Jumat, 13 Januari 2023

HIDUP MENJADI PENULIS ATAU WAFAT DIKENANG SEJARAH

 Inspirasi Jejak Kehidupan Alim Rabbani K. H. M. Basori Alwi

Tidak berlebihan kiranya pepatah Arab “Isy Kātiban au Mut Maktūban” menjadi judul tulisan ini untuk mengenang jejak kehidupan seorang pendidik sejati K. H. M. Basori Alwi. Tulisan ini mengajak pembaca untuk mengenal sisi lain dari seorang ulama produktif dalam dunia literasi. Pengenalan ini diharapkan akan menyadarkan kita bahwa ada cara lain untuk membuat “jejak kehidupan” di muka bumi ini.

Ulama dan Tradisi Menulis

Menulis adalah salah satu cara orang untuk menyampaikan ide-ide pemikiran. Ketokohan dan wawasan seseorang dapat dilihat bukan hanya di saat dia berbicara tapi juga di saat menulis. Bahkan manfaat menulis jauh lebih baik dibandingkan hanya memakai kebiasaan orasi. Kelebihan menulis bukan hanya dapat dibaca oleh orang yang hidup sezaman dengan penulis, tapi juga pasca kewafatan penulis, karya-karya dan ide-ide sang tokoh dapat dikenali dengan membaca hasil karya tangannya. Menulis adalah bagian tradisi ilmiah dan ikonnya para cendekiawan. Dari menulis mereka dapat menyampaikan gagasan dan buah pikiran kepada orang lain.

Ulama-ulama terdahulu menjadikan menulis sebagai tradisi. Kitab atau buku-buku yang ditulis para ulama itu masih dapat dibaca hingga kini. Menulis juga menjadi media dakwah untuk menyebarkan kebaikan. Semua ulama yang menjadi arsitek kejayaan Islam masa lalu adalah para penulis ulung yang telah menghasilkan berbagai buah karya mereka yang sampai saat ini masih menjadi rujukan umat Islam sedunia dalam berbagai disiplin keilmuan. Bahkan, Barat yang kemajuannya hari ini telah jauh meninggalkan dunia Islam ternyata pernah mengekor pada kemajuan umat Islam masa silam.

Sebagai contoh, Imam al-Ghazali sebagai seorang alim, ahli pemikiran, teolog yang punya nama besar di dunia Islam, ahli filsafat Islam yang cukup terpandang, dan penulis produktif telah melahirkan sederet adikarya yang penting bagi peradaban Islam dan dunia. Karya-karya Imam al-Ghazali yang dianggap penting di sini adalah “Al-Munqidz min al-Dlalāl” (Pembebasan dari Kesesatan), “Tahāfut al-Falāsifa” (Kerancuan Para Filosof), dan magnum opus-nya, sebuah studi terperinci tentang Islam yang berjudul “Ihyā Ulūm al-Dīn” (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama), serta kitab-kitab berharga dan monumental lainnya.

Kejayaan suatu bangsa ditentukan sampai sejauh mana karya ilmiah dan ilmu pengetahuan benar-benar mendapat perhatian yang layak. Begitu juga yang terjadi pada Muslim di Nusantara, semenjak kehadiran Islam dan menjadi kekuatan politik mampu melahirkan kerajaan dan tradisi ilmiah. Tradisi ilmiah yang berkembang di wilayah Nusantara menjadi semakin nyata dengan adanya karya-karya yang dihasilkan oleh para ulama dan kaum intelektual lainnya, baik di bidang ilmu-ilmu keislaman maupun bidang lainnya.

Dalam tradisi menulis ulama Nusantara, misalnya dalam kajian mazhab Syafi’i. Diawali dengan kitab fiqih “As-Shirāt al-Mustaqīm” karya Syekh Nuruddin Arraniri, mufti kesultanan Aceh. Kitab berbahasa Melayu klasik ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Syekh Abdurrauf Assinkili dengan karyanya “Mir-at al-Thullāb” yang juga berbahasa Melayu klasik.

Dua kitab di atas dikokohkan lagi kajian fiqihnya oleh Syekh Jalaluddin Asyi (Aceh) dengan karyanya “Hidāyat al-‘Awām” yang disambut dan dilanjut dengan ulasan lebih luas lagi oleh ulama asal Banjarmasin, Syekh Arsyad al-Banjari melalui “Sabīl al-Muhtadīn” dan ulama asal Pattani, Thailand, Syekh Dawud Fatthani dengan “Sullam al-Mubtadi”nya. Semua kitab di atas ditulis menggunakan bahasa Melayu yang menjadi Lingua Franca kawasan Nusantara saat itu.

Berbagai karya berbahasa Melayu di atas kemudian disempurnakan lagi oleh murid Syekh Dawud Fatthani, Syekh Nawawi al-Bantani dengan karyanya yang berbahasa Arab “Nihāyat al-Zain”, yang dilanjutkan oleh muridnya lagi, Syekh Mahfudz Attarmasiy dengan “Hāsyiah al-Tarmasiy”. Kitab berbahasa Arab ini juga disambut dan dilanjutkan dengan baik oleh kawan sejawatnya, yaitu Sayyid Utsman Bin Yahya (Mufti Batavia) dengan karyanya “Irsyād al-Anām” yang berbahasa Melayu dialek Betawi, dan Syekh Sholeh Darat dengan “Majmū’ah asy-Syarī’ah” yang berbahasa Jawa, dan dilanjutkan lagi oleh muridnya, Syekh Raden Mukhtar Natanegara Atharid al-Bughury (Bogor) melalui kitabnya “Kifāyat al-Mubtadiīn” yang berbahasa Sunda, dan seterusnya.

Dunia pesantren yang selama ini dikesankan agak kurang akrab dengan dunia menulis yang relatif masih belum tumbuh dan berkembang. Dari ribuan atau bahkan mungkin ratusan ribu kiai pesantren, hanya sebagian kecil saja yang menulis buku atau kitab. Demikian juga dengan ratusan ribu atau mungkin jutaan santri, yang mau menekuni dunia menulis juga hanya sebagian kecil saja. Pada kondisi semacam ini, apa yang dilakukan oleh salah satu ulama kharismatik K.H. M. Basori Alwi telah memberikan warna lain yang mencerahkan dengan kontribusi yang kreatif dan produktif berhasil meneruskan estafet tradisi yang dilakukan oleh para ulama terdahulu dengan berbagai macam karya tulis yang telah beliau hasilkan baik dalam bidang akidah, al-Qur’an, tasawuf, bahasa Arab, dan lain sebagainya.

K.H. M. Basori Alwi bisa dibilang sosok ulama yang komplit, fasih dalam membaca al-Qur’an dan berceramah, serta penulis yang produktif. Beliau banyak menulis buku dan risalah ringkas, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Karya-karya beliau di antaranya:

1. Mabādi’ Ilm al-Tajwīd (Pokok-Pokok Ilmu Tajwid) dilengkapi Kamus “Miftahul Huda” (Panduan Waqaf dan Ibtida’).

2.    Madārij al-Durūs al-Arabiyah (Pelajaran Bahasa Arab, 4 Jilid).

3.    Metode Praktis Belajar Al-Qur’an “Bil Qolam”.

4.    Dalil-Dalil Hukum Islam (Terjemah Matan Ghayah wa al-Taqrib, 2 Jilid).

5. Al-Gharāib fi al-Rasm al-Utsmāny (Seputar Bacaan dan Tulisan Asing dalam Mushaf Rasm Utsmany).

6. Ahādits fi Fadhāil al-Qur’ān wa Qurrāihi (Hadits-Hadits tentang Keutamaan al-Qur’an dan Para Pembacanya).

7.  Terjemah Syarī’atullah al-Khālidah (Karya Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani).

8.    Pedoman Tauhid (Terjemah Aqidah al-Awam).

9.    Pengantar Waraqāt Imām al-Haramain.

10.    Pokok-Pokok Ahlussunnah wal Jama’ah.

11. Membahas Kekuasaan (Terjemah Al-Nashāih al-Dīniyah wa al-Washāya al-Imāniyah).

12.     Al-Miqāt al-Jawwi li Hajji Indonesia (Miqat Udara bagi Haji Indonesia).

13.     Manasik Haji.

14.     Pedoman Singkat Imam dan Khatib Jum’at.

15.     Kumpulan Khutbah Jum’at.

16.     Al-Tadlhiyah (Petunjuk Singkat tentang Qurban).

17.     Al-Tartil wa al-Lahn (Risalah tentang Tepat dan Salah Baca dalam al-Qur’an).

18.     Bina Ucap (Makhraj dan Sifat Huruf).

19.     Bina Ucap (Hamzah Washal dan Hamzah Qatha’).

20.     Zikir Ba’da Shalat Jum’at.

21.     Zakat dan Penggunaannya.

22.     Hukum Talqin dan Tahlil.

23.     Tarawih dan Dasar Hukumnya.

24.     Dan beberapa kitab dan risalah lainnya.

Dari sekian banyak karya K.H. M. Basori Alwi semakin mempertegas sosok beliau sebagai ulama produktif dan pemikir yang berwawasan luas mencakup berbagai bidang kehidupan umat Islam. Dan secara tidak langsung beliau telah memberikan warisan yang sangat berharga untuk generasi berikutnya.

Mengapa Harus Menulis?

Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang bersifat ekspresif dan produktif. Menulis (dan juga membaca) merupakan cara berkomunikasi tidak langsung, sedangkan berbicara dan mendengar (menyimak) merupakan komunikasi secara langsung. Menulis, sebagaimana yang dikatakan Maslahah (2005: 20), adalah berkomunikasi untuk mengungkapkan pikiran, gagasan, perasaan, dan kehendak kepada orang lain secara tertulis. Keterampilan menulis sebagai salah satu syarat berbahasa mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Dengan menulis, seseorang dapat mengungkapkan pikiran dan gagasan untuk mencapai maksud dan tujuannya.

Ilmu dan pengetahuan yang didapat seseorang di dalam kehidupan sehari-hari bisa dikatakan tak terhitung banyaknya. Karena dalam menuntut ilmu tidak hanya diperintahkan mendengarkan saja, namun harus diikat juga dengan menulisnya dan mengamalkannya, agar ilmu tersebut tidak lepas (hilang). Imam Syafi’i r.a. berkata:

الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ # قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَةِ

فَمِنَ الْحَمَاقَةِ أَنْ تَصِيْدَ غَزَالَةً # وَتَتْرُكَهَا بَيْنَ الْخَلَائِقِ طَالِقَة

Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya # Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat.

Termasuk kebodohan kalau kamu memburu kijang # setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja. (Dīwān Asy-Syafi’i, halaman 103).

Kita bisa membayangkan apa jadinya apabila ilmu tidak ditulis? Tentu akan terjadi gambaran yang sangat buruk. Contoh nyata, ketika khalifah Abu Bakar as-Shiddiq r.a. -atas usulan Umar bin Khatthab r.a- memerintahkan Zaid bin Tsabit r.a. agar mengumpulkan al-Qur’an yang masih berada di dada-dada para sahabat, untuk dituliskan atau dibukukan. Karena kekhawatiran Umar bin Khatthab r.a. pada masa itu. Muncul sebuah pertanyaan, mengapa seorang khalifah khawatir? Karena pada masa itu, banyak huffāzh (penghafal al-Qur’an) yang gugur sebagai syuhada dalam peperangan. Dari situlah Umar bin Khatthab r.a. melihat al-Qur’an itu perlu ditulis. Dari kisah ini, dapat dipahami bahwa ilmu perlu diikat dengan tulisan, karena pada dasarnya sesuatu itu tidak ada yang abadi. 

Buku atau Karya adalah “Warisan” Sejarah 

Akbar Zainudin dalam bukunya “UKTUB; Panduan Lengkap Menulis Buku dalam 180 hari” menyatakan bahwa manfaat utama yang bisa diwariskan dari sebuah buku atau karya adalah ide atau pemikiran. Mengapa ide tentang koperasi yang disuarakan Bung Hatta masih terus bergaung sampai sekarang? Karena Bung Hatta menulis buku. Mengapa pula ide-ide tentang filsafat dan tasawuf al-Ghazali masih terus dipelajari dan berkembang hingga sekarang (padahal beliau sudah wafat berabad-abad yang lalu)? Karena al-Ghazali menulis kitab. Dan juga kalau kita tambahkan mengapa karya K. H. M. Basori Alwi masih dikaji, diteliti, dan dikembangkan sampai sekarang? Karena K. H. M. Basori Alwi menulis kitab dan buku.

Hal kedua yang bisa diwariskan dalam buku atau karya adalah tata nilai (value) dan karakter. Lewat sebuah buku atau karya seolah K. H. M. Basori Alwi bercerita tentang nilai-nilai kehidupan dan karakter seperti apa yang beliau inginkan dari anak cucu, santri, pemimpin, dan masyarakat.

Hal ketiga yang bisa diwariskan dari sebuah buku atau kitab adalah pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dan keterampilan jika ditularkan di dalam kelas, sangat terbatas bagi orang-orang untuk memilikinya. Tetapi jika disebarkan lewat tulisan, maka dampaknya akan jauh lebih dahsyat. Bahkan dengan teknologi internet yang sangat maju, ilmu pengetahuan dan keterampilan itu bisa disebarkan kepada setiap orang di pelosok dunia, kapanpun dan dimanapun mereka berada.

K. H. M. Basori Alwi  telah menentukan faktor yang beliau jadikan sebagai pijakan dasar untuk menulis yaitu orientasi ke-akhiratan, artinya kegiatan menulis yang bernilai ibadah. Tatkala hal ini telah terpenuhi maka aktivitas menulis akan menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang bahkan akan membuat penulisnya semakin termotivasi untuk menulis.

Dari sekian banyak alasan seseorang menulis buku atau karya ilmiah, menurut hemat saya bahwa di antara motivasi K. H. M. Basori Alwi dalam menulis atau berkarya adalah menyebarkan ilmu dan pengetahuan kepada masyarakat. Mengajar orang di dalam kelas hanya terbatas manfaatnya kepada yang hadir di dalam kelas. Ketika ilmu dan pengetahuan tersebut ada dalam bentuk buku, penyebarannya bisa lebih luas.

Berbagi ilmu pengetahuan bisa menjadi motivasi paling hebat bagi penulis. Menyebarkan ilmu pengetahuan adalah menyebarkan kebaikan yang akan menjadi pahala yang terus mengalir. Menulis dengan mengharap ridha Allah dan pahala akan memberi energi yang sangat besar, karena tulisan seseorang adalah amal kebajikan bagi orang tersebut.

Motivasi lain yang saya amati dari sosok K. H. M. Basori Alwi adalah bahwa menulis bagi beliau adalah jalan dakwah. Sebagaimana motivasi menyebarkan ilmu pengetahuan, bagi sebagian orang, menulis adalah salah satu jalan menyebarkan ajaran agama. Dengan lingkup penyebaran yang lebih luas, penyebaran agama tidak hanya terbatas bagi orang-orang yang hadir di pengajian-pengajian ataupun masjid, tetapi juga menyebar ke seluruh masyarakat. Ada nuansa spiritual yang luar biasa mendalam saat menulis dijadikan sebagai jalan dakwah. Kekuatan spiritual akan menimbulkan energi berlebih untuk menyalurkan dakwah lewat buku yang ditulis.

Menulis buku atau berkarya ilmiah adalah menghasilkan kepuasan batin tiada tara. Akan jauh lebih puas jika apa yang ditulis tersebut bermanfaat bagi orang lain. Saat bisa menjadi lebih bermanfaat, nilai yang didapatkan sungguh melampaui segala macam hal duniawi yang didapatkan. Ada kepuasan dan kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa diukur dengan materi, dan hidup menjadi lebih bermakna serta lebih menggairahkan. K. H. M. Basori Alwi telah merasakan ini semua, tatkala karya-karya beliau diterima secara antusias oleh masyarakat, serta dikaji dan dipelajari di lembaga formal maupun non-formal.

Apa yang K. H. M. Basori Alwi tuliskan akan menjadi amal kebaikan. Semakin banyak orang mengamalkan, pahala kebaikannya akan terus bertambah, dan kebaikan itu akan terus mengalir saat beliau sudah meninggal dunia sekalipun. Buku atau karya menjadi amal jariah beliau, kebaikan yang pahalanya terus mengalir, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.

Apabila manusia meninggal dunia maka terputus darinya amalannya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)

Memadukan Budaya Membaca dan Menulis

Membaca dan menulis bagaikan saudara kembar yang tak dapat dipisahkan. Atau, kalau boleh dibayangkan kegiatan membaca dan menulis ini bagaikan sepasang suami-istri yang saling melengkapi dan mendukung dalam bekerja sebagai motor sebuah keluarga. Membaca dan menulis bagaikan dua sisi mata uang. Satu dan lainnya saling menunjang peran dan fungsi masing-masing. Adalah kekeliruan yang sangat besar pendapat orang yang menganggap membaca dan menulis membuang-buang waktu. Membaca dan menulis adalah pekerjaan besar bagi orang-orang berperadaban.

Tidak berlebihan jika Qatādah, seorang ulama salaf, dalam Tafsir al-Qurthūbī, menyatakan: “Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami  sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah . . .” (Hudiata, 2005).

Membaca tidak hanya menelusuri deretan teks, tetapi membuka juga pandora pengetahuan. Semakin luas pengetahuan seseorang semakin terbuka wawasan dan kreativitasnya. Membaca idealnya menjadi tradisi semua profesi, karena profesi apapun sesungguhnya akan dapat berkembang dengan pesat manakala diikuti dengan membangun tradisi membaca secara baik pula. Bagi seorang penulis, misalnya, membaca jelas merupakan sebuah keharusan.

Membaca dengan tekun menjadi bagian tidak terpisah dari riwayat hidup para intelektual besar dunia. Aktivitas membaca yang membuat mereka memiliki pengetahuan yang sangat luas. Gugusan pengetahuan yang mereka miliki kemudian menjadi modal penting untuk menulis.

Sosok K. H. M. Basori Alwi adalah “role model” yang dapat dilihat oleh masyarakat luas –terutama oleh para santri beliau- tentang penyelenggaraan baca-tulis yang memberdayakan (membuat seseorang berkembang secara dahsyat hari demi hari). K. H. M. Basori Alwi dengan sempurna berhasil mengawinkan kegiatan membaca yang benar-benar terpola dengan kemampuan menulis (writing skill) sehingga lahirlah karya yang mumpuni.

Kesibukan K. H. M. Basori Alwi yang tinggi bukan alasan untuk tidak membaca, karena dengan rajin membaca maka akan membuat ide-ide di otak terus tumbuh dan berkembang. Dengan semakin banyak membaca maka modal untuk menulis juga semakin besar. Gugusan ide dan pemikiran akan muncul sebagai bahan menulis. Untuk mendukung upaya tersebut, beliau meletakkan kitab atau buku di tempat yang mudah dijangkau sehingga ketika ada kesempatan akan mudah untuk membaca.

Bagaimana menulisnya? Beliau melakukannya nyaris sama dengan membaca, yakni setiap ada kesempatan beliau melakukannya, bisa di rumah dan bahkan saat berada di dalam mobil. Kreativitas dalam membaca dan menulis itulah yang kemudian mengantarkan K. H. M. Basori Alwi menjadi salah satu kiai penulis produktif Indonesia yang sangat diperhitungkan.

Aktualisasi Potensi Diri

Menulis adalah keterampilan yang merupakan hasil latihan panjang. Melihat jumlah karya K. H. M. Basori Alwi yang disebutkan di atas (bahkan mungkin bisa lebih) seolah menegaskan akan hasil sebuah proses keterampilan yang panjang tersebut.

Bakat atau potensi seseorang memang berbeda dengan yang lain. Ada orang yang potensinya terbesarnya pada fisik, ada orang yang kemampuan bahasanya lebih tinggi, ada juga orang dengan kemampuan analisis bagus, sementara di sisi lain ada juga yang punya kemampuan menghafal yang luar biasa. Namun, potensi hanyalah tinggal potensi jika kita tidak memaksimalkannya dengan baik. K.H. M. Basori Alwi adalah sosok yang mampu memadukan dan meramu dengan baik potensi yang dimiliki dengan usaha yang maksimal.

K. H. M. Basori Alwi seolah menegaskan bahwa kita semua bisa menjadi penulis, apa pun profesi kita. Jangan berpikir karena kita bekerja di luar yang biasa menulis (akademisi, wartawan), lalu kita tidak bisa menulis. Justru karena kita lebih menguasai apa yang kita geluti akan lebih mudah untuk menulis.

Sebagai contoh, dengan pengalaman beliau bertahun-tahun mengajar al-Qur’an dan ilmu tajwid, ternyata bisa menjadi bahan tulisan yang baik dan bermanfaat bagi pembaca dan peserta didik, sehingga lahirlah karya beliau yang berjudul “Mabādi’ Ilm al-Tajwīd (Pokok-Pokok Ilmu Tajwid)” yang dilengkapi dengan “Qāmūs Miftāh al-Hudā fī Ma’rifat al-Waqf wa al-Ibtidā (Kamus Miftahul Huda untuk Mengetahui Waqaf dan Ibtida’)”.

Di dalam kitab ini, beliau menjelaskan dengan mudah dan detail tentang makhārij al-hurūf, shifāt al-hurūf, hukum nun mati dan tanwin, hukum mim mati, tingkat-tingkat ikhfa’, ikhfa’ dengan makna baru, hukum lāmnya “al” dan kata benda, huruf yang memantul (qalqalah), mad dan qashr, macam-macam mad cabang (far’iy), waqaf dan ibtida’, pembagian  waqaf dan tanda-tandanya. Semua materi yang beliau sampaikan di kitab ini sangat relevan dengan kebutuhan pembelajar al-Qur’an utamanya di dalam menyelami dan memahami ilmu tajwid.

Karya K. H. M. Basori Alwi ini bisa dikategorikan best-seller (laris manis), dan hal ini bisa dibuktikan sampai dengan Juni 2009 sudah memasuki cetakan yang ke-28 (sementara sekarang sudah memasuki tahun 2020 yang tentunya jumlah yang sudah tercetak bisa mencapai puluhan bahkan ratusan ribu eksemplar).

Sementara dalam pengalaman mengajar bahasa Arab yang juga bertahun-tahun, K. H. M. Basori Alwi mampu menuangkannya dalam sebuah karya yang monumental dengan judul “Madārij al-Durūs al-Arabiyah” (Jalan ke Bahasa Arab) yang terdiri dari 4 jilid. Bahkan kitab bahasa Arab ini bisa dikategorikan best-seller juga.

Kitab ini disusun oleh K. H. M. Basori Alwi untuk peserta didik yang belajar bahasa Arab di tingkat pemula baik di madrasah maupun pesantren di Indonesia. Kitab ini disusun secara berjenjang atau bertahap mulai dari materi ajar paling dasar agar mudah dipahami oleh peserta didik pemula. Penyusunan kitab ini memakan waktu yang lama dengan melalui penelitian, eksperimen, dan revisi secara berkelanjutan hingga selesai jilid 1 sampai jilid 4. Kitab ini disusun mulai tahun 1950 saat K.H. M. Basori Alwi sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah di Surabaya. Kemudian kitab ini dikembangkan pada saat beliau menjadi pengajar di PGA dan PGAA di Surabaya antara tahun 1951-1953. Dan kitab “Madārij al-Durūs al-Arabiyah” mencapai tahap final dan siap cetak pada tahun 1973-1974, setelah melalui tahap eksperimen selama kurang lebih 20 tahun.

Pada tahun 1976, kitab “Madārij al-Durūs al-Arabiyah” ini ditetapkan sebagai buku ajar untuk Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) oleh Departemen Agama RI di seluruh Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D III/140/76, pada tanggal 14 Juni 1976. Sejak saat itu, kitab ini populer dan menjadi buku ajar wajib di Madrasah Ibtidaiyah Negeri.

Akhirnya, jika kita merasa sudah cukup menyiapkan “harta benda” untuk anak cucu kita, saatnya menulis buku untuk membuat “warisan intelektual” yang lebih abadi. Jangan hanya takjub dengan orang lain saat menuliskan sejarah mereka, sekarang saatnya kita menuliskan sejarah besar hidup kita sendiri seperti apa yang telah dicontohkan oleh mahaguru mulia kita K. H. M. Basori Alwi.

Sumber Bacaan:

Al-Baqi, Yusuf Syekh Muhammad. 1995. Koleksi Syair Imam Syafi’i, Cetakan Pertama, Jakarta: Pustaka Amani.

Taufiqurrochman, R. 2017. “Madārij al-Durūs al-‘Arabiyah” Karya KH Basori Alwi: Analisis Buku dan Pemanfaatannya di Pondok Pesantren, Arabi: Journal of Arabic Studies, 2 (2), 2017, 197-211.

Zainuddin, Akbar. 2015. UKTUB! Panduan Lengkap Menulis Buku dalam 180 Hari, Cetakan I, Jakarta Selatan: Renebook.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejak Waktu: Memetik Hikmah di Setiap Langkah Perjalanan Hidup

“ Waktu adalah perjalanan, ambillah pelajaran dari setiap kejadian ” adalah ungkapan yang menggambarkan bagaimana waktu tidak hanya berger...