A. Hadis
Hadis merupakan
peninggalan yang berharga dari Rasulullah SAW. Pernyataan ini berdasarkan hadis
yang diriwayatkan oleh Muwatta’ Malik:
مَالِكٌ
بْنُ أَنَسٍ -رَحِمَهُ اللهُ-: بَلَغَهُ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا
مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ"
(أَخْرَجَهُ الْمُوَطَّأُ).
“Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
‘Saya meninggalkan kalian dua hal, yang jika dijadikan pegangan tidak akan
tersesat, kedua hal itu adalah al-Qur’an dan sunnah (hadis).”
Dari hadis di atas,
ulama menjadikan hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an dalam berbagai
bidang termasuk hukum Islam maupun yang lainnya. Dalam arti luas hadis sebagai
sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an. Karena itulah segala sesuatu ajaran
Islam harus sesuai dengan yang ada dalam al-Qur’an dan hadis.
Secara
etimologi, hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis yang
berarti pembicaraan. Kata hadis mempunyai beberapa arti yaitu:
1. “Jadid” (baru), sebagai lawan
dari kata “qadim” (terdahulu). Dalam hal ini yang dimaksud qadim
adalah kitab Allah, sedangkan yang dimaksud jadid adalah hadis Nabi
Muhammad SAW.
2. “Qarib”, yang berarti dekat
atau dalam waktu dekat belum lama.
3. “Khabar”, yang berarti warta
berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
seseorang. Hadis selalu menggunakan ungkapan أَخْبَرَنَا،
حَدَّثَنَا، وَأَنْبَأَنَا (mengabarkan kepada
kami, memberitahu kepada kami, dan menceritakan kepada kami). Makna terakhir
inilah yang populer dalam ilmu hadis.
Sedangkan
pengertian hadis secara terminologi, maka terjadi perbedaan antara pendapat
ahli hadis dengan ahli ushul. Ulama ahli hadis ada yang memberikan pengertian
hadis secara terbatas (sempit) dan ada yang memberikan pengertian secara luas.
Pengertian hadis secara terbatas di antaranya sebagaimana yang diberikan oleh
Mahmud Tahhan adalah:
مَا
أُضِيْفَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ
أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, atau sifat.”
Ulama hadis yang lain memberikan pengertian hadis sebagai berikut:
أَقْوَالُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالُهُ وَأَحْوَالُهُ
“.Segala ucapan Nabi SAW, perbuatan, dan keadaannya (hal ihwal)”
Ulama hadis menerangkan
bahwa yang termasuk “hal ihwal” di sini adalah segala pemberitaan tentang Nabi
SAW, seperti karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaannya.
Adapun pengertian hadis secara luas sebagaimana yang diberikan oleh sebagian ulama seperti Ath-Thiby berpendapat bahwa hadis itu tidak hanya meliputi sabda Nabi, perbuatan dan taqrir beliau (hadis marfu’), juga meliputi sabda, perbuatan, dan taqrir para sahabat (hadis mauquf), serta tabi’in (hadis maqthu’).
Ulama ushul fikih mendefinisikan hadis sebagai berikut:
أَقْوَالُهُ
وَأَفْعَالُهُ وَتَقْرِيْرَاتُهُ الَّتِي تَثْبُتُ الْأَحْكَامُ
“Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang dapat menjadi dalil untuk menetapkan hukum.”
Sedangkan hadis menurut ulama ahli fikih:
كُلُّ
مَا ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ بَابِ
الْفَرْضِ وَلَا الْوَاجِبِ
“Segala ketetapan yang berasal dari Nabi
SAW, yang bukan hukum fardhu serta bukan wajib.”
Dari pengertian di
atas, dapat disimpulkan bahwa hadis di dalamnya mencakup berbagai hal, yaitu:
a. Perkataan, ialah segala ucapan
Nabi SAW dalam berbagai segi. Misalnya, masalah hukum, akhlak, akidah,
pendidikan, dan sebagainya. Masalah hukum, contoh dalam hadis:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنَّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . . . (متفق عليه)
."Sesungguhnya sahnya amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya”
b. Perbuatan Rasulullah SAW
merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syara’ yang belum
jelas cara mengerjakannya, seperti cara mengerjakan shalat, puasa, haji, dan
sebagainya.
c. Penetapan (Taqrir).
Yang dimaksud adalah keadaan Rasulullah SAW mendiamkan, tak mengadakan
sanggahan atau persetujuan atas perbuatan sahabat yang dilakukan di hadapan
beliau. Contoh, dalam suatu undangan, Khalid bin Walid menyajikan daging
binatang biawak Arab (dzab) dan Khalid mempersilahkan beliau SAW dan para
undangan untuk menikmatinya.
d. Sifat-sifat, keadaan, dan hasrat Rasulullah SAW.
Sifat-sifat Rasulullah yang termasuk unsur hadis antara lain: sifat-sifat
Rasulullah SAW yang dijelaskan oleh para sahabat atau sejarahwan; Silsilah,
nama-nama dan tahun kelahiran; Himmah (hasrat) yaitu keinginan Nabi SAW yang
belum terealisasi, seperti puasa pada tanggal 9 di bulan Muharram, yang Nabi
SAW sendiri belum pernah melakukannya.
Dari pembahasan di atas
dapat dikatakan bahwa definisi hadis dapat bermacam-macam tergantung siapa yang
memahaminya dan memberi pengertian. Bagi ahli hukum cenderung hanya membatasi
konteks tertentu yang berimplikasi pada hukum, sementara ahli hadis memberikan
pengertian yang lebih luas sebagaimana tergambar dari pengertian di atas.
B. Sunnah
Di berbagai literatur
dan di masyarakat keberadaan hadis sering diidentikkan dengan sunnah bahkan
disamakan. Apakah sunnah identik dengan hadis atau tidak?
Sunnah secara etimologi
(bahasa) berarti:
الطَّرِيْقَةُ
مَحْمُوْدَةً كَانَتْ أَوْ مَذْمُوْمَةً
“Jalan atau tradisi kebiasaan, baik terpuji atau tercela”
Secara etimologi,
sunnah adalah jalan atau perikehidupan (السِّيْرَةُ),
tabiat (الطَّبِيْعَةُ),
dan syariat (الشَّرِيْعَةُ),
sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamakan sunnah walaupun tidak baik.
Oleh karenanya, jika suatu tradisi masa Nabi SAW bersumber dari kenabian maka
akan menjadi sunnah, dan jika hanya dikemukakan sekali atau beberapa kali dan
tidak mentradisi maka bukan disebut sebagai sunnah melainkan disebut dengan
hadis.
Dalam makna sunnah
secara umum ini, ada sabda Nabi Muhammad SAW:
مَنْ
سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa membuat sebuah sunnah (jalan)
yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala orang lain yang
mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan suatu sunnah
yang buruk maka atasnya dosa dan dosa orang lain yang mengerjakannya hingga
hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pengertian sunnah
secara terminologi menjadi beragam di kalangan para pengkaji syariat, sesuai
dengan spesialisasi dan tujuan masing-masing. Ada ulama yang mengartikan sama
dengan hadis, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi
syarat-syarat tertentu yang berbeda dengan istilah hadis.
Sunnah menurut istilah muhadditsin
(ahli-ahli hadis) pengertiannya sama dengan pengertian hadis, yaitu:
كُلُّ
مَا أُثِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ
أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ أَوْ خُلُقِيَّةٍ أَوْ سِيْرَةٍ سَوَاءٌ
أَكَانَ ذٰلِكَ قَبْلَ الْبِعْثَةِ أَمْ بَعْدَهَا
“Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, hal ihwal, perjalanan hidup
baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW diutus menjadi Rasul maupun
sesudahnya.”
Ulama hadis
mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, karena mereka memandang diri
Rasulullah SAW sebagai uswah hasanah (suri teladan yang paling
sempurna), bukan sebagai sumber hukum. Kapasitas beliau sebagai imam yang
memberi petunjuk dan penuntun yang memberikan nasihat yang diberitakan oleh
Allah serta sebagai teladan dan figur bagi kita. Hal ini didasarkan pada firman
Allah pada surat Al-Ahzab ayat 21:
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
Ulama hadis
membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW, baik
yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Oleh
karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang
diterima tentang diri Rasulullah SAW tanpa membedakan apakah (yang diberitakan
itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara’ atau tidak. Begitu juga
mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau
perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul atau sesudahnya.
Sementara itu ulama
ushul fikih memberikan definisi sunnah berbeda dengan pengertian yang diberikan
oleh ulama hadis. Pengertian sunnah menurut ulama ushul fikih adalah:
كُلُّ
مَا صَدَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ
مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ مِمَّا يَصْلُحُ أَنْ يَكُوْنَ دَلِيْلًا
لِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
“Segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad
SAW selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi penetapan hukum syara’.”
Ulama ushul fikih
memberikan pengertian sunnah sebagaimana diuraikan di atas, dikarenakan ulama
ushul fikih membahas segala sesuatu dari Rasulullah SAW dalam kapasitas beliau
sebagai penjelas undang-undang kehidupan dan peletak kaidah-kaidah bagi para
mujtahid sepeninggal beliau. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat
7:
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
“Apa yang diberikan oleh Rasul, maka
ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh Rasul maka jauhilah.”
Ulama fikih memandang
sunnah ialah “Perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya
tidak sampai wajib atau fardhu. Atau dengan kata lain sunnah yang merupakan
antonim dari wajib adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan,
dan tidak dituntut apabila ditinggalkan.” Mereka membahas segala sesuatu
dari Nabi SAW yang menunjukkan ketentuan syara’ yang berkenaan dengan perbuatan
manusia baik dari segi wajib, mubah, atau yang lain.
Menurut para ulama
sunnah adalah lawan dari bid’ah. Bid’ah menurut bahasa memiliki beberapa makna,
yaitu: penemuan terbaru, sesuatu yang sangat indah, dan lelah. Sedang menurut
pengertian agama bid’ah adalah apapun yang terjadi setelah Rasulullah SAW wafat
berupa kebaikan atau sebaliknya, dan tidak mempunyai dalil syara’ yang jelas.
Menurut Muhammad Ajjaj
al-Khatib, bila kata sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara’,
maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini ialah segala sesuatu yang diperintahkan,
dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perkataan maupun
perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan
al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksud adalah al-Qur’an dan Hadis.
Menurut Dr. Taufiq
dalam kitabnya Dinullah fi Kutub al-Anbiya’ menerangkan bahwa sunnah
ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktikkan oleh Nabi secara kontinyu
dan diikuti oleh para sahabatnya. Sedangkan hadis ialah ucapan-ucapan Nabi yang
diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang
mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
Perbedaan hadis dan
sunnah, jika penyandaran sesuatu kepada Nabi SAW walaupun baru satu kali
dikerjakan bahkan masih berupa azam menurut sebagian ulama disebut hadis
bukan sunnah. Sunnah harus sudah berulang kali atau menjadi kebiasaan yang
telah dilakukan Rasulullah SAW. Perbedaan lain, hadis menurut sebagian ulama
ushul fikih identik dengan sunnah qauliyah saja, karena melihat hadis hanya
berbentuk perkataan, sedangkan sunnah berbentuk tindakan atau perbuatan yang
telah mentradisi.
C. Khabar
Khabar menurut bahasa
adalah warta berita yang disampaikan dari seseorang, jamaknya “Akhbar”. Menurut
Ibnu Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadis
sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu’,
mauquf, dan maqthu’.
Sebagian ulama
mengatakan hadis adalah apa yang datang dari Nabi SAW. Sedangkan khabar adalah
apa yang datang dari selain Nabi SAW. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa
hadis lebih umum dari khabar. Oleh karena itu orang yang sibuk dengan sunnah
disebut “Muhaddits”, sedangkan yang sibuk dengan sejarah dan sejenisnya disebut
“Akhbariy”.
Dikatakan bahwa antara
hadis dan khabar terdapat makna umum dan khusus yang mutlak. Jadi setiap hadis
adalah khabar tetapi tidak sebaliknya.
D. Atsar
Atsar menurut bahasa
adalah “bekas sesuatu atau sisa sesuatu” berarti nukilan. Sedangkan menurut
istilah jumhur ulama artinya sama dengan khabar dan hadis. Para ahli fikih
memakai perkataan atsar untuk perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan
lain-lain. Ada yang mengatakan atsar lebih umum daripada khabar. Imam Nawawi
menerangkan bahwa para ahli fikih Khurasan menamai perkataan sahabat (mauquf)
dengan atsar dan menamai hadis Nabi (marfu’) dengan khabar.
E. Fungsi Hadis
Ada tiga fungsi hadis
terhadap al-Qur’an, yaitu:
1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang
telah ditentukan oleh al-Qur’an. Maka dalam hal ini
keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya, Allah di dalam al-Qur’an
memerintahkan agar ditegakkan shalat, bayar zakat, puasa dan haji, maka
Rasulullah SAW dalam hadisnya memperkuat kewajiban tersebut dengan mengatakan
bahwa “Islam ditegakkan atas lima dasar, yaitu syahadat, shalat, zakat,
puasa, dan haji”.
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an yang masih mujmal (global), memberikan taqyid
(persyaratan) ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum.
Misalnya, perintah mengerjakan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah
haji di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara
melaksanakan shalat, tidak diatur detail nisab-nisab zakat dan tidak dipaparkan
cara-cara melakukan ibadah haji. Kemudian Nabi Muhammad SAW melalui
hadis-hadisnya mengatur secara terperinci dan sejelas-jelasnya.
3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak
didapati di dalam al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau
aturan-aturan itu hanya berasaskan hadis semata-mata. Misalnya larangan berpoligami
bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan, “Tidak
boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan saudari bapaknya
dan seorang wanita dengan saudari ibunya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kedudukan hadis dalam menetapkan hukum
baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an di atas menunjukkan bahwa hadis
merupakan sumber hukum Islam. Hukum yang merupakan produk hadis/sunnah yang
tidak ditunjukkan oleh al-Qur’an banyak sekali. Seperti larangan Rasulullah SAW
terhadap laki-laki dalam memakai sutra dan emas:
حُرِّمَ
لِبَاسُ الْحَرِيْرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ
“Telah diharamkan memakai sutra dan emas pada orang laki-laki
dari umatku dan dihalalkan bagi orang-orang perempuan”
Demikian
pula keharaman memakan burung yang berkuku tajam, hewan bertaring, dan lain
sebagainya, menunjukkan bahwa hadis Nabi SAW juga merupakan sumber hukum Islam
setelah al-Qur’an. Dr. Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa “hadis menjadi
rujukan hukum yang tiada pernah habis-habisnya pada pembahasan fikih”.
Sumber Bacaan:
Alamsyah. 2015. Ilmu-Ilmu Hadis (Ulum al-Hadis),
CV. Anugrah Utama Raharja (AURA).
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. 1997. As-Sunnah Qabla
at-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr.
_______________________. 2007. Ushul al-Hadis,
‘Ulumuhu wa Musthalahuhu; Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Terjemah: M. Nur Ahmad
Musafiq), Jakarta: Gaya Media Pratama.
Al-Qardhawi, Yusuf. 2007. Pengantar Studi Hadis,
Bandung: Pustaka Setia.
Al-Siba’i, Mustafa. 1949. As-Sunnah wa Makanatuhu
fi al-Tasyri’, Kairo: Dar al-Qaumiyah.
As-Shidiqy, Hasby. 1974. Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang.
Bahreisy, Salim. 1987. Terjemah Riyadhus-Shalihin
Juz II, Bandung: Al-Ma’arif.
Hamadah, Abbas Mutawali. Tanpa Tahun. As-Sunnah
an-Nabawiyah wa Makanatuh fi at-Tasyri’, Kairo: Dar al-Qauniyah.
Hanafi, Ahmad. 1989. Pengantar dan Sejarah Hukum
Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Marhumah. 2014. Ulumul Hadis: Konsep, Urgensi, Objek Kajian, Metode dan Contoh, Cetakan Pertama, Yogyakarta: SUKA-Press.
Rofiah, Khusniati. 2018. Studi Ilmu Hadits, Cetakan II, Ponorogo: IAIN PO Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar