A. Periode Mekah: Sistem Dakwah
Berdasarkan pendekatan
historis, periode kehidupan Nabi Muhammad Saw. di Mekah dibagi ke dalam empat
fase, setiap fase memiliki nilai sejarah yang amat penting untuk dijadikan
pelajaran bagi kaum muslimin sepanjang masa.
Fase pertama
berlangsung sekitar 2 tahun, yaitu sejak dilantik sebagai Rasul sampai saat
beliau menempati rumah Al-Arqam sebagai pusat kegiatan dakwah. Yang menerima
dakwah beliau pada periode ini dapat dihitung dengan jari, hanya kerabat atau
sahabat dekat seperti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, Abu
Bakar as-Shiddiq. Ada juga dari kalangan bawah termasuk para budak seperti
Bilal, Khubab, dan ‘Amr bin Yasir. Nabi Muhammad Saw. mengumpulkan mereka di
salah satu sudut Ka’bah, mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an dan menjelaskan
pokok-pokok ajaran Islam. Sebagian besar penduduk Mekah tidak keberatan dengan
kegiatan Nabi Muhammad Saw. dan pengikutnya ini, asal tuhan-tuhan mereka tidak
dijelek-jelekkan. Tapi tidak demikian halnya dengan para elit Quraisy, mereka
selalu memata-matai gerakan dakwah Nabi Muhammad Saw. dan menunjukkan kebencian
kepada keikutsertaan para budak yang mereka anggap tidak layak berada di
sekitar Ka’bah.
Pada fase kedua,
yang berlangsung mulai tahun ketiga sampai kelima, kegiatan dakwah dipusatkan
di rumah Al-Arqam. Di rumah inilah para pengikut Nabi Muhammad Saw. berkumpul
untuk mengikuti pengajaran dari beliau. Para kader lulusan periode pertama
mulai berhasil mengajak beberapa pemuda Quraisy masuk Islam, antara lain Usman
bin Madz’un, Mush’ab bin Umair, dan Usman bin Affan. Pada tahun ketiga Hamzah
bin Abdul Muthalib menyatakan diri memeluk Islam. Barisan pengikut Nabi
Muhammad Saw. diperkuat lagi dengan masuk Islamnya Umar bin Khatthab pada tahun
kelima. Jumlah pengikut Nabi Muhammad Saw. sampai akhir periode kedua ini
tercatat sekitar 70 orang.
Fase ketiga,
tahun keenam sampai tahun kesepuluh, adalah periode penuh pergolakan. Nabi
Muhammad Saw. dan para pengikutnya keluar dari Dar al-Arqam dan mulai
melakukan dakwah terbuka dengan penuh percaya diri. Meskipun beliau telah
menempuh cara yang bijaksana dalam menyampaikan ajakan-ajakannya, namun reaksi
penolakan dan perlawanan dari kaum Quraisy tetap saja muncul baik dengan cara
yang halus maupun yang keras dan kasar.
Ahmad Syalabi menyatakan
ada lima faktor penyebab orang Quraisy menolak agama Islam, yaitu: (1) Mereka
tidak bisa membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira dengan
tunduk kepada seruan Nabi Muhammad Saw. berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani
Abdul Muthalib. (2) Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang
kebangkitan dan hari pembalasan di akhirat. (3) Nabi Muhammad Saw. menyerukan
persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini ditolak oleh bangsawan
Quraisy. (4) Mereka taklid kepada nenek moyang dan sudah mendarah daging pada
bangsa Arab. (5) Pemahat dan penjual patung takut kehilangan mata pencaharian
mereka dan menganggap Islam menghalangi rezeki mereka.
Karena kekerasan dan
penindasan tidak berhasil menyurutkan bahkan lebih meneguhkan tekad Muhammad
Saw. dan pengikutnya untuk terus melancarkan dakwah, maka para elit Quraisy
berpikir keras mencari metode yang lain. Mereka memutuskan untuk melakukan
blokade dan boikot, bukan saja kepada Muhammad Saw. dan pengikutnya tapi kepada
semua keluarga Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim. Mereka didesak untuk
menempati wilayah yang dikuasai oleh keluarga Abu Thalib. Wilayah itu dikepung,
semua akses perdagangan ditutup dan suplai bahan pangan dihentikan. Blokade ini
berjalan selama 2 tahun, sehingga persediaan pangan mereka habis, dan mereka
semua terancam mati kelaparan. Akan tetapi blokade ini akhirnya dihentikan atas
campur tangan Al-Muth’am bin Jubeir, seorang tokoh Quraisy yang sejak semula
tidak setuju dengan tindakan tidak berprikemanusiaan itu.
Selepas blokade,
Muhammad Saw. dan para pengikutnya harus menarik nafas panjang untuk memulai
kembali kegiatan dakwah. Dalam pada itu, kondisi kesehatan Khadijah mulai
menurun. Perjuangan panjang menemani dan mendukung sang suami dengan penuh
ketabahan, apalagi dalam masa boikot dua tahun terakhir, mempengaruhi
kesehatannya. Pada tahun ke-10 beliau wafat. Sementara Abu Thalib yang semakin
tua, setelah dengan segala kemampuan yang dimiliki mendukung dan melindungi
keponakannya, juga wafat pada tahun yang sama. Tahun ini disebut dalam sejarah
sebagai tahun duka cita (‘amul huzni).
Di tengah duka cita
mendalam yang dirasakan oleh Muhammad Saw., menyusul beberapa peristiwa yang
dialaminya, Allah berkenan membawanya melanglang buana menembus alam semesta.
Beliau diperjalankan oleh Allah di suatu malam dari Masjidil Haram di Mekah menuju
Masjidil Aqsha di Yerusalem, kemudian diangkat ke puncak langit sampai sidratul
muntaha, setelah itu diturunkan kembali ke Mekah tempat beliau berpijak.
Peristiwa Isra’ Mi’raj ini sarat dengan keajaiban, dan oleh karenanya
kontroversial. Sampai-sampai beberapa orang yang masih lemah imannya, gara-gara
peristiwa ini, keluar dari agama Islam. Namun ada pula yang semakin teguh,
seperti Abu Bakar as-Shiddiq. Tapi bagi Nabi Muhammad Saw. sendiri, apa yang
beliau alami dalam perjalanan Isra’ Mi’raj ini ibarat suntikan darah segar,
yang memperteguh semangat beliau yang tak pernah pudar untuk terus menjalankan
misi dakwahnya.
Di Mekah, beliau tidak
lagi memperoleh perlindungan dari sukunya. Sepeninggal Abu Thalib, kepemimpinan
suku Bani Abdul Muthalib jatuh ke tangan pamannya, Abu Lahab. Tentu beliau
tidak bisa mengharapkan perlindungan apapun darinya. Sepulang dari Thaif,
beliau mencoba mengemukakan hal itu, tapi Abu Lahab menyatakan bersedia
memberikan perlindungan dengan syarat beliau menghentikan sama sekali kegiatan
dakwahnya. Kesediaan memberikan perlindungan itu kemudian datang dari
Al-Muth’am bin Jubeir dengan syarat yang lebih ringan yaitu Muhammad Saw. tidak
melakukan dakwah di dalam kota Mekah.
Sejak saat itu, Nabi
Muhammad Saw. memasuki fase dakwahnya yang keempat di Mekah. Setiap pagi
ditemani oleh Abu Bakar as-Shiddiq atau sahabat lain, Nabi Muhammad Saw.
berkunjung ke perkampungan suku-suku di luar kota Mekah. Ini ternyata tidak
mudah. Tidak ada respon positif dari mereka. Salah satu penyebabnya karena
suku-suku kecil di sekitar Mekah itu punya ketergantungan yang tinggi kepada
suku Quraisy. Hasil upaya Nabi Muhammad Saw. ini bisa dikatakan nol besar. Tapi
kegagalan demi kegagalan tidak membuat beliau kecewa apalagi putus asa. Harapan
dan optimisme tetap menyala di dalam rongga dada beliau, oleh karena itu
gerakan dakwah tidak boleh dihentikan.
Intisari dakwah Islam
yang diberikan Nabi Muhammad Saw. di Mekah selama lebih kurang 13 tahun
meliputi i’tikad dan keimanan, amal ibadat, serta akhlak.
B. Periode Madinah: Pembentukan Sistem Sosial, Politik,
Militer, dan Ekonomi
Periode Madinah
berlangsung selama 10 tahun. Dalam waktu yang amat pendek dalam hitungan
sejarah itu, Nabi Muhammad Saw. menyelesaikan tugas beliau dengan hasil yang
gemilang dan spektakuler. Keberhasilan Nabi Muhammad Saw. di Madinah itu dipersepsikan
oleh banyak orang, termasuk sebagian penulis sirah nabawiyah, karena
kesiapan dan dukungan penuh masyarakat Madinah yang telah memeluk agama Islam.
Persepsi ini tidak tepat, karena dukungan masyarakat hanya merupakan salah satu
faktor bukan satu-satunya.
Berdasarkan analisis
sejarah, keberhasilan itu terwujud justru karena perencanaan yang matang,
dengan visi dan misi yang jelas. Ketika mengutus Mush’ab bin Umeir ke Madinah
sesudah persetujuan Aqabah I, Nabi Muhammad Saw. juga meminta kepadanya
untuk membuat pemetaan menyeluruh wilayah Yatsrib, bukan hanya peta geografis,
tapi juga peta permasalahan yang menyangkut kependudukan, perekonomian,
hubungan antar suku, dan lain sebagainya. Berdasarkan informasi yang diterima
dari Mush’ab bin Umeir itulah beliau membuat perencanaan strategis dan menyusun
tahapan-tahapan yang akan ditempuhnya. Maka semua langkah yang ditempuh oleh
Nabi Muhammad Saw. sejak menginjakkan kakinya di bumi Yatsrib, adalah langkah
yang terencana, bukan spontanitas dan sporadis.
1. Hijrah ke Yatsrib
Setelah
mendapat perintah dari Allah untuk hijrah, Nabi Muhammad Saw. menemui Abu Bakar
as-Shiddiq untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan ketika perjalanan
menuju Yatsrib. Dalam perjalanan ke Yatsrib bersama Abu Bakar as-Shiddiq beliau
berhenti di Quba (sebuah desa yang berjarak 5 KM dari Yatsrib). Beliau
beristirahat beberapa hari di desa Quba dan menginap di rumah Kalsum bin
Hindun. Di halaman rumah ini Nabi Muhammad Saw. membangun masjid, dan ini
merupakan masjid pertama yang dibangun Nabi Muhammad Saw. sebagai pusat
peribadatan. Beberapa hari kemudian Ali bin Abi Thalib bergabung dengan Nabi
Muhammad Saw. setelah menyelesaikan segala urusan di Mekah. Nabi Muhammad Saw.
akhirnya tiba di Yatsrib, penduduk kota ini menerima beliau dengan senang hati
penuh bahagia. Sejak saat itu sebagai penghormatan kepada Nabi Muhammad Saw.,
Yatsrib ini berubah menjadi nama menjadi Madinatun Nabi (kota Nabi).
Setelah
tiba dan diterima oleh penduduk Madinah, Nabi Muhammad Saw. resmi menjadi
pemimpin kota ini. Berbeda dengan periode Mekah di mana umat Islam menjadi golongan
minoritas, di Madinah mereka menjadi golongan mayoritas. Di Mekah Nabi Muhammad
Saw. hanya berfungsi sebagai Rasul, tetapi di Madinah beliau menjadi Rasul
sekaligus kepala negara. Turun ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan
masyarakat di Madinah ini.
2. Membangun Masyarakat Islam
Guna membina masyarakat
yang baru itu, Nabi Muhammad Saw. meletakkan dasar-dasar kehidupan
bermasyarakat di kalangan internal umat Islam. Pertama, pembangunan
masjid. Setiap kabilah sebelum Islam datang, mereka memiliki tempat pertemuan
sendiri-sendiri. Nabi Muhammad Saw. menginginkan agar seluruh umat Islam hanya
memiliki satu tempat pertemuan. Maka beliau membangun sebuah masjid yang diberi
nama “Baitullah”. Di masjid ini, selain dijadikan tempat shalat, juga belajar,
tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi, bahkan juga
berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Kedua,
Nabi Muhammad Saw. mempersaudarakan antara golongan Muhajirin (muslim asal
Mekah) dan kaum Anshar (muslim Madinah). Dengan demikian, setiap muslim terikat
dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Abu Bakar as-Shiddiq, misalnya,
dipersaudarakan Nabi Muhammad Saw. dengan Kharijah bin Zaid, Ja’far bin Abi
Thalib dengan Mu’adz bin Jabal. Hal ini berarti Nabi Muhammad Saw. menciptakan
suatu bentuk persaudaraan yang baru, berdasarkan agama, menggantikan
persaudaraan berdasarkan kesukuan di zaman jahiliyah.
Nabi Muhammad Saw.
menjadikan persaudaraan ini sebagai suatu ikatan yang harus benar-benar
dilaksanakan, bukan sekedar isapan jempol dan omong kosong semata melainkan
harus merupakan tindakan nyata yang mempertautkan darah dan harta, saling
mengasihi dan memberikan pertolongan dalam persaudaraan ini. Nabi Muhammad Saw.
mempersaudarakan mereka dengan ketentuan-ketentuan agama Islam atas keridhaan
Allah. Dengan hikmah kepintarannya ini, Nabi Muhammad Saw. telah berhasil
memancangkan sendi-sendi masyarakat yang baru. Beliau juga menganjurkan agar
mereka menyedekahkan hartanya, dan juga menganjurkan mereka agar menahan diri
dan tidak suka meminta-minta, kecuali terpaksa, dan menyeru agar senantiasa
sabar dan merasa puas.
Begitulah cara beliau
mengangkat moral dan spirit mereka, membekali mereka dengan nilai-nilai yang
tinggi. Sehingga mereka tampil sebagai sosok yang ideal dan manusia yang
sempurna. Dengan cara ini Nabi Muhammad Saw. mampu membangun sebuah masyarakat
yang baru di Madinah, yaitu suatu masyarakat yang mulia lagi mengagumkan yang
dikenal sejarah.
3. Mengadakan Perjanjian dengan Non-Muslim (Konstitusi
Madinah)
Awal kedatangan Nabi
Muhammad Saw. ke Madinah, penduduk kota itu terdapat tiga kelompok, mereka
adalah kelompok Arab muslim, kelompok Arab non-muslim, dan kelompok Yahudi.
Dalam menyelaraskan hubungan antar ketiga kelompok tersebut, Nabi Muhammad Saw.
mengadakan perjanjian dalam piagam yang dinamakan “Konstitusi Madinah” yang
isinya: pertama, semua pihak yang menandatangani piagam merupakan suatu
bangsa. Kedua, jika salah satu kelompok atau anggota diserang musuh,
maka kelompok yang lain wajib membela dan membantu.
Ketiga,
setiap kelompok dilarang untuk membentuk perjanjian apapun dengan orang-orang
Quraisy. Keempat, setiap kelompok diberikan kebebasan dalam menjalankan
agamanya tanpa campur tangan kelompok lain. Kelima, penduduk Madinah,
baik muslim, non-muslim, ataupun orang-orang Yahudi wajib saling tolong
menolong baik moril maupun materiil. Keenam, Nabi Muhammad Saw. adalah
pemimpin seluruh penduduk Madinah dan beliau menyelesaikan setiap masalah yang
timbul antar kelompok atau golongan.
Dengan disahkannya
perjanjian ini, maka Madinah dan sekitarnya seakan-akan merupakan satu negara
yang makmur. Pelaksana pemerintahan dan penguasa mayoritas adalah orang-orang
Islam, sehingga dengan begitu Madinah benar-benar menjadi ibu kota bagi Islam.
Berdasarkan konstitusi
tersebut diketahui bahwa Nabi Muhammad Saw. telah membentuk negara Islam di
Madinah dan menjadi kepala pemerintahan yang memiliki otoritas menyelesaikan
masalah yang timbul berdasarkan konstitusi.
4. Politik dan Pemerintahan Madinah
Eksistensi Madinah
sebagai kekuatan ekonomi, agama, dan politik serta perpaduan antara keagamaan
ideologi adalah suatu tradisi baru dalam peradaban manusia yang sebelumnya
tidak dikenal, apalagi dalam konteks kebudayaan bangsa Arab telah membawa
revolusi rohani dan pemikiran yang memproyeksikan pembangunan tata dunia baru
yang berpijak pada kekuatan moral dan bertumpu pada kekuatan agama dalam
membentuk etika, di mana kekuasaan harus berpegang pada akhlak, persamaan dan
saling menghormati.
Sistem pemerintahan
yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. dengan konsep “al-mujtama’ al-madani”
yang dikaitkan dengan tradisi “al-banafiyyah al-sambah” sebagai tujuan siyasah
syar’iyyah yang meletakkan dasar politik Islam sebagai risalah universal. Nabi
Muhammad Saw. telah meletakkan pondasi untuk mengokohkan keindahan Islam
sebagai sistem hidup menyeluruh, di dalamnya mencakup bidang kemasyarakatan,
ekonomi, politik, pendidikan dan kenegaraan.
Tata kelola
pemerintahan Madinah sebagai berikut:
1) Sistem
mua’khah, masjid dan piagam Madinah. Nabi Muhammad Saw. mengajarkan
kepada kaum Muhajirin dan kaum Anshar persaudaraan atau mu’akhah. Masjid
sebagai institusi negara dan instrumen sekaligus benteng moral dan keutuhan
masyarakat Islam. Piagam Madinah meliputi urusan ibadah, kebijakan, toleransi,
dan melahirkan lambang kedaulatan negara Madinah.
2) Manajemen
pemerintahan dibagi dalam beberapa poin penting, yaitu, pertama, tata
kelola pemerintahan pusat, sistem ini menguatkan hubungan antar negara. Kedua,
pemerintahan wilayah, Nabi Muhammad Saw. membuat berbagai perjanjian damai
dalam rangka meningkatkan kerjasama, prinsip kebenaran dan keadilan. Ketiga,
manajemen keagamaan, mutu pendidikan selalu diperbaiki untuk meningkatkan
kualitas ilmu dan inovasi di bidang masing-masing. Keempat, manajemen
keuangan, Madinah mendorong usaha penduduknya di bidang pertanian dan
perdagangan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperluas investasi. Kelima,
strategi militer, berbagai hubungan dengan kabilah, komunitas, dan entitas lain
telah menyumbangkan apresiasi ke arah utama untuk ketahanan negara dalam
menumbuhkan hubungan global yang lebih menjanjikan stabilitas.
5. Pembangunan Ekonomi
Sektor pertanian (ghiratsah)
memperoleh perhatian utama Nabi Muhammad Saw. dalam pembangunan ekonomi
Madinah. Beliau tahu benar bahwa karakteristik tanah dan penduduk Madinah
berbeda dengan Mekah. Penduduk Mekah memiliki naluri dagang yang kuat karena
tanah mereka tandus tidak bisa ditanami. Sementara penduduk Madinah suka
menanam karena tanah mereka relatif subur. Nabi Muhammad Saw. memberikan arahan
kepada penduduk Madinah untuk menanam gandum, kurma, dan buah-buahan. Beliau juga
mengajarkan bahwa bekerja adalah ibadah. Beliau bersabda, “Barang siapa
menanam kurma di dunia dia akan memperoleh taman di surga”. Menyaksikan seorang
petani yang tekun merawat pohon kurmanya dengan tangannya sendiri, beliau
bersabda, “Tangan itu sungguh penuh berkah”. Pembangunan pasar adalah
tahap berikutnya, setelah produksi pertanian Madinah melimpah. Pasar Madinah
nantinya menjadi pusat perdagangan komoditas pertanian terbesar di semenanjung
Arabia.
Sumber Bacaan:
Abu Khalil, Syauqi. 2007. Al-Hadhārah al-Arabiyah
al-Islāmiyah, Damaskus: Dar al-Fikr.
Effendy, Ahmad Fuad. 2012. Sejarah Peradaban Arab
dan Islam, Cetakan 1, Malang: MISYKAT.
Kulsum, Ummu. 2021. Sejarah Peradaban Islam
Klasik dan Pertengahan, Pamekasan: Duta Media Publishing.
Mahmudunnasir, Syed. 1988. Islam: Konsepsi dan
Sejarahnya, Bandung: Rosda Karya.
Nasution, Syamruddin. 2013. Sejarah Peradaban
Islam, Cetakan Ketiga, Riau: Yayasan Pusaka Riau.
Syalabi, Ahmad. 1978. Mausū’ah al-Tārikh
al-Islāmy wa al-Hadhārah al-Islāmiyah, Juz I, Kairo: Maktabah al-Nahdhah
al-Misriyah.
Yatim, Badri. 2013. Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Zubaidah, Siti. 2016. Sejarah Peradaban Islam, Cetakan Pertama, Medan: Perdana Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar