Kamis, 26 Januari 2023

JURUS JITU MENANGKAL VIRUS WRITER’S BLOCK

 

Pertemuan yang dinanti-nanti itu pun akhirnya datang juga. Ya, pertemuan Kelas Belajar Menulis Nusantara (KBMN) gelombang 28 pada hari Senin, 23 Januari 2023 mulai pukul 19.00 WIB dengan obyek pembahasan tentang ‘virus’ yang sering menghinggapi penulis. Muncul pertanyaan menarik, bagaimana jurus jitu menangkal ‘virus’ tersebut? Pertanyaan tersebut akan dijawab dan dibahas tuntas oleh narasumber yang hebat dan inspirator Ibu Ditta Widya Utami, S.Pd., Gr. (seorang guru berprestasi dan sangat menginspirasi sekaligus alumnus KBMN gelombang ke-7) dengan dipandu moderator yang tidak kalah hebat dan produktif Ibu Raliyanti, S.Sos., M.Pd. Ayo ikuti ulasannya!

Menarik ungkapan yang disampaikan Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay) sebelum dimulainya pertemuan pada hari ini, “Di dalam kesulitan itu pasti ada kemudahan. Namun sebaliknya di dalam kemudahan itu justru ada kesulitan. Kita sendiri yang menciptakan kesulitan demi kesulitan sehingga hidup terasa sulit”. Omjay juga berpesan, “Tak ada penulis yang malas membaca. Ingatlah mantra ajaib Omjay. Membaca lah setiap hari dan buktikan apa yang terjadi. Banyak membaca akan membuat Anda keliling dunia. banyak ilmu dan pengetahuan Anda dapatkan. Banyak pengalaman orang lain bisa Anda tiru dan kemudian Anda amalkan dalam kehidupan sehari-hari”.

Tidak kalah ciamik-nya, moderator Ibu Raliyanti memulai pertemuan ini dengan satu pantun pembuka, “Masih terasa euforia pertemuan sebelumnya # Tantangan menulis dari Prof Eko yang menggoda # Semoga buku bisa terwujud nyata # Tanpa ada writer’s block yang melanda”. Moderator kali ini sangat produktif, di mana ia berhasil mewujudkan buku pertamanya “Wujudkan Mimpi Terbitkan Buku” kemudian di tahun berikutnya lahir buku solo yang kedua dengan judul “Guru di Era Digital”. Selain itu, ada 17 judul buku antologi yang dimilikinya baik fiksi maupun nonfiksi. Semua ini terwujud karena Ibu Raliyanti punya mimpi, termotivasi karena komunitas ini dan mendapat support serta ilmu dari narasumber hebat yang ikhlas berbagi tanpa pamrih. Masya Allah!

Memasuki inti pertemuan, narasumber Ibu Ditta Widya Utami menyapa para peserta dengan sapaan yang hangat dan inspiratif. Ibu Ditta ingin berbagi pengalaman menulis yang nantinya berkaitan dengan tema pada pertemuan kali ini. Ibu Ditta menginformasikan kalau ia mempunyai akun di Kompasiana dan Blogspot, sekaligus menyatakan bahwa siapa pun yang ingin menjadi penulis handal, maka harus siap dengan prosesnya. Tidak bisa instan tentu. Diperlukan jam terbang yang cukup banyak agar bisa menjadi penulis hebat dan profesional.

Ibu Ditta Widya Utami sendiri mulai kecil (sebelum SD) sudah senang membaca buku-buku cerita dan senang menulis sejak di Sekolah Dasar (dalam buku diary). Lalu saat SMP, sering mengirim tulisan ke mading sekolah dan pernah menulis cerita di buku tulis yang dibaca bergiliran oleh teman-teman. Atas arahan guru bahasa Inggris, ia juga menulis diary dalam bahasa Inggris. Ketika SMA, ia masih tetap menulis diary. Beberapa teman dekat yang membaca diary-nya sempat berkomentar bahwa tulisannya sudah seperti novel. Namanya anak remaja, banyak emosi yang dituangkan dalam catatan Ditta remaja. Namun belakangan, ia tahu bahwa menulis apapun yang kita rasakan bisa menjadi self healing yang baik. Bahkan saat ini, beberapa psikolog ada yang menyarankan kepada para pasiennya untuk menulis sebagai salah satu cara mengatasi depresi dan sebagainya.

Rupanya kebiasaan menulis tersebut memberi banyak manfaat. Misalnya ketika kuliah, Ibu Ditta Widya Utami pernah membuat buku Petualangan Kimia bersama rekannya dan diikutsertakan dalam Lomba Kreativitas Mahasiswa di jurusan. Alhamdulillah meraih posisi kedua. Dan di saat Ibu Ditta Widya Utami kuliah, ia menulis proposal bersama teman-temannya dan berhasil mendapat dana hibah untuk asosiasi profesi dari Dikti hingga 40 juta (di tahun 2009-2010 jumlah tersebut tentu sangat besar). Ibu Ditta Widya Utami bersyukur, karena berawal dari arahan untuk membuat resume, ia kemudian kembali aktif menulis di blog. Bahkan berkesempatan menulis bersama Prof. Richardus Eko Indrajit dan menjadi 1 di antara 9 orang (angkatan pertama tantangan Prof Eko) yang bukunya terbit di penerbit mayor. Karena terbiasa menulis juga, Ibu Ditta Widya Utami bisa menyelesaikan esai di seleksi Calon Pengajar Praktik Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 3 dan lulus (saat ini sedang bertugas lagi di Angkatan 6).

Ibu Ditta Widya Utami menyatakan bahwa di antara manusia ada yang menulis karena hobi, kebutuhan, tuntutan profesi, dan lain sebagainya. Apa pun alasannya, aktivitas menulis memang tak bisa lepas dari kita sebagai makhluk yang berbahasa dan berbudaya. Nah, lalu apa kaitannya cerita Ibu Ditta Widya Utami dengan writer’s block?

Pertama, mari kita samakan persepsi bahwa aktivitas menulis itu maknanya luas. Sebagaimana dalam kisah di awal, ada tulisan pribadi dalam bentuk diary, ada karya tulis ilmiah, cerpen, artikel, resume, dan sebagainya. Menulis adalah kata kerja yang hasilnya bisa sangat beragam. Oleh karena itu tak hanya novelis, cerpenis, jurnalis, atau blogger, namun ada juga copywriter yang tulisannya mengajak orang untuk membeli produk, ada content writer yang bertugas membuat tulisan profesional di website, ada script writer penulis naskah film/sinetron, ada ghost writer, techincal writer, hingga UX writer, dan lain-lain.

Faktanya, penulis-penulis tersebut masih bisa terserang virus WB alias Writer’s Block. Tak peduli tua atau muda, profesional atau belum, Writer’s Block (WB) bisa menyerang siapa pun yang masuk dalam dunia kepenulisan. Oleh karena itu, penting bagi seorang penulis untuk mengenali WB dan cara mengatasinya. Karena Writer’s Block ini bisa menjangkit dalam hitungan detik, menit, hari, minggu, bulan, bahkan tahunan. Tergantung seberapa cepat kita menyadari dan mengatasinya.

Sederhananya, writer’s block adalah kondisi di mana kita mengalami kebuntuan menulis. Tak lagi produktif atau berkurang kemampuan menulisnya. Hal ini bisa terjadi dengan disadari ataupun tidak. Istilah writer’s block sebenarnya sudah ada sejak tahun 1940-an. Diperkenalkan pertama kali oleh Edmund Bergler, seorang psikoanalis di Amerika. Berkaca dari pengalaman, writer’s block ini bisa terjadi berulang. Me-reinfeksi kita sebagai penulis. Itulah mengapa Ibu Ditta Widya Utami mengatakan bahwa writer’s block ini sebagai “virus” yang sesekali bisa aktif bila kondisinya memungkinkan. Ibarat penyakit, tentu akan lebih mudah disembuhkan bila kita mengetahui faktor penyebabnya, bukan? Begitu pula dengan writer’s block. Agar bisa terhindar atau segera terlepas dari writer’s block, maka kita perlu mengenali penyebabnya.

Ibu Ditta Widya Utami menjelaskan beberapa hal yang dapat mengakibatkan writer’s block:

ü Mencoba metode/topik baru dalam menulis sebenarnya bisa menjadi penyebab sekaligus obat untuk writer’s block. Misal ketika jadi penyebab: Ada orang yang senang menulis cerpen atau puisi. Kemudian tiba-tiba harus menulis KTI (Karya Tulis Ilmiah) yang tentu saja memiliki struktur dan metode penulisan yang berbeda. Bila tak lekas beradaptasi, bisa jadi kita malah terserang writer’s block.

Lalu bagaimana hal tersebut bisa menjadi salah satu obat writer’s block? Jawabannya akan berkaitan dengan faktor penyebab writer’s block yang kedua dan ketiga.

ü Dalam kamus Psikologi, stres diartikan sebagai ketegangan, tekanan, tekanan batin, tegangan dan konflik.

ü Lelah fisik/mental akibat aktivitas harian yang padat juga dapat memicu stres. Pada akhirnya, jangankan menulis, kita bisa merasa jenuh dan suntuk serta terserang writer’s block. Maka, mencoba hal baru dalam menulis bisa jadi alternatif solusi. Mempelajari hal-hal baru yang berbeda dengan sebelumnya pasti menyenangkan. Beberapa teman dan juga Ibu Ditta Widya Utami terkadang memilih untuk sejenak rehat dan melakukan hal yang disukai untuk refreshing.

Membaca buku-buku ringan untuk cemilan otak juga bisa jadi solusi mengatasi writer’s block. Biar bagaimanapun, writer’s block bisa terjadi karena kita belum bisa mengekspresikan ide dalam bentuk kata. Dengan membaca, kita bisa menambah kosakata. Pada akhirnya, jika diteruskan insya Allah bisa sekaligus mengatasi writer’s block.

ü Terakhir yang bisa menyebabkan writer’s block adalah terlalu perfeksionis. Teringat kisah Ibu Ditta Widya Utami menulis diary berbahasa Inggris yang diceritakan di awal? Jika dibuka kembali diary berbahasa Inggris yang ditulisnya saat duduk di kelas 2 SMP, ia akan tersenyum bahkan tertawa sendiri. Bagaimana tidak? Grammar-nya saja banyak yang tidak sesuai, tetapi ia tetap PD (Percaya Diri) menulis, bahkan ini tidak satu diary saja, ada dua atau tiga diary. Tapi, justru itulah salah satu kunci menghadapi writer’s block.

Bila saat itu Ibu Ditta Widya Utami terlalu perfeksionis, terlalu memikirkan apakah tulisannya sudah sesuai kaidah atau belum, niscaya diary berbahasa Inggris itu tidak akan pernah rampung. Kondisi menulis di mana kita tidak memikirkan salah eja, salah ketik, koherensi dan sebagainya ternyata dalam dunia psikologi dikenal dengan istilah free writing atau menulis bebas.

Merespon hal di atas, Ibu Ditta Widya Utami bertanya kepada para peserta apakah masih ada yang khawatir kalau tulisannya tidak dibaca? khawatir dinyinyir orang? khawatir dikritik ahli? khawatir tulisannya tidak bagus? dan masih banyak kekhawatiran lainnya. Untuk menjawab kekhawatiran tersebut Ibu Ditta mengajak untuk mencoba menulis bebas guna mengatasi salah satu penyebab writer’s block. Bukankah tulisan yang buruk jauh lebih baik daripada tulisan yang tidak selesai?

Menutup catatan pertemuan ini, kiranya perlu ditampilkan 1 atau 3 pertanyaan dari peserta guna semakin membuka wawasan dan informasi bagaimana jurus jitu menangkal virus writer’s block ini, di antaranya:

1.  Pertanyaan dari Ibu Indah (Banjarnegara), “Bagaimana cara mengatasi writer’s block saat kita mengikuti 3 pelatihan sekaligus, seperti yang dialami saat ini, saya mengikuti pelatihan KBMN 28, tapi juga minat dengan tantangan Prof Ekoji, dan juga program dari Pak Dail (semuanya hanya membutuhkan waktu singkat). Kadang kalau digunakan untuk membaca-baca seperti ada waktu yang hilang. Mohon pencerahannya agar semuanya dapat terselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan”.

Jawaban Ibu Ditta Widya Utami: Setengah dari pertanyaan adalah jawaban. Saya yakin sebetulnya Ibu Indah sudah tahu jawaban cara mengatasi writer’s block yang berkaitan dengan waktu. Kalau saya di posisi ibu, saya akan membuat skala prioritas dan jadwal menulis. Insya Allah ketiga-tiganya akan bisa dijalani dengan baik asal kita istiqamah dengan jadwal yang telah kita tetapkan. Cari dan kenali waktu emas Ibu Indah dalam menulis (karena tiap orang bisa berbeda). Apakah Ibu Indah senang menulis di kala shubuh? sebelum tidur? saat jeda istirahat? Menulislah di waktu terbaik tersebut.

2. Pertanyaan dari Wahyuning (Jakarta Pusat), “Kalimat akhir yang menusuk di dada, tulisan buruk lebih baik daripada tulisan yang tidak selesai. Nyesek dadaku Ibu guru hehe . . . tapi boleh donk berikan tips dan trik dari Ibu Ditta yang cantik ini untuk saya agar bisa menyelesaikan satu persatu karya yang masih menjadi draft di laptop? terima kasih”.

Jawaban Ibu Ditta Widya Utami: Eheheh . . . Tenang-tenang, saya juga pernah kok membuat tulisan-tulisan buruk. Tapi toh itu tetap berkesan ketika dibaca ulang. Tips dari saya, coba buka kembali kemudian kelompokkan. Siapa tahu jadi buku. Buku solo pertama saya berjudul “Lelaki di Ladang Tebu” juga asalnya kumpulan draft cerpen di laptop. Kuatkan tekad, olah kembali. Kalau bisa sambil membuat daftar isi. Mulai dari akhir (bayangkan bukunya sudah jadi, bukan sekedar draft lagi). Dan tentu saja: mulai menulis. Mari kita ingat bersama bahwa menulis adalah kata kerja. Artinya harus dilakukan baru ia akan bermakna. Semangat!

3. Pertanyaan dari R. Agung PS (Jakarta), “Saya sudah merasakan writer’s block ketika tulisan saya sedikit yang membaca. Muncul di sana keengganan untuk menulis lagi. Apakah yang harus saya lakukan? Menulis dengan topik aktual tetapi kurang dikuasai, atau terus menulis tanpa menghiraukan jumlah pembaca”.

Jawaban Ibu Ditta Widya Utami: Pak Agung, saya juga pernah merasa di posisi Pak Agung. Sedih memang ketika sudah menulis dengan kesungguhan hati namun masih sedikit yang membaca. Tapi, kalau boleh saya tanyakan, apa sebetulnya niat Pak Agung dalam menulis? Seingat saya Prof Eko juga menyarankan agar kita menulis sesuai dengan minat kita atau yang kita kuasai. Namun, jika niat Pak Agung memang menulis agar bisa dibaca banyak orang, banyak cara yang bisa ditempuh. Tetap konsisten menulis dan berbagi tulisan, atau ikut kelas menulis khusus untuk freelance seperti ghost writer, content writer, dan lain-lain. Berbeda jika ternyata Pak Agung memiliki niat lain misal, untuk berbagi pengalaman maka jangan jadikan jumlah pembaca sebagai patokan, karena setiap penulis akan menemukan takdir pada para pembacanya. Yakin bahwa setiap tulisan yang kita buat akan tetap bermanfaat walau hanya untuk satu orang. Bukankah satu tulisan yang bermanfaat atau menginspirasi bagi satu orang, akan lebih baik daripada tulisan yang dibaca banyak orang tapi mudah dilupakan? Saya yakin, jika Pak Agung tetap menulis, kelak tulisan Pak Agung akan dibaca oleh banyak orang, sebanyak yang Pak Agung mau, insya Allah. Semangat Pak.

    Benar-benar ilmu dan informasi yang sangat mencerahkan dan inspiratif. Kita sebagai penulis atau calon penulis disuguhkan bagaimana tips dan trik dalam menangkal dan menaklukkan virus writer’s block ini. Selamat menulis! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejak Waktu: Memetik Hikmah di Setiap Langkah Perjalanan Hidup

“ Waktu adalah perjalanan, ambillah pelajaran dari setiap kejadian ” adalah ungkapan yang menggambarkan bagaimana waktu tidak hanya berger...