di setiap waktu adalah buku. Bahkan untuk mengetahui dahsyatnya manfaat membaca bagi seorang guru, cukuplah direnungkan dan dipahami petuah bijak yang menyatakan الْقِرَاءَةُ أُسْتَاذٌ عَالِمٌ بِكُلِّ عِلْمٍ “Membaca adalah guru yang pandai dalam semua bidang ilmu.

Posisi buku bagi seorang guru sangatlah penting. Guru sebagai orang yang berilmu hendaklah selalu dekat dengan buku, sehingga sesuai dengan ungkapan لَا فَخْرَ إِلاَّ بِالْكِتَابِ وَالْمِحْرَابِ “Tidak ada kebanggaan kecuali dengan kitab (bagi orang alim yang selalu membawa kitabnya) dan dengan mihrab (bagi orang saleh yang selalu melaksanakan ibadah dalam mihrabnya). Dua hal yang patut dibanggakan dan selain itu tidak layak untuk dibanggakan karena tidak membawa kebaikan di akhirat kelak dan malah justru membahayakan.

Mengutip pernyataan Ngainun Naim di dalam buku “Spirit Literasi” bahwa profesi apapun sesungguhnya akan dapat berkembang dengan pesat manakala diikuti dengan membangun tradisi membaca secara baik pula. Dengan dukungan tradisi membaca yang kokoh, kualitas pekerjaan yang dijalankan akan menjadi lebih bermutu dan berkualitas. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa membaca tidak hanya menelusuri deretan teks, tetapi juga membuka Pandora pengetahuan. Semakin luas pengetahuan seseorang semakin terbuka wawasan dan kreativitasnya. Bagi seorang guru membaca idealnya menjadi sebuah hobi dan tradisi. Bahkan seorang pengarang asal Rusia, Joseph Brodsky, menyatakan “Ada beberapa kejahatan yang lebih buruk daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membaca buku.

Mungkin kita tidak sepenuhnya sepakat dengan pernyataan ini. Tetapi jika kita memetik kandungan maknanya, apa yang dikatakan Brodsky ini sesungguhnya merupakan bentuk penekanan akan arti penting kegiatan membaca sehingga tidak membaca buku dinilai oleh Brodsky sebagai sebuah kejahatan.

Guru dan buku kalau boleh diibaratkan seperti sepasang suami-istri yang saling melengkapi dan mendukung dalam bekerja sebagai motor sebuah keluarga. Buku demi buku yang terus dikoleksi oleh guru menjadi energi baginya, sekaligus menjadi referensi untuk bisa belajar dan mengajar lebih efektif dan kreatif, walaupun terkadang menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk menikmatinya dikarenakan waktu dan kesempatan membaca tidak seimbang. Cara terbaik untuk membangun kebiasaan senang dan giat membaca buku adalah dengan meningkatkan motivasi internal. Guru sendiri yang harus menyadari bahwa membaca buku itu penting karena buku adalah jendela dunia. Selamat membaca!

Sumber Bacaan:

Munir, Abdullah. 2006. Spiritual Teaching: Agar Guru Senantiasa Mencintai Pekerjaan dan Anak Didiknya, Cetakan Ke-10, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.

Naim, Ngainun. 2019. Spirit Literasi: Membaca, Menulis, dan Transformasi Diri, Cetakan Pertama, Tulungagung: Akademia Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejak Waktu: Memetik Hikmah di Setiap Langkah Perjalanan Hidup

“ Waktu adalah perjalanan, ambillah pelajaran dari setiap kejadian ” adalah ungkapan yang menggambarkan bagaimana waktu tidak hanya berger...