Sabtu, 25 Februari 2023

DIKSI DAN SENI BAHASA

 

Menarik sekali pertemuan Kelas Belajar Menulis Nusantara (KBMN) gelombang 28 pada hari Jum’at, 17 Februari 2023 pukul 19.00 WIB Daring Via WA Group KBMN. Pertemuan pada hari ini mengangkat tema “Diksi dan Seni Bahasa” bersama narasumber hebat Ibu Maydearly dan narasumber keren Ibu Widya Setianingsih.

Sebelum memulai memandu acara, moderator menyampaikan sebuah ungkapan indah:

SAHABAT

Sayap kami saling menyangga

Arungi berdua gemerlap letihnya dunia

Hadirkan setiap warna membungkam resah yang ada

Abaikan setiap mata munafik yang bersorak dalam duka

Biarkan tangan kami saling tergenggam, menguatkan dalam balutan doa

Atau mentertawakan takdir yang dengan seenaknya mengatur hilir mudik nestapa

Tak usah dengarkan mereka, cukup bersamamu hatiku jauh dari gulana

Ungkapan tentang ‘sahabat’ dari moderator ini, dibalas dengan rangkaian kalimat indah dari narasumber Ibu Maydearly, “Sahabat adalah kata sederhana yang acap kali merapal makna dalam jiwa. Pada sahabat kerap kita terbangkan kepingan kisah yang tersusun rapi. Sahabat adalah ia yang paling mengerti hati kita dalam lara nan pekat, meski kerap kita tancapkan luka, sang sahabat akan membalas dengan seribu pelukan. Terkadang dalam hidup ada robekan paling tidak sopan yang menenggelamkan kita dalam tangisan, namun seorang sahabat membawa kita tertatih berjalan dan mengambil sisa tawa untuk masa depan. Menguatkan lewat doa dan menggenggam dengan Bismillah”.

Dalam paparan awalnya, narasumber menjelaskan definisi dari ‘diksi’. Diksi – akar katanya dari bahasa Latin: dictionem. Kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi diction, kata kerja ini berarti: pilihan kata. Maksudnya, pilihan kata untuk menuliskan sesuatu secara ekspresif. Sehingga tulisan tersebut memiliki ruh dan karakter kuat, mampu menggetarkan atau mempermainkan pembacanya.

Dalam sejarah bahasa, Aristoteles – filsuf dan ilmuwan Yunani inilah yang memperkenalkan diksi sebagai sarana menulis indah dan berbobot. Gagasannya itu ia sebut diksi puitis yang ia tulis dalam Poetics- salah satu karyanya. Seseorang akan mampu menulis indah, khususnya puisi, harus memiliki kekayaan yang melimpah: diksi puitis. Gagasan Aristoteles dikembangkan fungsinya, bahwa diksi tidak hanya diperlukan bagi penyair dalam menulis puisi, tapi juga bagi para sastrawan yang menulis prosa dengan berbagai genrenya.

Narasumber juga menambahkan penjelasannya bahwa William Shakespeare dikenal sebagai sastrawan yang sangat piawai dalam menyajikan diksi melalui naskah drama. Ia menjadi mahaguru bagi siapa saja yang berminat menuliskan romantisme dipadu tragedi. Diksi Shakespeare relevan untuk menulis karya yang bersifat realita maupun metafora. Gaya penyajiannya sangat komunikatif, tak lekang digilas zaman.

Mengapa diksi begitu penting dalam kajian sebuah bahasa? Sebab banyak keindahan atas sebuah kata yang tak tereja oleh bibir. Diksi bak pijar bintang di angkasa yang menunjukkan dirinya dengan kilauan, mempesona, dan tak membosankan. Lantas, apakah begitu sulit kita dalam berdiksi? Terkadang banyak penulis yang merasa takut dalam memulai sebuah tulisan, terkadang lidah kita merasa kelu untuk menulis sesuatu yang menakjubkan. Ada keraguan yang dibungkam sebelum diterjemahkan dalam bahasa. Menulislah, karena menulis itu sederhana, sesederhana mengadukkan gula dalam gelas kopi. Menulis dari apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita dengarkan. Artinya kita bisa melibatkan 5 macam panca indra kita.

Selanjutnya, narasumber menjelaskan 5 jurus jitu dalam mengembangkan diksi yang menarik:

1.  Sense of Touch adalah menulis dengan melibatkan indra peraba. Indra peraba dapat digunakan untuk memperinci dengan apik tekstur permukaan benda atau apapun. Penggunaan indra peraba ini sangat cocok untuk menggambarkan detail suatu permukaan, gesekan, tentang apa yang kita rasakan pada kulit. Aplikasi indra peraba ini juga sangat tepat digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak terlihat, seperti angin. Atau cocok juga diterapkan untuk sesuatu yang kita rasakan dengan menyentuhnya atau tidak dengan menyentuhnya. Contoh: Pada pori-pori angin yang dingin, aku pernah mengeja rindu yang datang tanpa permisi

2.  Sense of Smell adalah menulis dengan melibatkan indra penciuman. Hal ini akan membuat tulisan kita lebih beraroma. Teknik ini akan lebih dahsyat jika dipadukan dengan indra penglihatan. Contoh: Di kepalaku wajahmu masih menjadi prasasti, dan aroma badanmu selalu kugantungkan di langit harapan.

3.  Sense of Taste adalah menulis dengan melibatkan indra perasa. Merasakan setiap energi yang ada di sekitar kita. Penggunaan indra perasa sangat ampuh untuk menggambarkan rasa suatu makanan, atau sesuatu yang tercecap di lidah. Contoh: Kukecup rasa pekat secangkir kopi di tangan kananku, sembari kugenggam HP tangan kiriku. Telah terkubur dengan bijaksana, dirimu beserta centang biru, diriku bersama centang satu.

4.  Sense of Sight adalah menulis dengan melibatkan indra penglihatan memiliki prinsip “show, don’t tell”. Selalu ingat, dalam menulis, cobalah menunjukkan kepada pembaca (dan tidak sekadar menceritakan semata). Buatlah pembaca seolah-olah bisa “melihat” apa yang tengah kita ceritakan. Buat mereka seolah bisa menonton dan membayangkannya. Prinsip utama dan manjur dalam hal ini adalah DETAIL. Tulislah apa warnanya, bagaimana bentuknya, ukurannya, umurnya, kondisinya. Contoh: Derit daun pintu mencekik udara di tengah keheningan, membuatku tersadar jika kamu hanya sebagai lamunan

5.   Sense of Hearing adalah menulis dengan melibatkan energi yang kita dengar. Begitu banyak suara di sekitar kita. Belajarlah untuk menangkapnya. Bagaimana? Dengarlah, lalu tuliskan. Mungkin, inilah sebab mengapa banyak penulis sukses yang kadang menanti hening untuk menulis. Bisa jadi mereka ingin menyimak suara-suara. Sebuah tulisan yang ditulis dengan indra pendengaran akan terasa lebih berbunyi, lebih bersuara. Selain itu, penulis juga bisa berkreasi dengan membuat hal-hal yang biasanya tak terdengar menjadi terdengar. Contoh: Derum kejahatan yang mendekat terasa begitu kencang. Udara hening, tetapi terasa berat oleh jerit keputusasaan yang dikumandangkan bebatuan, sebuah keputusan yang menghakimiku untuk tak lagi merinduimu.

Acapkali dalam menulis kita hanya melibatkan otak kita sebagai muara untuk berpikir tanpa kita dengar, tanpa kita rasa, tanpa kita raba, jika terkadang sesuatu di pelupuk mata bisa menjadi rongga untuk mencumbu tulisan kita. Mengapa kita selalu melihat kursi yang kita duduki dengan pandangan yang begitu sederhana? Sesekali buatlah ia mempesona dan anggun, seperti: Di atas kursi ini, aku pernah memeluk ratapan bagaimana menungguimu dengan sebuah doa takdim.

Setelah mencoba, kita akan yakin, setelah yakin Pasti Bisa. Did you know a true writers is someone that never feeling down. Seberapa sulit hal yang kita hadapi she’s never give up. Ia sama sekali tak putus asa, selalu berusaha mencoba dan terus mencoba. Seberapa sulit ia menata perasaannya, she’s always create a good idea ia selalu menumbuhkan ide-ide baru.

Untuk memperdalam materi tentang diksi dan seni bahasa, perlu ditampilkan beberapa pertanyaan dari peserta sekaligus jawaban langsung dari narasumber:

1.    Pertanyaan dari Ibu Endang Ratna Juwita (Bogor):

a.    Bagaimana caranya kita untuk bisa membuat diksi yang indah dan bisa menyentuh kalbu?

Cara membuat diksi yang indah telah saya kemukakan di sesi materi, yaitu mencoba menulis dengan melibatkan kelima panca indra.

b.    Adakah kamus atau buku yang berisi diksi?

Kamus untuk diksi maybe belum ada. Tapi ketika kita sering membaca tulisan dengan aroma diksi, kita akan piawai berdiksi.

c.  Bagaimana menyingkirkan keraguan kalau tulisan diksi kita ini pantas untuk dibaca?

Tulis saja, abaikan semua keraguan, lihat, rasakan, lakukan, tulis seindah jemari mampu mengubah isi hati.

2.    Pertanyaan dari Bapak Saeful Hikmah (Rengasdengklok Karawang):

a.   Diksi dan puisi tidak bisa dipisahkan, bagaikan sambal dan pedasnya. Apakah diksi dan puisi ada pada tatanan akal pikiran? Bukankah struktur manusia terdiri dari jasad, akal, pikiran, fuad, lub, dan ruh? Bagaimana cara agar bisa dengan mudah merenda kata sehingga siapapun yang membacanya menggetar dan terpincut hatinya menjadi gundah gulana?

Diksi tak melulu untuk puisi. Bagaimana diksi itu bisa masuk dalam pelataran logika, karena logika adalah akal yang digerakkan sebuah ruh. Tulisan adalah hasil karya dari sebuah jasad yang diperintah oleh otak, kemudian ia menapaki kalbu sebagai jejak untuk bersuara. Suara itu tak melulu tentang ucapan, pula sebuah tulisan dengan segala keindahannya.

3.    Pertanyaan dari Ibu Wahyuning (Jakarta):

a.  Jika menulis adalah my passion, maka membaca adalah my duty. So bagaimana mengolahnya agar 5 panca indra itu tergali? Karena terkadang merasakan saja tidak cukup.

Panca indra itu melekat dalam jasad kita, kita tak perlu perintahkan ia untuk memandu hati kita membuat sebuah tulisan yang indah. Tugas kita adalah menerima sinyal dari kelima panca indra tersebut yang kemudian kita bisa jabarkan dalam sebuah tulisan. Ketika kelima indra itu kita libatkan, maka tak ada tulisan yang biasa. Pepatah mengatakan menulislah dengan hati. Karena apa? Karena hati mampu menerka indra kita dengan baik.

4.    Pertanyaan dari Ibu Rosjida Ambawani:

a. Apakah puisi yang bagus itu yang sulit dipahami? Yang menjadikan kita mengeryitkan dahi dalam memahaminya?

Puisi yang bagus itu bukan yang sulit dipahami, tetapi memiliki pola arti dan tujuan. Setiap bait mengandung simpulan. Diksi hanyalah sebuah pemanis untuk mempercantik sebuah puisi.

b.  Jika kita ingin mengungkapkan suatu rasa dan itu ternyata susah mencari diksi yang pas, manakah yang lebih penting: ungkapan rasa yang lebih tepat terungkap atau mencari dulu diksi yang serasi?

Yang lebih penting adalah ungkapkan rasa yang lebih tepat. Karena rasa lahir dari hati ia tak pernah munafik. Setelah rasa itu diutarakan, entah bahagia atau emosi ia akan lahir dalam diksi yang natural.

5.    Pertanyaan dari Ibu Alfanita (Tangerang):

a. Bagaimanakah seharusnya sikap seorang penulis diksi ketika keadaan hati dan pikirannya sedang berkecamuk atau tidak baik-baik saja namun bisa tetap membuat tulisan/diksi yang bermakna dan menyentuh hati?

Emosi adalah bahasa hati. Biarkan ia mengalir luruh agar sampai pada puncak nan elegan. Menulislah dengan hati yang jujur, karena tulisan yang dicampuri oleh hati, maka ia akan sampai pada hati pembaca.

6.    Pertanyaan dari Evridus Mangung (NTT):

a.    Apakah pemilihan diksi harus disesuaikan dengan pembaca/pendengar?

Ketika kita menulis, maka kita adalah seorang subjek yang memberi informasi. Apa yang akan kita tulis itu yang akan dinikmati pembaca. Menulislah untuk didengarkan pembaca, bukan menulis sesuai keinginan pembaca.

b.    Bagaimana teknik memilih diksi pada kata yang memiliki kemiripan arti?

Diksi adalah padanan kata, ketika kita biasa menulis dengan bahasa sederhana, contoh ‘mengucap’ sesekali kita ganti dengan ‘merapal’. Lebih aneh, lebih terkesan dan lebih membuat penasaran pembaca.

    Akhirnya, dari paparan dan penjelasan narasumber Ibu Maydearly bisa disimpulkan bahwa diksi tak melulu untuk puisi. Diksi dijabarkan sebagai kekayaan bahasa, memaknai kata sebagai bentuk keindahan. Layaknya secangkir teh, ada hangat yang perlu diresapi karena bahasa adalah jembatan di mana kita bisa mengerti dan saling memahami. Diksi adalah bagian dari seni bahasa, karena seni bahasa itu meliputi menulis dan berbicara. Selamat menulis!


2 komentar:

Jejak Waktu: Memetik Hikmah di Setiap Langkah Perjalanan Hidup

“ Waktu adalah perjalanan, ambillah pelajaran dari setiap kejadian ” adalah ungkapan yang menggambarkan bagaimana waktu tidak hanya berger...