Senin, 01 Mei 2023

MENUJU PENDIDIKAN BERADAB

 Refleksi Pendidikan Perspektif Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sekaligus momentum hari lahirnya bapak pendidikan nasional yakni Ki Hadjar Dewantara. Seorang pahlawan yang berkontribusi besar dalam dunia pendidikan yang ada di Nusantara.

Ki Hadjar Dewantara menciptakan semboyan yang sampai saat ini masih digunakan dalam dunia pendidikan. Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Artinya, di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik. Di tengah-tengah murid, guru harus menciptakan prakarsa atau ide. Dari belakang, seorang guru harus memberikan dorongan atau arahan.

Mendidik adalah seni. Tidak bisa diatur dengan sistem administrasi yang terlalu ketat. Yang lebih penting dilihat adalah bagaimana hasilnya. Administrasi memang penting, tetapi jangan sampai mengorbankan substansi. Sebagai contoh, bagaimana mendidik anak-anak menjadi jujur. Tidak bisa dibuat program yang kaku, bahwa dalam satu semester, semua anak sudah selesai programnya dan menjadi orang jujur semua. Kondisi tiap anak pun memiliki problem tersendiri, yang bisa berbeda satu dengan lainnya. Guru yang baik adalah yang tahu betul potensi dan problem yang dihadapi anak didiknya. Jika guru hanya datang ke kelas, menyampaikan materi pelajaran, lalu di akhir semester mengadakan ujian tulis, tanpa peduli dengan kondisi kejiwaan setiap muridnya, maka guru semacam ini tidak akan mampu mendidik karakter dengan baik.

Para pakar pendidikan pasti sudah memahami, bahwa mendidik anak –apalagi menanamkan nilai-nilai kebaikan atau keadilan dalam diri anak– bukanlah perkara mudah. Ini membutuhkan ilmu yang cukup, kesungguhan, keikhlasan, dan permohonan doa kepada Allah SWT. Menanamkan nilai-nilai kebaikan pada diri anak itu tidak sama dengan membuat gelas yang bisa ditarget, dalam sekian waktu, akan tercetak sekian lusin gelas. Sudah saatnya pemerintah memberikan kepercayaan kepada para guru dan orang tua untuk mendidik anak-anak didik mereka dengan benar. Di sinilah perlunya ada anggaran dan program khusus dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas orang tua dan guru sebagai pendidik profesional, bukan sekedar pengajar profesional (Adian Husaini, 2023: 24-25).

Dalam merefleksikan pendidikan di negara kita tercinta Indonesia, muncul sebuah pertanyaan, bagaimana wajah pendidikan kita dewasa ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis menggunakan perspektif Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 5 September 1931) yang merupakan seorang cendekiawan dan filsuf muslim saat ini dari Malaysia. Ia menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur. Ia juga menulis berbagai buku di bidang pemikiran dan peradaban Islam, khususnya tentang sufisme, kosmologi, filsafat, dan literatur Malaysia. Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan ilmuwan yang sangat cerdas sekaligus religius. Konsep ta’dib atau adab digunakan sebagai istilah pendidikan yang menurut al-Attas dianggap lebih tepat, sebab di dalamnya sudah mencakup antara ilmu dan amal sekaligus. Syed Muhammad Naquib al-Attas membagi ilmu ke dalam 2 jenis yakni ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Hal tersebut juga serupa dengan pembagian ilmu dalam pendidikan di Indonesia yakni ilmu agama, ilmu sosial dan ilmu sains. Di samping itu, Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan pemikir Islam kontemporer yang memiliki concern tinggi terhadap kemunduran peradaban umat Islam serta konsep pendidikannya yang tergolong fundamental. Sehingga sosok dan pemikirannya menarik untuk ditelaah.

 

Peran Penting Pendidikan

Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat serta berbangsa untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Sehingga kegiatan pendidikan nasional perlu dikelola serta diorganisasikan menjadi sarana untuk mewujudkan cita-cita nasional (Akhmad Hidayatullah Al Arifin, 2012: 73). Sedangkan pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu mengembangkan dan mengasah kecerdasan majemuk anak didik, yakni tidak hanya mampu mengasah kecerdasan intelektualnya saja, namun mencakup kecerdasan emosional, sosial, serta spiritual agar mampu memberikan keseimbangan pada diri anak dari aspek individualitas kepada aspek sosialitas atau kepekaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat (Sagaf. S. Pettalongi, 2013: 177).

Tidak bisa dipungkiri, bahwa akar masalah dari berbagai krisis yang melanda negeri kita adalah ‘pendidikan’. Sebab, dari dunia pendidikan inilah dilahirkan para pemimpin, guru, pekerja, politisi, pengusaha, dan sebagainya. Dalam bahasa Imam al-Ghazali, akar masalah yang menimpa masyarakat adalah kerusakan ulama, yang berakar lagi pada kerusakan ilmu. Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebut, akar masalah umat adalah loss of adab yang berakar dari conflusion of knowledge.

Dalam proses pendidikan, guru merupakan kunci perbaikan pendidikan. Guru adalah produk pendidikan tinggi. Jika guru mendapat ilmu yang salah, maka ia akan berpikir dan berperilaku salah pula. Ilmu yang salah itulah yang selanjutnya ia ajarkan kepada para muridnya. Akibatnya, tercipta lingkaran setan kekeliruan ilmu dan pendidikan, yang kemudian melahirkan pemimpin-pemimpin yang keliru pula, yang tidak beradab, yang tidak memahami bagaimana seharusnya memahami dan menyikapi segala sesuatu dengan benar dan tepat, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah SWT.

Karena itu, sudah saatnya bangsa Indonesia, dan kaum muslim khususnya berani melakukan evaluasi secara mendasar terhadap kondisi pendidikan kita saat ini, dalam berbagai aspek dan jenjang pendidikan. Kita bersyukur memiliki konstitusi yang secara tegas menyebutkan tujuan pendidikan untuk membentuk manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Juga, bukan kebetulan, jika para perumus Dasar Negara Kesatuan RI bersepakat dengan rumusan “Kemanusiaan yang adil dan beradab!” Istilah adil dan beradab sangat akrab di kalangan bangsa Indonesia. Beratus tahun sebelum datangnya penjajah, bangsa Indonesia telah menerapkan sistem pendidikan beradab yang dikenal sebagai “pesantren”. Ciri utamanya, keilmuan, pengamalan, dan keteladanan secara terpadu.

Dari pesantren inilah lahir banyak ilmuwan dan pemimpin bangsa. KH. Wahid Hasyim, misalnya, salah satu perumus Dasar Negara, adalah produk pesantren yang menguasai berbagai bidang ilmu dan kepemimpinan. Beliau putra dan murid dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, yang dikenal sebagai penulis kitab tentang adab, yaitu Adabul ‘Alim wal-Muta’allim.

Merujuk pada rumusan “Kemanusiaan yang adil dan beradab itu”, sudah saatnya para pegiat pendidikan menggali kembali makna adab. Seorang ulama menasehati anaknya, “Yā Bunayya, ashibil fuqahā wal-‘ulamā, wa-ta’allum minhum, wa-khudz adabahum” (Wahai anakku, bergaullah dengan para fuqaha dan ulama, belajar pada mereka, dan ambillah adab mereka).

Dalam hadis riwayat Ibnu Majah, Nabi Muhammad SAW pun berpesan kepada umatnya, “Akrimū aulādakum, wa-ahsinū adabahum” (Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka). Kitab Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, karya KH. Hasyim Asy’ari, menyebutkan, bahwa Imam asy-Syafi’i rahimahullah, pernah ditanya, “Bagaimana usaha Tuan dalam mencari adab?” Sang Imam menjawab, “Aku senantiasa mencarinya laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang”. (Adian Husaini, 2023: xvi-xviii)

 

Konsep Pendidikan Beradab

Konsep “pendidikan beradab” (proses pembentukan manusia beradab), dikonseptualkan secara komprehensif oleh Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam pertama di Mekkah, 1977. Dalam wawancara dengan cendekiawan Muslim AS, Hamza Yusuf, Prof. Naquib al-Attas juga menyebutkan, bahwa akar krisis yang dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah “loss of adab”.

Menurut Prof. Naquib al-Attas, masalah internal yang mendasar pada umat Islam tersebut adalah “loss of adab”, yang dijelaskan maknanya sebagai: “lost of discipline –the discipline of body, mind, and soul; the discipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s self, society, and community; the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potentials; the recognition and acknowledgement of the fact that knowledge and being are ordered hierarchically” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, 1979: 2).

Penjelasan al-Attas itu sangat menarik, sebab memberikan definisi loss of adab sebagai “hilang disiplin”, yakni hilang disiplin badan, pemikiran, dan jiwa. Seorang beradab, menurutnya, adalah orang yang memahami dan mengakui posisinya yang tepat dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat, dan dengan komunitasnya. Ia memahami dan menyikapi dengan betul potensi-potensi fisik, intelektual, dan spiritualnya. Juga, ia memiliki sikap yang betul terhadap kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan wujud diatur secara hirarkis.

Ketika manusia tidak paham atau tidak memiliki sikap dan tindakan yang betul terhadap diri dan lingkungannya serta terhadap ilmu pengetahuan dan tatanan wujud, maka manusia itu telah hilang adabnya. “Hilang adab”! Itulah krisis yang paling asas yang dialami umat Islam. Maka, solusinya, tentu saja adalah: “temukan dan terapkan adab dalam kehidupan umat Islam”. Proses penanaman adab dalam diri seseorang itulah yang disebut ta’dib (pendidikan). Prof. Naquib al-Attas sangat yakin, bahwa pendidikan dalam Islam pada intinya adalah proses penanaman adab dalam diri seorang muslim.

Jika loss adab itu terjadi pada adab terhadap ilmu, maka akan berdampak serius pada kondisi umat secara keseluruhan. Sebab, ilmu menjadi dasar amal. Karena itu, Prof. Naquib al-Attas menekankan pentingnya memahami tujuan mencari ilmu yang benar. Dalam buku Islam and Secularism, al-Attas menggariskan tujuan pendidikan dalam Islam tersebut: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a good man... the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab... (Syed Muhammad Naquib al-Attas, 2003: 150-151).

Jadi, tujuan utama mencari ilmu adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan atau nilai-nilai keadilan. Itu bermakna, bahwa Prof. Naquib al-Attas lebih menekankan pendidikan sebagai proses pembentukan sikap dan perilaku yang betul (beradab) untuk mewujudkan tegaknya keadilan. Pendidikan bukan sekedar pengajaran atau sekedar penambahan wawasan. Tetapi, lebih penting lagi, pendidikan harus berdampak kepada perubahan sikap dan perilaku. Tentu saja, perilaku yang betul itu pun harus bersumber dari ilmu yang benar.

Dalam kitab Ayyuhal Walad, Imam al-Ghazali menekankan: “al-‘ilmu bilā ‘amalin junūnun, wal-‘amalu bilā ‘ilmin lam yakun” (Ilmu tanpa diamalkan itu gila, dan amal tanpa ilmu itu tiada nilainya). Nabi Muhammad SAW sudah mengingatkan bahwa nilai suatu amal itu tergantung niatnya. Untuk apa seseorang mencari ilmu. Jika tanpa niat yang ikhlas, maka mencari ilmu itu tidak akan bernilai, dan bahkan bisa menjadi bencana yang merusak. Di antara adab mencari ilmu yang benar adalah lurus niatnya.

Jadi, “producing a good man” melalui proses penanaman adab dalam diri seorang muslim itulah hakikat dari pendidikan, dan itulah yang seharusnya menjadi fokus utama perjuangan umat Islam. Sumber Daya Manusia yang unggul adalah kunci keberhasilan perubahan menuju yang lebih baik. Perjuangan membentuk berbagai lembaga atau institusi Islam –dalam semua bidang kehidupan– akan berakhir dengan sia-sia jika lembaga-lembaga itu dikelola manusia-manusia yang tidak bermutu atau manusia-manusia tidak beradab. Karena itulah, keberhasilan dakwah Rasulullah SAW yang sangat fenomenal adalah melahirkan satu generasi terbaik. Generasi inilah yang mampu melanjutkan dakwah Nabi Muhammad SAW dengan sangat gemilang, dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang politik kenegaraan dan pendidikan.

Merujuk pada konsep adab yang dirumuskan Prof. Naquib al-Attas, maka tujuan pendidikan dalam Islam adalah melahirkan manusia yang beradab (insan adabi) atau manusia yang baik (good man). Bisa dikatakan, adab adalah “karakter plus iman dan doa”. Dalam proses penanaman adab, guru atau orang tua harus menanamkan landasan keimanan, memberikan keteladanan, melakukan proses pembiasaan/pembudayaan, dan juga senantiasa mendoakan keberhasilan muridnya menjadi manusia yang baik. Karena itu, adab memang memerlukan guru-guru yang baik bahkan guru yang hebat, yang bekerja karena kecintaan dan keikhlasan. Karena itu, kunci keberhasilan penanaman adab ini memang pada keberhasilan mencetak guru-guru yang baik. Sangat menyedihkan jika lembaga-lembaga pendidikan guru menanamkan tujuan materialistik pada calon-calon guru. Jika sifat “hubbud-dunya” sudah tertanam pada diri guru, berapa pun anggaran pendidikan yang dikucurkan maka akan terjadi usaha penyimpangan, karena “materi” telah menjadi tujuan utama. Bukan lagi tujuan utama mengajar adalah mengejar amal jariyah dan kebahagiaan/sa’adah (Adian Husaini, 2023: 46).   

Intinya, adab adalah kemauan dan kemampuan seseorang untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai harkat dan martabat yang ditentukan Allah SWT. Siswa beradab akan ikhlas taat kepada Tuhannya, hormat guru dan orang tua, cinta sesama teman, gigih belajar dengan jujur untuk mengembangkan potensi dirinya sebagai anugerah Allah SWT.

 

Pentingnya Adab Kepada Guru

Sebagai penutup tulisan ini, penulis menyajikan sebuah kisah tentang pentingnya beradab utamanya kepada guru. Dikisahkan dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin, bahwa di antara akhlak para salafus-saleh adalah sangat beradab kepada orang yang telah mengajarinya surat maupun satu ayat dari al-Qur’an, padahal itu dilakukan waktu masih kecil. Mereka selalu beradab kepada guru mereka yang telah mengajar satu surat, ayat atau bab suatu ilmu sampai tidak mau berjalan dengan kendaraan di depan gurunya atau tidak berani menikahi istri guru yang sudah dicerainya sekalipun mereka sudah menjadi ulama Islam atau guru tarekat.

Imam asy-Sya’rani rahimahullah pernah berkata, “Suatu hari aku bersama Syekh Syamsuddin ad-Dimyati rahimahullah (w. 918 H). Syekh Syamsuddin melihat orang tua buta yang dituntun oleh anak perempuannya, tiba-tiba Syekh Syamsuddin turun dari kendaraannya dan mencium tangannya dan mengantarkannya dalam perjalanan yang jauh. ‘Saat pulang aku bertanya kepadanya mengenai orang tua tadi.’ Dan Syekh Syamsuddin berkata, ‘Aku pernah belajar ayat al-Qur’an kepada orang tua itu sehingga aku tidak bisa untuk berjalan di hadapannya sedangkan aku berkendaraan.”

Syekh Syamsuddin ad-Dimyati rahimahullah adalah seorang yang diberi kedudukan (tinggi) di hadapan para raja, juga dianugerahi keyakinan, ilmu, dan kebaikan. Menurut Imam asy-Sya’rani, “Aku tidak pernah melihat seorang ulama dari temannya yang seperti beliau. Pada suatu hari aku melihatnya berada di antara dua raja dan masyarakat berdesakan untuk mencium tangan Syekh Syamsuddin. Sedangkan untuk orang-orang yang tidak bisa sampai kepadanya mereka membentangkan kain agar bisa bersentuhan dengan pakaian Syekh Syamsuddin kemudian mencium kain tersebut sebagaimana jamaah haji melakukannya saat di Ka’bah dan hal tersebut terjadi saat ia melewati kota Kairo.”

Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita untuk selalu beradab di hadapan guru kita, tidak peduli apakah ilmu yang diajarkan banyak maupun sedikit. Dengan penuh adab maka seorang penuntut ilmu akan mendapatkan keberkahan dan manfaat di dunia dan akhirat (M. Abdullah Charis, 2022: 42-43). Selamat Memperingati Hari Pendidikan Nasional (2 Mei 2023). Maju dan Jayalah Pendidikan Indonesia!

 

Sumber Bacaan:

Al Arifin, Akhmad Hidayatullah. “Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Praksis Pendidikan di Indonesia”, Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol 1, No (2012): 73.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1979. Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University.

____________________________ . 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC.

Charis, M. Abdullah. 2022. Kisah-Kisah Inspiratif Pembentuk Karakter; Mereformasi Diri Menuju Keluhuran Akhlak, Cetakan II, Malang: Ellisan.

Husaini, Adian. 2023. Pendidikan Islam; Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045 (Kompilasi Pemikiran Pendidikan), Cetakan V, Jawa Barat: Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Depok.

Pettalongi, Sagaf. S. “Islam dan Pendidikan Humanis Dalam Resolusi Konflik Sosial”, Cakrawala Pendidikan,No 2 (2013): 177.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejak Waktu: Memetik Hikmah di Setiap Langkah Perjalanan Hidup

“ Waktu adalah perjalanan, ambillah pelajaran dari setiap kejadian ” adalah ungkapan yang menggambarkan bagaimana waktu tidak hanya berger...