Refleksi Pendidikan Perspektif Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa
Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sekaligus momentum
hari lahirnya bapak pendidikan nasional yakni Ki Hadjar Dewantara. Seorang pahlawan
yang berkontribusi besar dalam dunia pendidikan yang ada di Nusantara.
Ki Hadjar Dewantara menciptakan semboyan yang sampai saat ini masih digunakan dalam dunia pendidikan. Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Artinya, di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik. Di tengah-tengah murid, guru harus menciptakan prakarsa atau ide. Dari belakang, seorang guru harus memberikan dorongan atau arahan.
Mendidik adalah seni. Tidak bisa
diatur dengan sistem administrasi yang terlalu ketat. Yang lebih penting
dilihat adalah bagaimana hasilnya. Administrasi memang penting, tetapi jangan
sampai mengorbankan substansi. Sebagai contoh, bagaimana mendidik anak-anak
menjadi jujur. Tidak bisa dibuat program yang kaku, bahwa dalam satu semester,
semua anak sudah selesai programnya dan menjadi orang jujur semua. Kondisi tiap
anak pun memiliki problem tersendiri, yang bisa berbeda satu dengan lainnya. Guru
yang baik adalah yang tahu betul potensi dan problem yang dihadapi anak
didiknya. Jika guru hanya datang ke kelas, menyampaikan materi pelajaran, lalu
di akhir semester mengadakan ujian tulis, tanpa peduli dengan kondisi kejiwaan
setiap muridnya, maka guru semacam ini tidak akan mampu mendidik karakter
dengan baik.
Para pakar pendidikan pasti sudah
memahami, bahwa mendidik anak –apalagi menanamkan nilai-nilai kebaikan atau
keadilan dalam diri anak– bukanlah perkara mudah. Ini membutuhkan ilmu yang
cukup, kesungguhan, keikhlasan, dan permohonan doa kepada Allah SWT. Menanamkan
nilai-nilai kebaikan pada diri anak itu tidak sama dengan membuat gelas yang
bisa ditarget, dalam sekian waktu, akan tercetak sekian lusin gelas. Sudah saatnya
pemerintah memberikan kepercayaan kepada para guru dan orang tua untuk mendidik
anak-anak didik mereka dengan benar. Di sinilah perlunya ada anggaran dan
program khusus dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas orang tua dan guru
sebagai pendidik profesional, bukan sekedar pengajar profesional (Adian
Husaini, 2023: 24-25).
Dalam merefleksikan pendidikan di
negara kita tercinta Indonesia, muncul sebuah pertanyaan, bagaimana wajah
pendidikan kita dewasa ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis menggunakan
perspektif Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 5 September 1931)
yang merupakan seorang cendekiawan dan filsuf muslim saat ini dari Malaysia. Ia
menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur. Ia juga
menulis berbagai buku di bidang pemikiran dan peradaban Islam, khususnya
tentang sufisme, kosmologi, filsafat, dan literatur Malaysia. Syed Muhammad
Naquib al-Attas merupakan ilmuwan yang sangat cerdas sekaligus religius. Konsep
ta’dib atau adab digunakan sebagai istilah pendidikan yang menurut
al-Attas dianggap lebih tepat, sebab di dalamnya sudah mencakup antara ilmu dan
amal sekaligus. Syed Muhammad Naquib al-Attas membagi ilmu ke dalam 2 jenis
yakni ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Hal tersebut juga
serupa dengan pembagian ilmu dalam pendidikan di Indonesia yakni ilmu agama,
ilmu sosial dan ilmu sains. Di samping itu, Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan
pemikir Islam kontemporer yang memiliki concern tinggi terhadap
kemunduran peradaban umat Islam serta konsep pendidikannya yang tergolong
fundamental. Sehingga sosok dan pemikirannya menarik untuk ditelaah.
Peran Penting Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian dari
kehidupan bermasyarakat serta berbangsa untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Sehingga
kegiatan pendidikan nasional perlu dikelola serta diorganisasikan menjadi
sarana untuk mewujudkan cita-cita nasional (Akhmad Hidayatullah Al Arifin,
2012: 73). Sedangkan pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu mengembangkan
dan mengasah kecerdasan majemuk anak didik, yakni tidak hanya mampu mengasah
kecerdasan intelektualnya saja, namun mencakup kecerdasan emosional, sosial,
serta spiritual agar mampu memberikan keseimbangan pada diri anak dari aspek
individualitas kepada aspek sosialitas atau kepekaan dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat (Sagaf. S. Pettalongi, 2013: 177).
Tidak bisa dipungkiri, bahwa akar
masalah dari berbagai krisis yang melanda negeri kita adalah ‘pendidikan’.
Sebab, dari dunia pendidikan inilah dilahirkan para pemimpin, guru, pekerja,
politisi, pengusaha, dan sebagainya. Dalam bahasa Imam al-Ghazali, akar masalah
yang menimpa masyarakat adalah kerusakan ulama, yang berakar lagi pada kerusakan
ilmu. Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebut, akar masalah umat
adalah loss of adab yang berakar dari conflusion of knowledge.
Dalam proses pendidikan, guru merupakan kunci perbaikan
pendidikan. Guru adalah produk pendidikan tinggi. Jika guru mendapat ilmu yang
salah, maka ia akan berpikir dan berperilaku salah pula. Ilmu yang salah itulah
yang selanjutnya ia ajarkan kepada para muridnya. Akibatnya, tercipta lingkaran
setan kekeliruan ilmu dan pendidikan, yang kemudian melahirkan
pemimpin-pemimpin yang keliru pula, yang tidak beradab, yang tidak memahami
bagaimana seharusnya memahami dan menyikapi segala sesuatu dengan benar dan
tepat, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah SWT.
Karena itu, sudah saatnya bangsa Indonesia, dan kaum muslim
khususnya berani melakukan evaluasi secara mendasar terhadap kondisi pendidikan
kita saat ini, dalam berbagai aspek dan jenjang pendidikan. Kita bersyukur
memiliki konstitusi yang secara tegas menyebutkan tujuan pendidikan untuk
membentuk manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Juga, bukan kebetulan, jika para perumus Dasar Negara
Kesatuan RI bersepakat dengan rumusan “Kemanusiaan yang adil dan beradab!”
Istilah adil dan beradab sangat akrab di kalangan bangsa Indonesia. Beratus
tahun sebelum datangnya penjajah, bangsa Indonesia telah menerapkan sistem
pendidikan beradab yang dikenal sebagai “pesantren”. Ciri utamanya, keilmuan,
pengamalan, dan keteladanan secara terpadu.
Dari pesantren inilah lahir banyak ilmuwan dan pemimpin
bangsa. KH. Wahid Hasyim, misalnya, salah satu perumus Dasar Negara, adalah
produk pesantren yang menguasai berbagai bidang ilmu dan kepemimpinan. Beliau
putra dan murid dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, yang dikenal sebagai
penulis kitab tentang adab, yaitu Adabul ‘Alim wal-Muta’allim.
Merujuk pada rumusan “Kemanusiaan yang adil dan beradab
itu”, sudah saatnya para pegiat pendidikan menggali kembali makna adab. Seorang
ulama menasehati anaknya, “Yā Bunayya, ashibil fuqahā wal-‘ulamā,
wa-ta’allum minhum, wa-khudz adabahum” (Wahai anakku, bergaullah dengan
para fuqaha dan ulama, belajar pada mereka, dan ambillah adab mereka).
Dalam hadis riwayat Ibnu Majah, Nabi Muhammad SAW pun
berpesan kepada umatnya, “Akrimū aulādakum, wa-ahsinū adabahum”
(Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka). Kitab Adabul ‘Alim
wal-Muta’allim, karya KH. Hasyim Asy’ari, menyebutkan, bahwa Imam
asy-Syafi’i rahimahullah, pernah ditanya, “Bagaimana usaha Tuan dalam
mencari adab?” Sang Imam menjawab, “Aku senantiasa mencarinya laksana seorang
ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang”. (Adian Husaini, 2023: xvi-xviii)
Konsep Pendidikan
Beradab
Konsep “pendidikan beradab” (proses pembentukan manusia
beradab), dikonseptualkan secara komprehensif oleh Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib
al-Attas, dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam pertama di Mekkah,
1977. Dalam wawancara dengan cendekiawan Muslim AS, Hamza Yusuf, Prof. Naquib
al-Attas juga menyebutkan, bahwa akar krisis yang dihadapi oleh umat Islam saat
ini adalah “loss of adab”.
Menurut Prof. Naquib al-Attas, masalah internal yang
mendasar pada umat Islam tersebut adalah “loss of adab”, yang dijelaskan
maknanya sebagai: “lost of discipline –the discipline of body, mind, and
soul; the discipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s
proper place in relation to one’s self, society, and community; the recognition
and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s physical,
intellectual, and spiritual capacities and potentials; the recognition and
acknowledgement of the fact that knowledge and being are ordered
hierarchically” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, 1979: 2).
Penjelasan al-Attas itu sangat menarik, sebab memberikan definisi
loss of adab sebagai “hilang disiplin”, yakni hilang disiplin badan,
pemikiran, dan jiwa. Seorang beradab, menurutnya, adalah orang yang memahami
dan mengakui posisinya yang tepat dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat,
dan dengan komunitasnya. Ia memahami dan menyikapi dengan betul potensi-potensi
fisik, intelektual, dan spiritualnya. Juga, ia memiliki sikap yang betul
terhadap kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan wujud diatur secara hirarkis.
Ketika manusia tidak paham atau tidak memiliki sikap dan
tindakan yang betul terhadap diri dan lingkungannya serta terhadap ilmu
pengetahuan dan tatanan wujud, maka manusia itu telah hilang adabnya. “Hilang
adab”! Itulah krisis yang paling asas yang dialami umat Islam. Maka, solusinya,
tentu saja adalah: “temukan dan terapkan adab dalam kehidupan umat Islam”.
Proses penanaman adab dalam diri seseorang itulah yang disebut ta’dib
(pendidikan). Prof. Naquib al-Attas sangat yakin, bahwa pendidikan dalam Islam
pada intinya adalah proses penanaman adab dalam diri seorang muslim.
Jika loss adab itu terjadi pada adab terhadap ilmu,
maka akan berdampak serius pada kondisi umat secara keseluruhan. Sebab, ilmu
menjadi dasar amal. Karena itu, Prof. Naquib al-Attas menekankan pentingnya
memahami tujuan mencari ilmu yang benar. Dalam buku Islam and Secularism,
al-Attas menggariskan tujuan pendidikan dalam Islam tersebut: “The purpose
for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as
man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce
a good man... the fundamental element inherent in the Islamic concept of
education is the inculcation of adab... (Syed Muhammad Naquib al-Attas,
2003: 150-151).
Jadi, tujuan utama mencari ilmu adalah menanamkan
nilai-nilai kebaikan atau nilai-nilai keadilan. Itu bermakna, bahwa Prof. Naquib
al-Attas lebih menekankan pendidikan sebagai proses pembentukan sikap dan
perilaku yang betul (beradab) untuk mewujudkan tegaknya keadilan. Pendidikan
bukan sekedar pengajaran atau sekedar penambahan wawasan. Tetapi, lebih penting
lagi, pendidikan harus berdampak kepada perubahan sikap dan perilaku. Tentu
saja, perilaku yang betul itu pun harus bersumber dari ilmu yang benar.
Dalam kitab Ayyuhal Walad, Imam al-Ghazali
menekankan: “al-‘ilmu bilā ‘amalin junūnun, wal-‘amalu bilā ‘ilmin lam
yakun” (Ilmu tanpa diamalkan itu gila, dan amal tanpa ilmu itu tiada
nilainya). Nabi Muhammad SAW sudah mengingatkan bahwa nilai suatu amal itu
tergantung niatnya. Untuk apa seseorang mencari ilmu. Jika tanpa niat yang
ikhlas, maka mencari ilmu itu tidak akan bernilai, dan bahkan bisa menjadi
bencana yang merusak. Di antara adab mencari ilmu yang benar adalah lurus
niatnya.
Jadi, “producing a good man” melalui proses
penanaman adab dalam diri seorang muslim itulah hakikat dari pendidikan, dan
itulah yang seharusnya menjadi fokus utama perjuangan umat Islam. Sumber Daya
Manusia yang unggul adalah kunci keberhasilan perubahan menuju yang lebih baik.
Perjuangan membentuk berbagai lembaga atau institusi Islam –dalam semua bidang
kehidupan– akan berakhir dengan sia-sia jika lembaga-lembaga itu dikelola
manusia-manusia yang tidak bermutu atau manusia-manusia tidak beradab. Karena itulah,
keberhasilan dakwah Rasulullah SAW yang sangat fenomenal adalah melahirkan satu
generasi terbaik. Generasi inilah yang mampu melanjutkan dakwah Nabi Muhammad SAW
dengan sangat gemilang, dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang
politik kenegaraan dan pendidikan.
Merujuk pada konsep adab yang dirumuskan Prof. Naquib
al-Attas, maka tujuan pendidikan dalam Islam adalah melahirkan manusia yang
beradab (insan adabi) atau manusia yang baik (good man). Bisa dikatakan,
adab adalah “karakter plus iman dan doa”. Dalam proses penanaman adab, guru
atau orang tua harus menanamkan landasan keimanan, memberikan keteladanan,
melakukan proses pembiasaan/pembudayaan, dan juga senantiasa mendoakan
keberhasilan muridnya menjadi manusia yang baik. Karena itu, adab memang
memerlukan guru-guru yang baik bahkan guru yang hebat, yang bekerja karena
kecintaan dan keikhlasan. Karena itu, kunci keberhasilan penanaman adab ini
memang pada keberhasilan mencetak guru-guru yang baik. Sangat menyedihkan jika
lembaga-lembaga pendidikan guru menanamkan tujuan materialistik pada
calon-calon guru. Jika sifat “hubbud-dunya” sudah tertanam pada diri
guru, berapa pun anggaran pendidikan yang dikucurkan maka akan terjadi usaha
penyimpangan, karena “materi” telah menjadi tujuan utama. Bukan lagi tujuan
utama mengajar adalah mengejar amal jariyah dan kebahagiaan/sa’adah
(Adian Husaini, 2023: 46).
Intinya, adab adalah kemauan dan kemampuan seseorang untuk
meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai harkat dan martabat yang ditentukan
Allah SWT. Siswa beradab akan ikhlas taat kepada Tuhannya, hormat guru dan
orang tua, cinta sesama teman, gigih belajar dengan jujur untuk mengembangkan
potensi dirinya sebagai anugerah Allah SWT.
Pentingnya
Adab Kepada Guru
Sebagai penutup tulisan ini, penulis menyajikan sebuah
kisah tentang pentingnya beradab utamanya kepada guru. Dikisahkan dalam kitab Tanbih
al-Mughtarrin, bahwa di antara akhlak para salafus-saleh adalah sangat
beradab kepada orang yang telah mengajarinya surat maupun satu ayat dari al-Qur’an,
padahal itu dilakukan waktu masih kecil. Mereka selalu beradab kepada guru
mereka yang telah mengajar satu surat, ayat atau bab suatu ilmu sampai tidak
mau berjalan dengan kendaraan di depan gurunya atau tidak berani menikahi istri
guru yang sudah dicerainya sekalipun mereka sudah menjadi ulama Islam atau guru
tarekat.
Imam asy-Sya’rani rahimahullah pernah berkata, “Suatu
hari aku bersama Syekh Syamsuddin ad-Dimyati rahimahullah (w. 918 H). Syekh
Syamsuddin melihat orang tua buta yang dituntun oleh anak perempuannya,
tiba-tiba Syekh Syamsuddin turun dari kendaraannya dan mencium tangannya dan
mengantarkannya dalam perjalanan yang jauh. ‘Saat pulang aku bertanya kepadanya
mengenai orang tua tadi.’ Dan Syekh Syamsuddin berkata, ‘Aku pernah belajar
ayat al-Qur’an kepada orang tua itu sehingga aku tidak bisa untuk berjalan di
hadapannya sedangkan aku berkendaraan.”
Syekh Syamsuddin ad-Dimyati rahimahullah adalah
seorang yang diberi kedudukan (tinggi) di hadapan para raja, juga dianugerahi
keyakinan, ilmu, dan kebaikan. Menurut Imam asy-Sya’rani, “Aku tidak pernah
melihat seorang ulama dari temannya yang seperti beliau. Pada suatu hari aku
melihatnya berada di antara dua raja dan masyarakat berdesakan untuk mencium
tangan Syekh Syamsuddin. Sedangkan untuk orang-orang yang tidak bisa sampai
kepadanya mereka membentangkan kain agar bisa bersentuhan dengan pakaian Syekh
Syamsuddin kemudian mencium kain tersebut sebagaimana jamaah haji melakukannya
saat di Ka’bah dan hal tersebut terjadi saat ia melewati kota Kairo.”
Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita untuk selalu
beradab di hadapan guru kita, tidak peduli apakah ilmu yang diajarkan banyak
maupun sedikit. Dengan penuh adab maka seorang penuntut ilmu akan mendapatkan
keberkahan dan manfaat di dunia dan akhirat (M. Abdullah Charis, 2022: 42-43). Selamat
Memperingati Hari Pendidikan Nasional (2 Mei 2023). Maju dan Jayalah Pendidikan
Indonesia!
Sumber Bacaan:
Al Arifin,
Akhmad Hidayatullah. “Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Praksis Pendidikan
di Indonesia”, Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol
1, No (2012): 73.
Al-Attas,
Syed Muhammad Naquib. 1979. Aims and Objectives of Islamic Education,
Jeddah: King Abdul Aziz University.
____________________________
. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC.
Charis, M.
Abdullah. 2022. Kisah-Kisah Inspiratif Pembentuk Karakter; Mereformasi Diri
Menuju Keluhuran Akhlak, Cetakan II, Malang: Ellisan.
Husaini, Adian. 2023. Pendidikan Islam; Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045 (Kompilasi Pemikiran Pendidikan), Cetakan V, Jawa Barat: Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Depok.
Pettalongi, Sagaf. S. “Islam dan Pendidikan Humanis Dalam Resolusi Konflik Sosial”, Cakrawala Pendidikan,No 2 (2013): 177.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar