Peran strategis
guru sangat mendasar yaitu sebagai pejuang intelektual yang menyiapkan generasi
berikutnya agar menjadi generasi yang baik. Ada beragam julukan yang diberikan
kepada sosok guru. Salah satu yang paling terkenal adalah “Pahlawan Tanpa Tanda
Jasa”. Julukan ini mengindikasikan betapa besar peran dan jasa yang dilakukan
guru sehingga guru disebut sebagai pahlawan, walaupun ‘penghargaan’ terhadap
guru terkadang tidak sebanding dengan besarnya jasa yang telah diberikan. Guru
adalah sosok yang rela mencurahkan sebagian besar waktunya untuk mengajar dan
mendidik peserta didik agar menjadi generasi unggul di masa depan. Minat, bakat,
kemampuan, dan potensi-potensi yang dibutuhkan peserta didik tidak akan
berkembang optimal tanpa bantuan guru.
Mohammad Fauzil
Adhim dalam pengantar buku “Spiritual Teaching” mengatakan bahwa bagi seorang
guru, yang paling menentukan kesungguhan mengajar bukanlah gaji, meski gaji
yang tidak mencukupi kebutuhan dasar memang dapat mengganggu ketenangan dan
totalitas mengajar. Sebaliknya, bertambahnya gaji yang tidak diiringi oleh
kuatnya komitmen sebagai guru tidak cukup memadai untuk membuat seorang guru mengajar
dengan totalitas. Sungguh, bukan besarnya gaji dan tunjangan yang membuat
seorang guru bisa senantiasa tersenyum menghadapi muridnya yang sering berulah.
Tetapi, seberapa kuat panggilan jiwa mengantarkan ia berdiri di depan kelas,
berada di tengah murid-muridnya yang beragam jenis dan asalnya.
Seorang guru
yang mengajar karena panggilan jiwa serta memiliki misi untuk mengantarkan anak
didiknya kepada kehidupan yang lebih baik secara intelektual dan sosial, akan
bisa mengalirkan energi kecerdasan, kemanusiaan, kemuliaan, dan keislaman yang
besar dalam dada setiap muridnya, bahkan sesudah ia mati. Guru yang mengajar
dengan mental seorang pendakwah sekaligus pengasuh –bukan dengan mental tukang
teriak untuk mendapat upah bulanan bernama gaji– akan mampu menyediakan
cadangan energi, agar tetap lembut menghadapi murid yang membuat kening
berkerut.
Guru adalah
sosok penting yang cukup menentukan dalam proses pembelajaran. Walaupun
sekarang ini ada berbagai sumber belajar alternatif yang lebih kaya, seperti
buku, jurnal, majalah, internet, maupun sumber belajar lainnya, namun guru
tetap menjadi kunci untuk optimalisasi sumber-sumber belajar yang ada. Tanpa
guru, proses pembelajaran tidak akan dapat berjalan secara maksimal.
Pada masa
merebaknya pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, di mana guru dan para peserta
didik harus melakukan proses belajar dan mengajar dari rumah dikarenakan adanya
larangan berkumpul di suatu tempat, para peserta didik bisa merasakan betapa
mahalnya sebuah face to face dengan guru dalam proses transfer ilmu
pengetahuan. Walaupun beberapa peserta didik bisa belajar secara mandiri, namun
mereka masih sangat membutuhkan pendampingan guru untuk memahami sebuah materi,
hal ini selaras dengan petuah ahli hikmah مَنْ
كَانَ شَيْخُهُ كِتَابُهُ فَغَلَطُهُ أَكْثَرُ مِنْ صَوَابِهِ “Barang siapa berguru hanya pada
kitabnya (tanpa pengawasan dan arahan dari seorang guru) maka salahnya (dalam
memahami isi kitab itu) lebih banyak daripada benarnya.”
Guru dituntut
untuk menjadi orang yang berwawasan dan berpengetahuan luas. Oleh karena itu,
seorang guru harus selalu berusaha secara maksimal untuk meningkatkan wawasan
dan pengetahuannya dengan tekun menimba ilmu, karena ilmu itu tidak diperoleh
lewat warisan tetapi melalui proses belajar, sebagaimana diungkapkan oleh ulama
kharismatik berkaliber internasional dari Mekkah al-Mukarramah As-Sayyid
Muhammad bin Alwi al-Maliki اَلْمَشِيْخَةُ
لَيْسَتْ بِالْوِرَاثَةِ، وَإِنَّمَا بِالتَّعَلُّمِ وَالطَّلَبِ “Menjadi
seorang guru bukan dengan warisan, akan tetapi dengan belajar dan menuntut ilmu.” Guru yang tidak pernah
mau meng-up grade pengetahuannya ibarat sebuah kaset yang terus menerus
diputar ulang tanpa ada revisi dan penambahan sama sekali.
