Menarik sekali pertemuan
Kelas Belajar Menulis Nusantara (KBMN) gelombang 28 pada hari Jum’at, 17
Februari 2023 pukul 19.00 WIB Daring Via WA Group KBMN. Pertemuan pada hari ini
mengangkat tema “Diksi dan Seni Bahasa” bersama narasumber hebat Ibu Maydearly
dan narasumber keren Ibu Widya Setianingsih.
Sebelum memulai memandu
acara, moderator menyampaikan sebuah ungkapan indah:
SAHABAT
Sayap kami saling
menyangga
Arungi berdua gemerlap
letihnya dunia
Hadirkan setiap warna
membungkam resah yang ada
Abaikan setiap mata
munafik yang bersorak dalam duka
Biarkan tangan kami saling
tergenggam, menguatkan dalam balutan doa
Atau mentertawakan
takdir yang dengan seenaknya mengatur hilir mudik nestapa
Tak usah dengarkan
mereka, cukup bersamamu hatiku jauh dari gulana
Ungkapan tentang
‘sahabat’ dari moderator ini, dibalas dengan rangkaian kalimat indah dari
narasumber Ibu Maydearly, “Sahabat adalah kata sederhana yang acap kali
merapal makna dalam jiwa. Pada sahabat kerap kita terbangkan kepingan kisah
yang tersusun rapi. Sahabat adalah ia yang paling mengerti hati kita dalam lara
nan pekat, meski kerap kita tancapkan luka, sang sahabat akan membalas dengan
seribu pelukan. Terkadang dalam hidup ada robekan paling tidak sopan yang
menenggelamkan kita dalam tangisan, namun seorang sahabat membawa kita tertatih
berjalan dan mengambil sisa tawa untuk masa depan. Menguatkan lewat doa dan
menggenggam dengan Bismillah”.
Dalam paparan awalnya,
narasumber menjelaskan definisi dari ‘diksi’. Diksi – akar katanya dari bahasa
Latin: dictionem. Kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi diction,
kata kerja ini berarti: pilihan kata. Maksudnya, pilihan kata untuk menuliskan
sesuatu secara ekspresif. Sehingga tulisan tersebut memiliki ruh dan karakter
kuat, mampu menggetarkan atau mempermainkan pembacanya.
Dalam sejarah bahasa,
Aristoteles – filsuf dan ilmuwan Yunani inilah yang memperkenalkan diksi
sebagai sarana menulis indah dan berbobot. Gagasannya itu ia sebut diksi puitis
yang ia tulis dalam Poetics- salah satu karyanya. Seseorang akan mampu
menulis indah, khususnya puisi, harus memiliki kekayaan yang melimpah: diksi
puitis. Gagasan Aristoteles dikembangkan fungsinya, bahwa diksi tidak hanya
diperlukan bagi penyair dalam menulis puisi, tapi juga bagi para sastrawan yang
menulis prosa dengan berbagai genrenya.
Narasumber juga
menambahkan penjelasannya bahwa William Shakespeare dikenal sebagai sastrawan
yang sangat piawai dalam menyajikan diksi melalui naskah drama. Ia menjadi
mahaguru bagi siapa saja yang berminat menuliskan romantisme dipadu tragedi.
Diksi Shakespeare relevan untuk menulis karya yang bersifat realita maupun
metafora. Gaya penyajiannya sangat komunikatif, tak lekang digilas zaman.
Mengapa diksi begitu
penting dalam kajian sebuah bahasa? Sebab banyak keindahan atas sebuah kata
yang tak tereja oleh bibir. Diksi bak pijar bintang di angkasa yang menunjukkan
dirinya dengan kilauan, mempesona, dan tak membosankan. Lantas, apakah begitu
sulit kita dalam berdiksi? Terkadang banyak penulis yang merasa takut dalam
memulai sebuah tulisan, terkadang lidah kita merasa kelu untuk menulis sesuatu
yang menakjubkan. Ada keraguan yang dibungkam sebelum diterjemahkan dalam
bahasa. Menulislah, karena menulis itu sederhana, sesederhana mengadukkan gula
dalam gelas kopi. Menulis dari apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan, dan
apa yang kita dengarkan. Artinya kita bisa melibatkan 5 macam panca indra kita.
Selanjutnya, narasumber
menjelaskan 5 jurus jitu dalam mengembangkan diksi yang menarik:
1. Sense of Touch adalah menulis
dengan melibatkan indra peraba. Indra peraba dapat digunakan untuk memperinci
dengan apik tekstur permukaan benda atau apapun. Penggunaan indra peraba ini
sangat cocok untuk menggambarkan detail suatu permukaan, gesekan, tentang apa
yang kita rasakan pada kulit. Aplikasi indra peraba ini juga sangat tepat
digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak terlihat, seperti angin. Atau
cocok juga diterapkan untuk sesuatu yang kita rasakan dengan menyentuhnya atau
tidak dengan menyentuhnya. Contoh: Pada pori-pori angin yang dingin, aku
pernah mengeja rindu yang datang tanpa permisi.
2. Sense of Smell adalah menulis
dengan melibatkan indra penciuman. Hal ini akan membuat tulisan kita lebih
beraroma. Teknik ini akan lebih dahsyat jika dipadukan dengan indra
penglihatan. Contoh: Di kepalaku wajahmu masih menjadi prasasti, dan aroma
badanmu selalu kugantungkan di langit harapan.
3. Sense of Taste adalah menulis
dengan melibatkan indra perasa. Merasakan setiap energi yang ada di sekitar
kita. Penggunaan indra perasa sangat ampuh untuk menggambarkan rasa suatu
makanan, atau sesuatu yang tercecap di lidah. Contoh: Kukecup rasa pekat
secangkir kopi di tangan kananku, sembari kugenggam HP tangan kiriku. Telah
terkubur dengan bijaksana, dirimu beserta centang biru, diriku bersama centang
satu.
4. Sense of Sight adalah menulis
dengan melibatkan indra penglihatan memiliki prinsip “show, don’t tell”. Selalu
ingat, dalam menulis, cobalah menunjukkan kepada pembaca (dan tidak sekadar
menceritakan semata). Buatlah pembaca seolah-olah bisa “melihat” apa yang
tengah kita ceritakan. Buat mereka seolah bisa menonton dan membayangkannya.
Prinsip utama dan manjur dalam hal ini adalah DETAIL. Tulislah apa warnanya,
bagaimana bentuknya, ukurannya, umurnya, kondisinya. Contoh: Derit daun
pintu mencekik udara di tengah keheningan, membuatku tersadar jika kamu hanya
sebagai lamunan.
5. Sense of Hearing adalah menulis
dengan melibatkan energi yang kita dengar. Begitu banyak suara di sekitar kita.
Belajarlah untuk menangkapnya. Bagaimana? Dengarlah, lalu tuliskan. Mungkin,
inilah sebab mengapa banyak penulis sukses yang kadang menanti hening untuk
menulis. Bisa jadi mereka ingin menyimak suara-suara. Sebuah tulisan yang
ditulis dengan indra pendengaran akan terasa lebih berbunyi, lebih bersuara. Selain
itu, penulis juga bisa berkreasi dengan membuat hal-hal yang biasanya tak
terdengar menjadi terdengar. Contoh: Derum kejahatan yang mendekat terasa
begitu kencang. Udara hening, tetapi terasa berat oleh jerit keputusasaan yang
dikumandangkan bebatuan, sebuah keputusan yang menghakimiku untuk tak lagi
merinduimu.
Acapkali dalam menulis
kita hanya melibatkan otak kita sebagai muara untuk berpikir tanpa kita dengar,
tanpa kita rasa, tanpa kita raba, jika terkadang sesuatu di pelupuk mata bisa
menjadi rongga untuk mencumbu tulisan kita. Mengapa kita selalu melihat kursi
yang kita duduki dengan pandangan yang begitu sederhana? Sesekali buatlah ia
mempesona dan anggun, seperti: Di atas kursi ini, aku pernah memeluk ratapan
bagaimana menungguimu dengan sebuah doa takdim.
Setelah mencoba, kita
akan yakin, setelah yakin Pasti Bisa. Did you know a true writers is
someone that never feeling down. Seberapa sulit hal yang kita hadapi she’s
never give up. Ia sama sekali tak putus asa, selalu berusaha mencoba dan
terus mencoba. Seberapa sulit ia menata perasaannya, she’s always create a
good idea ia selalu menumbuhkan ide-ide baru.
Untuk memperdalam materi
tentang diksi dan seni bahasa, perlu ditampilkan beberapa pertanyaan dari
peserta sekaligus jawaban langsung dari narasumber:
1. Pertanyaan dari Ibu Endang Ratna Juwita (Bogor):
a. Bagaimana
caranya kita untuk bisa membuat diksi yang indah dan bisa menyentuh kalbu?
Cara membuat diksi yang
indah telah saya kemukakan di sesi materi, yaitu mencoba menulis dengan
melibatkan kelima panca indra.
b. Adakah
kamus atau buku yang berisi diksi?
Kamus untuk diksi maybe
belum ada. Tapi ketika kita sering membaca tulisan dengan aroma diksi, kita
akan piawai berdiksi.
c. Bagaimana
menyingkirkan keraguan kalau tulisan diksi kita ini pantas untuk dibaca?
Tulis saja, abaikan
semua keraguan, lihat, rasakan, lakukan, tulis seindah jemari mampu mengubah
isi hati.
2. Pertanyaan dari Bapak Saeful Hikmah (Rengasdengklok
Karawang):
a. Diksi
dan puisi tidak bisa dipisahkan, bagaikan sambal dan pedasnya. Apakah diksi dan
puisi ada pada tatanan akal pikiran? Bukankah struktur manusia terdiri dari
jasad, akal, pikiran, fuad, lub, dan ruh? Bagaimana cara agar bisa dengan mudah
merenda kata sehingga siapapun yang membacanya menggetar dan terpincut hatinya
menjadi gundah gulana?
Diksi tak melulu untuk
puisi. Bagaimana diksi itu bisa masuk dalam pelataran logika, karena logika
adalah akal yang digerakkan sebuah ruh. Tulisan adalah hasil karya dari sebuah
jasad yang diperintah oleh otak, kemudian ia menapaki kalbu sebagai jejak untuk
bersuara. Suara itu tak melulu tentang ucapan, pula sebuah tulisan dengan
segala keindahannya.
3. Pertanyaan dari Ibu Wahyuning (Jakarta):
a. Jika
menulis adalah my passion, maka membaca adalah my duty. So bagaimana
mengolahnya agar 5 panca indra itu tergali? Karena terkadang merasakan saja
tidak cukup.
Panca indra itu melekat
dalam jasad kita, kita tak perlu perintahkan ia untuk memandu hati kita membuat
sebuah tulisan yang indah. Tugas kita adalah menerima sinyal dari kelima panca
indra tersebut yang kemudian kita bisa jabarkan dalam sebuah tulisan. Ketika kelima
indra itu kita libatkan, maka tak ada tulisan yang biasa. Pepatah mengatakan menulislah
dengan hati. Karena apa? Karena hati mampu menerka indra kita dengan baik.
4. Pertanyaan dari Ibu Rosjida Ambawani:
a. Apakah
puisi yang bagus itu yang sulit dipahami? Yang menjadikan kita mengeryitkan
dahi dalam memahaminya?
Puisi yang bagus itu
bukan yang sulit dipahami, tetapi memiliki pola arti dan tujuan. Setiap bait
mengandung simpulan. Diksi hanyalah sebuah pemanis untuk mempercantik sebuah
puisi.
b. Jika
kita ingin mengungkapkan suatu rasa dan itu ternyata susah mencari diksi yang
pas, manakah yang lebih penting: ungkapan rasa yang lebih tepat terungkap atau
mencari dulu diksi yang serasi?
Yang lebih penting
adalah ungkapkan rasa yang lebih tepat. Karena rasa lahir dari hati ia tak
pernah munafik. Setelah rasa itu diutarakan, entah bahagia atau emosi ia akan
lahir dalam diksi yang natural.
5. Pertanyaan dari Ibu Alfanita (Tangerang):
a. Bagaimanakah
seharusnya sikap seorang penulis diksi ketika keadaan hati dan pikirannya
sedang berkecamuk atau tidak baik-baik saja namun bisa tetap membuat
tulisan/diksi yang bermakna dan menyentuh hati?
Emosi adalah bahasa
hati. Biarkan ia mengalir luruh agar sampai pada puncak nan elegan. Menulislah dengan
hati yang jujur, karena tulisan yang dicampuri oleh hati, maka ia akan sampai
pada hati pembaca.
6. Pertanyaan dari Evridus Mangung (NTT):
a. Apakah
pemilihan diksi harus disesuaikan dengan pembaca/pendengar?
Ketika kita menulis,
maka kita adalah seorang subjek yang memberi informasi. Apa yang akan kita
tulis itu yang akan dinikmati pembaca. Menulislah untuk didengarkan pembaca,
bukan menulis sesuai keinginan pembaca.
b. Bagaimana
teknik memilih diksi pada kata yang memiliki kemiripan arti?
Diksi adalah padanan kata, ketika kita biasa menulis dengan bahasa sederhana, contoh ‘mengucap’ sesekali kita ganti dengan ‘merapal’. Lebih aneh, lebih terkesan dan lebih membuat penasaran pembaca.
Akhirnya, dari paparan dan penjelasan narasumber Ibu Maydearly bisa disimpulkan bahwa diksi tak melulu untuk puisi. Diksi dijabarkan sebagai kekayaan bahasa, memaknai kata sebagai bentuk keindahan. Layaknya secangkir teh, ada hangat yang perlu diresapi karena bahasa adalah jembatan di mana kita bisa mengerti dan saling memahami. Diksi adalah bagian dari seni bahasa, karena seni bahasa itu meliputi menulis dan berbicara. Selamat menulis!
Siiip lengkap
BalasHapusTerima kasih Ibu Ovi atas komentar dan motivasinya.
Hapus