Di antara cara
untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan adalah dengan membaca. Guru dan
membaca bagaikan dua sisi mata uang. Satu dan lainnya saling menunjang peran
dan fungsi masing-masing. Adalah kekeliruan yang besar pendapat orang yang
menganggap membaca itu membuang-buang waktu. Membaca adalah pekerjaan besar
bagi orang-orang berperadaban. Dengan membaca buku atau lainnya maka guru akan
mengetahui perkembangan kurikulum, sistem pengajaran, dan dasar-dasar teori
belajar terbaru. Dengan demikian, maka guru dapat mengembangkan dan mendesain
sistem pengajaran menjadi lebih efektif, serta mampu mengevaluasi pembelajaran
secara potensial, dan sebagai titik akhirnya adalah mampu menghantarkan
pembelajaran peserta didik dengan sukses.
Seorang guru
memang idealnya senantiasa bercakap-cakap dengan buku, bersahabat dengan ilmu,
dan berteman dengan pengetahuan, sebagaimana dikatakan خَيْرُ
جَلِيْسٍ فِي الزَّمَانِ كِتَابٌ “Sebaik-baik
teman duduk di setiap waktu adalah buku.”
Bahkan untuk mengetahui dahsyatnya manfaat membaca bagi seorang guru, cukuplah
direnungkan dan dipahami petuah bijak yang menyatakan الْقِرَاءَةُ
أُسْتَاذٌ عَالِمٌ بِكُلِّ عِلْمٍ “Membaca
adalah guru yang pandai dalam semua bidang ilmu.”
Posisi buku bagi
seorang guru sangatlah penting. Guru sebagai orang yang berilmu hendaklah
selalu dekat dengan buku, sehingga sesuai dengan ungkapan لَا
فَخْرَ إِلاَّ بِالْكِتَابِ وَالْمِحْرَابِ
“Tidak ada kebanggaan kecuali dengan kitab (bagi
orang alim yang selalu membawa kitabnya) dan dengan mihrab (bagi orang saleh yang
selalu melaksanakan ibadah dalam mihrabnya).” Dua hal yang patut
dibanggakan dan selain itu tidak layak untuk dibanggakan karena tidak membawa
kebaikan di akhirat kelak dan malah justru membahayakan.
Mengutip
pernyataan Ngainun Naim di dalam buku “Spirit Literasi” bahwa profesi apapun
sesungguhnya akan dapat berkembang dengan pesat manakala diikuti dengan
membangun tradisi membaca secara baik pula. Dengan dukungan tradisi membaca
yang kokoh, kualitas pekerjaan yang dijalankan akan menjadi lebih bermutu dan
berkualitas. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa membaca tidak hanya menelusuri
deretan teks, tetapi juga membuka Pandora pengetahuan. Semakin luas pengetahuan
seseorang semakin terbuka wawasan dan kreativitasnya. Bagi seorang guru membaca
idealnya menjadi sebuah hobi dan tradisi. Bahkan seorang pengarang asal Rusia,
Joseph Brodsky, menyatakan “Ada beberapa kejahatan yang lebih buruk daripada
membakar buku. Salah satunya adalah tidak membaca buku.”
Mungkin kita
tidak sepenuhnya sepakat dengan pernyataan ini. Tetapi jika kita memetik
kandungan maknanya, apa yang dikatakan Brodsky ini sesungguhnya merupakan
bentuk penekanan akan arti penting kegiatan membaca sehingga tidak membaca buku
dinilai oleh Brodsky sebagai sebuah kejahatan.
Guru dan buku
kalau boleh diibaratkan seperti sepasang suami-istri yang saling melengkapi dan
mendukung dalam bekerja sebagai motor sebuah keluarga. Buku demi buku yang
terus dikoleksi oleh guru menjadi energi baginya, sekaligus menjadi referensi untuk
bisa belajar dan mengajar lebih efektif dan kreatif, walaupun terkadang menjadi
tantangan tersendiri bagi guru untuk menikmatinya dikarenakan waktu dan kesempatan
membaca tidak seimbang. Cara terbaik untuk membangun kebiasaan senang dan giat membaca
buku adalah dengan meningkatkan motivasi internal. Guru sendiri yang harus
menyadari bahwa membaca buku itu penting karena buku adalah jendela dunia.
Selamat membaca!
Sumber Bacaan:
Munir, Abdullah. 2006. Spiritual Teaching: Agar Guru Senantiasa Mencintai Pekerjaan dan Anak Didiknya, Cetakan Ke-10, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
Naim, Ngainun. 2019. Spirit Literasi: Membaca, Menulis, dan Transformasi Diri, Cetakan Pertama, Tulungagung: Akademia Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar