Halaman

Selasa, 31 Desember 2024

Keberhasilan yang Mengingatkan: Tafsir Ketawadhuan KH. Basori Alwi Murtadho

 

Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho adalah seorang ulama besar yang dikenal atas ketawadhuan dan kebijaksanaannya dalam mendidik umat. Dawuh (nasihat) beliau, "Saya ini mendapat banyak kemudahan hidup, keberhasilan dakwah, kesempurnaan pesantren dan murid yang banyak. Saya khawatir ini istidraj dari Allah," adalah refleksi mendalam seorang hamba yang menyadari betapa pentingnya bersikap waspada terhadap ujian dalam bentuk nikmat. Istidraj, dalam Islam, adalah kondisi di mana seseorang diberikan kenikmatan duniawi yang melimpah sebagai ujian, namun tanpa diiringi dengan keberkahan atau kedekatan kepada Allah. Pernyataan ini menunjukkan betapa rendah hatinya Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho, meski telah meraih banyak pencapaian luar biasa dalam hidupnya.

Dawuh (nasihat) ini mengajarkan kepada kita untuk tidak terjebak dalam perasaan puas diri atas kesuksesan duniawi. Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho, meski memiliki pesantren yang sukses dan murid yang banyak, tetap khawatir bahwa semua ini bukanlah tanda keberkahan melainkan ujian besar dari Allah. Hal ini menjadi pengingat bagi kita bahwa nikmat yang tampak indah di mata manusia belum tentu menjadi kebaikan di sisi Allah. Sikap beliau mengajarkan kita untuk selalu memeriksa niat dan hubungan kita dengan Allah, agar semua nikmat yang kita terima justru mendekatkan kita kepada-Nya.

Selain itu, pernyataan ini juga menegaskan pentingnya rasa syukur dan introspeksi diri. Ketika kita diberikan keberhasilan, kita harus terus bersyukur kepada Allah tanpa melupakan tujuan utama hidup ini, yaitu mencari ridha-Nya. Rasa syukur yang tulus akan menghindarkan kita dari kesombongan, sedangkan introspeksi yang rutin akan membantu kita memastikan bahwa nikmat yang kita dapatkan tidak membuat kita lalai dari tugas sebagai hamba-Nya. Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho menunjukkan bahwa kebesaran seorang ulama tidak diukur dari pencapaian lahiriah semata, melainkan dari keikhlasan hati dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Allah.

Ketawadhuan Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho juga mengajarkan bahwa seorang pemimpin atau guru harus memiliki hati yang bersih dan pikiran yang lurus. Beliau tidak memandang keberhasilan pesantrennya sebagai milik pribadi, tetapi sebagai amanah besar yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan. Sikap ini merupakan teladan bagi semua orang yang memiliki tanggung jawab kepemimpinan, baik dalam skala kecil maupun besar. Dengan hati yang penuh kehati-hatian seperti ini, kita diajak untuk selalu mengembalikan segala kesuksesan kepada Allah.

Akhirnya, dawuh (nasihat) ini adalah pengingat bahwa dalam segala aspek kehidupan, kita harus selalu memiliki kesadaran spiritual yang tinggi. Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho tidak pernah lengah dari kemungkinan bahwa kenikmatan yang beliau terima justru dapat menjadi penghalang menuju Allah jika tidak disikapi dengan benar. Dalam kehidupan modern yang penuh dengan godaan duniawi, sikap ini adalah pelajaran berharga. Kita semua diajak untuk terus memperbaiki diri, meningkatkan keimanan, dan menjadikan setiap keberhasilan sebagai jalan untuk lebih dekat kepada Allah, bukan sebagai alasan untuk menjauh dari-Nya.

Muhasabah Diri Menjelang Akhir Tahun

Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Kini kita berada di penghujung tahun, sebuah momen yang tepat untuk bermuhasabah, mengintrospeksi diri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ

اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Surat Al-Hasyr: 18).

Ayat ini adalah panggilan kepada hati kita untuk berhenti sejenak, merenungi amal-amal yang telah kita lakukan. Muhasabah bukan hanya soal menghitung dosa, tetapi juga menilai sejauh mana kita memanfaatkan nikmat Allah untuk kebaikan, serta mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi di akhirat.

Muhasabah diri meliputi tiga aspek utama: hubungan kita dengan Allah, hubungan kita dengan sesama manusia, dan tanggung jawab kita terhadap diri sendiri. Pertama, tanyakan pada diri kita, apakah shalat kita sudah khusyuk? Apakah kita telah membaca Al-Qur'an dengan rutin? Dan sejauh mana kita memohon ampunan kepada Allah atas dosa-dosa kita? Ketika akhir tahun menjadi momen refleksi, ini adalah waktu terbaik untuk memperbaiki ibadah dan meningkatkan kualitas hubungan kita dengan Allah. Kedua, evaluasi hubungan kita dengan sesama manusia. Rasulullah Saw. bersabda:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

"Muslim itu adalah orang yang membuat Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sudahkah kita menjaga lisan kita dari menyakiti orang lain? Sudahkah kita memaafkan kesalahan saudara kita? Di akhir tahun ini, mari jadikan muhasabah sebagai momen untuk memperbaiki hubungan, meminta maaf, dan menebar kebaikan.

Ketiga, introspeksi terhadap diri sendiri. Apakah kita sudah menjaga kesehatan jasmani dan rohani? Apakah waktu yang Allah berikan telah kita manfaatkan untuk hal-hal bermanfaat, atau justru terbuang sia-sia? Rasulullah Saw. mengingatkan:

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

"Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia lalai darinya: kesehatan dan waktu luang." (HR. Al-Bukhari)

Mari kita renungkan kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah seorang pemimpin besar yang senantiasa bermuhasabah atas dirinya. Dikisahkan, suatu malam Khalifah Umar berjalan mengelilingi kota untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya. Beliau mendengar tangisan seorang anak kecil dari sebuah rumah. Ketika Khalifah Umar bertanya kepada ibunya, ternyata sang ibu sedang memasak batu untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan. Mendengar hal itu, Khalifah Umar segera kembali ke baitul mal, memikul sendiri sekarung gandum, dan menyerahkannya kepada keluarga tersebut.

Ketika sahabatnya menawarkan untuk membantunya membawa karung itu, Khalifah Umar menolak. Beliau berkata, “Biarkan aku memikul beban ini, karena aku khawatir akan ditanya oleh Allah kelak, mengapa ada rakyatku yang kelaparan.” Inilah contoh muhasabah sejati dari seorang pemimpin yang memahami tanggung jawabnya di dunia dan akhirat. Khalifah Umar menyadari bahwa setiap tindakannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, sehingga beliau terus introspeksi diri.

Muhasabah bukanlah sekadar evaluasi, tetapi juga langkah awal untuk perbaikan. Mari jadikan sisa waktu di akhir tahun ini sebagai momentum untuk lebih dekat kepada Allah, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan memanfaatkan nikmat Allah dengan lebih bijak. Kita tidak pernah tahu kapan Allah akan memanggil kita, tetapi dengan muhasabah, kita mempersiapkan diri untuk kembali kepada-Nya dengan hati yang tenang.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa membimbing kita untuk menjadi hamba-Nya yang lebih baik, mengampuni dosa-dosa kita, dan memberikan keberkahan dalam setiap langkah kita menuju akhir tahun dan tahun yang akan datang. Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.

Senin, 30 Desember 2024

Ujian Nikmat: Jalan Menuju Syukur atau Lupa?

 

Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho, seorang ulama yang bijak, memberikan nasihat mendalam tentang hakikat ujian dalam kehidupan. Dawuh (nasihat) beliau mengingatkan bahwa ujian tidak hanya datang dalam bentuk niqmat (نِقْمَةٌ/hal-hal yang membuat seseorang menderita), seperti kemiskinan, tetapi juga dalam bentuk nikmat (نِعْمَةٌ/hal-hal yang membuat bahagia), seperti kekayaan. Pernyataan ini mengandung makna filosofis bahwa hidup adalah rangkaian ujian yang harus dihadapi dengan kesadaran dan kebijaksanaan. Dalam banyak kasus, justru ujian berupa nikmat lebih sering membuat manusia terjerumus karena godaannya lebih halus dan sulit disadari.

Ketika seseorang menghadapi kesusahan, ia cenderung lebih sadar untuk berserah diri kepada Allah. Rasa lemah dan tidak berdaya sering kali membuat manusia mendekat kepada Sang Pencipta, memohon pertolongan, dan bersabar. Sebaliknya, ketika hidup dipenuhi kenikmatan, banyak yang terlena dan lupa bahwa semua itu juga berasal dari Allah. Kekayaan, keberhasilan, atau kebahagiaan dapat membuat seseorang merasa sombong, lupa bersyukur, dan bahkan merasa tidak membutuhkan Tuhan. Inilah mengapa ujian berupa kenikmatan sering kali lebih sulit diatasi.

Ujian berupa kenikmatan menguji integritas hati dan kedewasaan iman seseorang. Apakah ia mampu menggunakan nikmat tersebut untuk kebaikan, berbagi kepada sesama, dan tetap rendah hati? Ataukah ia terjebak dalam kerakusan, kesombongan, atau penyalahgunaan nikmat? Di sinilah letak tantangan terbesar manusia: menjaga hati tetap bersih meskipun hidup dipenuhi oleh kemewahan atau kesenangan. Dalam hal ini, dawuh (nasihat) Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho menjadi pengingat agar manusia tidak lalai dalam mensyukuri dan memanfaatkan nikmat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ujian nikmat juga sering kali melibatkan kepekaan sosial. Seseorang yang diberikan rezeki lebih harus menyadari bahwa nikmat tersebut bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk membantu orang lain. Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." Jika nikmat itu tidak dimanfaatkan dengan benar, maka ujian tersebut bisa berubah menjadi bumerang yang merugikan dirinya di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kunci menghadapi ujian berupa nikmat adalah sikap syukur dan berbagi.

Selain itu, penting bagi setiap individu untuk terus mengingat bahwa hidup adalah sementara, dan segala nikmat yang dimiliki hanyalah titipan Allah. Kesadaran ini akan membantu manusia untuk tidak terlalu melekat pada dunia. Dengan hati yang ikhlas, seseorang akan mampu menjadikan setiap nikmat sebagai sarana untuk beribadah, baik melalui sedekah, kerja keras, maupun amal kebaikan lainnya. Sikap seperti inilah yang menunjukkan keberhasilan seseorang dalam menghadapi ujian berupa nikmat.

Dawuh (nasihat) Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho ini mengajarkan kita untuk terus mawas diri. Baik dalam kesulitan maupun dalam kelimpahan, kedekatan kepada Allah harus tetap menjadi prioritas utama. Dengan memahami bahwa segala sesuatu adalah ujian, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bijaksana dan penuh rasa syukur. Pada akhirnya, keberhasilan sejati bukanlah diukur dari jumlah nikmat yang dimiliki, tetapi dari bagaimana kita menjaga iman dan amal dalam segala kondisi yang Allah berikan.

Gubuk atau Istana: Pilihan Antara Realita dan Angan

Dawuh (nasihat) Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho, "Lebih baik membangun gubuk tapi jadi daripada membangun istana namun hanya sebatas angan-angan," mengandung pesan mendalam tentang pentingnya memulai sesuatu yang nyata daripada sekadar bermimpi tanpa aksi. Nasihat ini mengajarkan nilai kesederhanaan, ketekunan, dan keikhlasan dalam menjalani kehidupan. Dalam konteks kehidupan, banyak orang terjebak dalam impian besar yang tidak pernah diwujudkan, sehingga lupa bahwa langkah kecil yang nyata jauh lebih berarti daripada rencana besar yang hanya ada dalam pikiran.

Membangun "gubuk" melambangkan tindakan sederhana yang bisa dilakukan dengan kemampuan yang dimiliki saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan tidak selalu dimulai dari sesuatu yang besar, tetapi dari keberanian untuk bertindak. Dalam proses tersebut, seseorang belajar untuk menghargai usaha dan pengalaman yang didapatkan. Sebaliknya, membangun "istana" yang hanya sebatas angan-angan mencerminkan kegagalan untuk mewujudkan mimpi karena terlalu sibuk berandai-andai tanpa mengambil langkah konkrit. Hidup bukan tentang kesempurnaan, tetapi tentang progres yang nyata.

Penting untuk menyadari bahwa setiap keberhasilan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Mereka yang memulai dari hal sederhana sering kali lebih tangguh karena telah melalui proses yang penuh perjuangan. Gubuk yang berhasil dibangun dengan keringat dan kerja keras jauh lebih bernilai daripada istana yang hanya menjadi khayalan. Dalam konteks spiritual, filosofi ini mengajarkan kita untuk bersyukur atas apa yang kita miliki dan tetap berserah diri kepada Allah dalam setiap proses, sekecil apa pun itu.

Dawuh (nasihat) ini juga relevan dalam mengingatkan kita untuk fokus pada realitas daripada terjebak dalam idealisme yang berlebihan. Tidak salah bermimpi besar, tetapi mimpi tersebut harus disertai langkah-langkah yang realistis dan konsisten. Jika seseorang hanya mengejar kesempurnaan tanpa memulai, ia akan kehilangan peluang untuk merasakan keindahan dari usaha yang nyata. Dalam kehidupan, kebahagiaan tidak selalu datang dari hasil akhir, tetapi dari perjalanan menuju pencapaian itu sendiri.

Akhirnya, nasihat ini mengajarkan kita untuk menghargai proses, sekecil apa pun langkah yang diambil. Jangan takut memulai sesuatu yang sederhana karena dari situlah fondasi kesuksesan dibangun. Seperti membangun gubuk, yang penting adalah niat, usaha, dan ketekunan. Dengan langkah kecil yang konsisten, gubuk sederhana hari ini bisa menjadi istana yang megah di masa depan, bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk pengalaman, keberkahan, dan ridha Allah.

Menjaga Tubuh, Jiwa, dan Agama dalam Kehidupan Seimbang

Ungkapan قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: سَلَامَةُ الْجَسَدِ فِي قِلَّةِ الطَّعَامِ، وَسَلَامَةُ الرُّوحِ فِي قِلَّةِ الْأَثَامِ، وَسَلَامَةُ الدِّينِ فِي الصَّلَاةِ عَلَى خَيْرِ الْأَنَامِ (qāla ba’dhul hukamā: salāmatul jasadi fī qillatit tha’āmi, wa salāmatur rūhi fī qillatil atsāmi, wa salāmatud dīni fis shalāti ‘alā khairil anāmi) “Beberapa orang bijak berkata: Keselamatan tubuh terletak pada sedikit makan, keselamatan jiwa terletak pada sedikitnya dosa, dan keselamatan agama terletak pada shalawat kepada penghulu segala makhlukyang mengaitkan keselamatan tubuh, jiwa, dan agama ini menggambarkan hubungan yang sangat dalam antara kesehatan fisik, spiritual, dan iman dalam kehidupan seorang Muslim. "Keselamatan tubuh terletak pada sedikit makan" mengingatkan kita bahwa tubuh kita adalah amanah yang harus dijaga. Kesehatan tubuh bukan hanya tentang makan dengan cukup, tetapi tentang menjaga keseimbangan. Dalam konteks ini, sedikit makan bukan berarti kelaparan atau kekurangan gizi, melainkan mengatur pola makan agar tubuh tidak terbebani dengan konsumsi berlebih yang dapat menyebabkan penyakit. Rasulullah Saw. mengajarkan umatnya untuk makan secukupnya dan tidak berlebihan, dengan prinsip "sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara," yang menekankan pentingnya menjaga tubuh tetap sehat dan bugar.

Selain itu, keselamatan jiwa yang terletak pada sedikitnya dosa menggambarkan betapa pentingnya menjaga kesucian hati dan pikiran. Jiwa manusia sangat dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan dan dilakukan. Dosa bukan hanya merusak hubungan kita dengan Allah Swt., tetapi juga menyebabkan gangguan dalam ketenangan batin kita. Dengan menghindari dosa, kita bukan hanya menyelamatkan diri dari hukuman di akhirat, tetapi juga menjaga kedamaian jiwa di dunia ini. Berusaha untuk selalu beristighfar, menjaga diri dari perbuatan yang dapat menodai hati, dan memperbanyak kebaikan adalah langkah-langkah untuk meraih keselamatan jiwa. Sebagaimana sabda Rasulullah, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam," menunjukkan bahwa kontrol terhadap ucapan dan perbuatan sangat penting dalam menjaga jiwa agar tetap bersih.

Keselamatan agama, yang terletak pada shalawat kepada penghulu segala makhluk (Rasulullah Saw), menegaskan pentingnya cinta dan penghormatan kita terhadap Nabi Muhammad Saw. Shalawat adalah bentuk pengagungan kita kepada beliau sebagai panutan hidup yang membawa rahmat dan petunjuk hidup. Bershalawat tidak hanya sebagai bentuk ibadah, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan hubungan kita dengan Allah Swt. Dalam setiap shalawat, kita meminta agar Allah memberikan keselamatan dan berkah kepada Rasulullah Saw, serta memohon syafaat beliau di akhirat nanti. Shalawat juga membawa ketenangan bagi hati, karena melalui bacaan tersebut, kita mengingat kembali sunnah-sunnah beliau yang penuh dengan hikmah.

Ketiga aspek ini (keselamatan tubuh, jiwa, dan agama) merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketika tubuh kita sehat, jiwa kita damai, dan agama kita kuat, kita akan mampu menjalani kehidupan dengan penuh makna dan keberkahan. Islam mengajarkan keseimbangan dalam hidup, yaitu menjaga kesejahteraan fisik, mental, dan spiritual secara bersamaan. Tidak ada yang lebih mulia daripada menjalani hidup dengan penuh kesadaran bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus berpijak pada prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat menjadi kunci untuk meraih kebahagiaan sejati.

Inspirasi terbesar dari ajaran ini adalah kesadaran bahwa keselamatan sejati bukan hanya terletak pada apa yang kita miliki di dunia ini, tetapi pada hubungan kita dengan Allah Swt. dan Rasulullah Saw. Harta dan kekuasaan yang kita kumpulkan tidak dapat menjamin keselamatan, namun menjaga kebersihan hati, menghindari dosa, dan terus menerus bershalawat kepada Rasulullah Saw. adalah jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan begitu, kita akan merasakan ketenangan hati dan ketenteraman jiwa yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan yang hakiki.

Sebagai penutup, makna dari pernyataan tersebut mengajak kita untuk selalu menjaga kesehatan tubuh dengan tidak berlebihan dalam makan, menjaga jiwa dengan selalu berusaha memperbaiki diri dan menghindari dosa, serta memperbanyak shalawat sebagai wujud cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad Saw. Ini adalah tiga kunci yang saling terkait dalam perjalanan hidup yang penuh dengan tantangan. Dengan memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip ini, kita akan mencapai keselamatan yang sejati, baik di dunia maupun di akhirat.

Minggu, 29 Desember 2024

Zakat Ilmu: Menghidupkan Keberkahan Melalui Pengajaran

Menjelang haul ke-5 dari mahaguru mulia Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho yang akan diselenggarakan pada 27 Januari 2025 M/27 Rajab 1446 H, kita diingatkan kembali dawuh (nasihat) masyhur yang penuh hikmah dari pendiri Pesantren Ilmu Al Quran (PIQ) Singosari Malang, yaitu لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْعِلْمِ التَّعْلِيْمُ (likulli syai-in zakātun wa zakātul ‘ilmi at-ta’līmu) “segala sesuatu ada zakatnya, dan zakatnya ilmu adalah mengajar.” Pernyataan ini mengandung pesan mendalam tentang hakikat ilmu sebagai amanah sekaligus ibadah. Dalam Islam, zakat adalah bentuk pembersihan dan pengabdian yang bertujuan menghidupkan keberkahan. Dengan menjadikan pengajaran sebagai zakat ilmu, KH. M. Basori Alwi Murtadho menegaskan bahwa ilmu tidak boleh dibiarkan menjadi harta mati. Ilmu harus dialirkan kepada orang lain agar manfaatnya meluas, seperti air yang menghidupi tanah kering.

Ilmu adalah anugerah dari Allah Swt. yang diberikan kepada manusia sebagai bentuk keutamaan. Namun, anugerah ini tidak semata-mata untuk disimpan bagi diri sendiri. Dalam pandangan Islam, ilmu yang diamalkan dan diajarkan memiliki nilai keberkahan yang lebih besar dibandingkan dengan ilmu yang hanya dikonsumsi pribadi. Mengajarkan ilmu berarti membagikan cahaya pengetahuan yang mampu menerangi kehidupan orang lain. Inilah wujud zakat ilmu, di mana seorang yang berilmu berbagi untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat.

KH. M. Basori Alwi Murtadho juga mengingatkan bahwa ilmu yang diajarkan tidak hanya berhenti pada transfer informasi, tetapi juga membangun karakter dan akhlak. Pengajaran yang benar adalah yang mampu menginspirasi murid untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Guru bukan hanya menyampaikan teori, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan spiritual dalam setiap pelajaran yang diajarkan. Dengan demikian, zakat ilmu melalui pengajaran menjadi investasi amal jariyah yang pahalanya mengalir hingga akhirat.

Di sisi lain, ungkapan ini juga mengandung pesan sosial yang mendalam. Ilmu yang tidak diajarkan akan kehilangan nilai sosialnya dan menjadi sia-sia. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki tanggung jawab untuk membangun peradaban yang lebih baik. Melalui pengajaran, ilmu yang kita miliki bisa menjadi alat perubahan sosial, mendorong kemajuan, dan mengatasi berbagai tantangan zaman. Inilah bentuk kontribusi nyata dari seorang berilmu kepada masyarakat.

Dawuh (nasihat) KH. M. Basori Alwi Murtadho ini juga relevan dalam konteks modern, di mana teknologi memungkinkan ilmu tersebar lebih luas dan cepat. Namun, tantangannya adalah menjaga nilai-nilai keikhlasan dalam berbagi ilmu. Zakat ilmu menuntut keikhlasan untuk mengajarkan tanpa pamrih, menjadikan pengajaran sebagai ibadah, bukan sekadar profesi. Dengan niat yang tulus, pengajaran menjadi sarana meraih ridha Allah Swt. dan mempererat hubungan antarmanusia.

Mengamalkan zakat ilmu melalui pengajaran adalah panggilan setiap Muslim yang berilmu. Dawuh (nasihat) ini mengajarkan bahwa keberkahan ilmu tidak hanya diukur dari sejauh mana ia dipelajari, tetapi juga seberapa besar manfaatnya dirasakan oleh orang lain. Dengan berbagi ilmu, kita tidak hanya menghidupkan ilmu itu sendiri, tetapi juga memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas yang menjadi landasan hidup umat manusia. Inilah makna mendalam dari “zakatnya ilmu adalah mengajar.” Ya lahā min nashīhatin mufīdatin!

Sabtu, 28 Desember 2024

Menyempurnakan Agama dan Mengikuti Sunnah Rasulullah Melalui Pernikahan

Tulisan ini terinspirasi dari undangan tasyakuran pernikahan saudara Muchammad Alfan Salim Fanandi, S.Pd. (Purwosari Pasuruan) dan Tirtana Wahyu Lestari (Sempu Banyuwangi) yang berlangsung pada hari Sabtu, 28 Desember 2024 di HM Roeslan Convention Hall Purwosari Pasuruan Jawa Timur. Hadis اَلنِّكَاحُ سُنَّتِي فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي (an-nikāhu sunnatī fa man raghiba ‘an sunnatī fa laisa minnī) “nikah itu sunnahku, maka barang siapa tidak menyukai sunnahku, ia tidak termasuk golonganku” menunjukkan bahwa pernikahan adalah salah satu sunnah Rasulullah Saw. yang sangat dianjurkan. Pernikahan bukan hanya sekadar ikatan antara dua individu, tetapi juga merupakan perintah agama yang bertujuan untuk menjaga fitrah manusia. Rasulullah Saw. menjadikan pernikahan sebagai cara untuk menyempurnakan agama, menjaga kesucian diri, dan menciptakan masyarakat yang harmonis. Dengan menjalankan sunnah ini, seseorang tidak hanya mendapatkan keberkahan dunia, tetapi juga akhirat. Hadis ini juga menekankan pentingnya menyukai dan mengikuti sunnah Rasulullah sebagai bentuk cinta dan ketaatan kepada beliau.

Islam memandang pernikahan sebagai ibadah yang memiliki nilai spiritual tinggi. Melalui pernikahan, seorang Muslim dapat menyalurkan naluri biologisnya dengan cara yang halal dan diridhai Allah. Selain itu, pernikahan menjadi sarana untuk memperbanyak kebaikan, seperti mendidik anak-anak yang saleh dan salehah serta membangun keluarga yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Setiap usaha dalam pernikahan, seperti menafkahi keluarga atau menjaga keharmonisan rumah tangga, dihitung sebagai amal ibadah. Hal ini menegaskan bahwa pernikahan bukan hanya kebutuhan duniawi, tetapi juga investasi spiritual untuk akhirat.

Melalui pernikahan, Islam memberikan solusi yang jelas untuk menjaga kesucian diri dan mencegah perbuatan dosa. Pernikahan melindungi seseorang dari godaan zina dan kerusakan moral yang dapat merusak individu maupun masyarakat. Rasulullah Saw. bersabda bahwa pernikahan adalah pelindung bagi separuh agama, menunjukkan betapa pentingnya institusi ini dalam menjaga kehormatan manusia. Oleh karena itu, Islam mendorong umatnya untuk menikah dan menjaga kesucian hubungan agar tercipta kehidupan yang penuh dengan keberkahan dan ridha Allah.

Hadis ini juga mengingatkan bahwa mengikuti sunnah Rasulullah adalah syarat untuk menjadi bagian dari umatnya. Seseorang yang menolak atau tidak menyukai pernikahan tanpa alasan syar’i menunjukkan bahwa ia mengabaikan salah satu sunnah yang sangat dianjurkan. Menikah dengan niat mengikuti sunnah Rasulullah adalah bentuk cinta dan penghormatan kepada beliau. Dengan melaksanakan sunnah ini, seseorang menunjukkan bahwa ia berkomitmen untuk meneladani kehidupan Rasulullah dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam membangun keluarga.

Pernikahan membawa banyak hikmah dalam kehidupan seorang Muslim. Selain memenuhi kebutuhan biologis dan emosional, pernikahan juga mengajarkan tanggung jawab, kesabaran, dan pengorbanan. Dalam sebuah rumah tangga, pasangan suami istri saling melengkapi dan mendukung untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Pernikahan juga menjadi sarana untuk berbagi kebahagiaan, menghadapi ujian hidup bersama, dan meraih kedamaian hati. Dalam konteks ini, hadis tersebut memberikan inspirasi untuk memandang pernikahan bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi sebagai jalan untuk mencapai keberkahan dan kebahagiaan dunia-akhirat.

Dengan memahami pesan hadis ini, seorang Muslim diajak untuk menghargai pentingnya pernikahan dan menjalankannya dengan niat yang benar, yaitu mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan mencari ridha Allah Swt. Bārakallah laka wa bāraka ‘alaika wa jama’a bainakumā fī khairin!

Jumat, 27 Desember 2024

Kemuliaan Pelopor dan Keagungan Penerus: Harmoni dalam Mewujudkan Kebaikan

Ungkapan اَلْفَضْلُ لِلْمُبْتَدِي وَإِنْ أَحْسَنَ الْمُقْتَدِي (al-fadhlu lil mubtadī wa in ahsanal muqtadī) “Kemuliaan/keutamaan itu bagi yang memulai (pertama kali), walaupun yang mengikuti/meniru ternyata lebih baik” mengandung pesan yang mendalam tentang penghargaan terhadap inovasi, keberanian, dan inisiatif. Dalam Islam, nilai kebaikan seseorang sering kali diukur dari niat dan usahanya dalam membuka jalan baru yang bermanfaat bagi orang lain. Orang yang pertama kali memulai suatu tindakan baik berperan sebagai pelopor, meletakkan dasar yang kemudian menjadi inspirasi bagi banyak orang. Meskipun orang yang mengikuti mungkin melampaui dalam kesempurnaan atau hasilnya, penghargaan tetap diberikan kepada pelopor karena mereka telah memikul risiko dan menanam benih pertama dari perubahan.

Makna ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya memberi manfaat kepada orang lain. Dalam hadis, Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa memulai sunnah hasanah (perbuatan baik), maka baginya pahala dari perbuatannya dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun” (HR. Muslim). Ungkapan ini menegaskan bahwa inisiatif dalam kebaikan tidak hanya dihargai di dunia, tetapi juga mendapatkan ganjaran besar di akhirat. Mereka yang memulai kebaikan telah membuka pintu kemuliaan bagi orang lain untuk berkontribusi dan melanjutkan amal tersebut.

Namun, ungkapan ini juga mengajarkan nilai rendah hati dan sikap lapang dada. Meskipun seseorang memulai sesuatu, ia harus rela jika yang mengikuti kemudian mencapai hasil yang lebih baik atau memberikan dampak yang lebih besar. Dalam kehidupan nyata, banyak contoh yang menunjukkan bagaimana pelopor suatu inovasi dihormati, tetapi para penerus sering kali membawa karya itu ke tingkat yang lebih tinggi. Hal ini bukanlah alasan untuk merasa tersaingi, melainkan momen untuk bersyukur bahwa inisiatif awal telah memberikan manfaat yang luas.

Ungkapan ini juga relevan dalam dunia modern, di mana inovasi dan perubahan sering kali membutuhkan pelopor yang berani mengambil langkah pertama. Namun, di sisi lain, mereka yang mengikuti dapat belajar dari pengalaman pendahulunya, memperbaiki kekurangan, dan menciptakan hasil yang lebih sempurna. Sebagai contoh, dalam bidang teknologi, para pelopor menciptakan dasar-dasar inovasi, tetapi penerusnya mengembangkan teknologi tersebut menjadi lebih canggih dan bermanfaat. Dalam konteks ini, kolaborasi antara pelopor dan pengikut menjadi kunci keberhasilan.

Akhirnya, ungkapan ini mengajarkan keseimbangan antara penghargaan terhadap mereka yang memulai dan apresiasi terhadap mereka yang melanjutkan. Tidak ada keberhasilan yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari kontribusi bersama. Dengan memahami makna mendalam dari ungkapan ini, kita diajak untuk tidak hanya menjadi pelopor dalam kebaikan, tetapi juga menjadi penerus yang mampu melanjutkan warisan dengan lebih baik. Kemuliaan sejati terletak pada niat yang tulus dan usaha untuk memberikan manfaat bagi banyak orang, baik sebagai pelopor maupun penerus.

Kamis, 26 Desember 2024

Mengukir Kata, Menggetarkan Jiwa: Harmoni Kecerdasan Lisan dan Tulisan

Kecerdasan lisan (ذَكَاءُ الْكَلَامِ/dzakāul kalām) dan kecerdasan tulisan (ذَكَاءُ الْقَلَمِ/dzakāul qalam) adalah dua kemampuan yang saling melengkapi namun sering kali dianggap sebagai entitas yang terpisah. Kecerdasan lisan merujuk pada kemampuan seseorang dalam mengungkapkan ide, gagasan, atau emosi secara verbal dengan cara yang efektif dan persuasif. Sebaliknya, kecerdasan tulisan adalah keterampilan menyampaikan informasi melalui teks yang tertata, terstruktur, dan memikat. Kombinasi keduanya tidak hanya memperkaya cara seseorang berkomunikasi, tetapi juga memberikan kekuatan luar biasa dalam menyampaikan pesan secara holistik.

Dalam dunia modern yang penuh dengan interaksi lintas media, kemampuan memadukan kecerdasan lisan dan tulisan menjadi semakin penting. Seorang pembicara yang piawai mungkin mampu memukau audiensnya dengan retorika yang memikat, tetapi tanpa kemampuan tulisan yang kuat, pesan mereka bisa kehilangan daya tahan jangka panjang. Sebaliknya, seorang penulis yang brilian mampu menciptakan karya monumental, tetapi jika ia tidak mampu menyampaikan gagasannya secara verbal, pesan itu mungkin akan sulit menyentuh hati pembaca yang lebih luas. Kombinasi kedua kemampuan ini memungkinkan seseorang menjadi komunikator yang tidak hanya menginspirasi, tetapi juga relevan dan tahan lama.

Memadukan kecerdasan lisan dan tulisan memerlukan latihan dan kesadaran akan perbedaan mendasar keduanya. Lisan mengandalkan nada, intonasi, dan ekspresi wajah untuk memperkuat pesan, sementara tulisan memerlukan ketelitian dalam memilih kata, struktur kalimat, dan alur logika. Namun, keduanya berakar pada esensi yang sama: kejelasan dan empati dalam berkomunikasi. Dengan memahami audiens dan konteks, seseorang dapat memanfaatkan lisan untuk menyampaikan emosi dan urgensi, sementara tulisan menjadi wadah untuk memperkuat argumentasi dan dokumentasi.

Kesulitan yang sering dihadapi dalam memadukan kedua kecerdasan ini adalah kurangnya keseimbangan antara spontanitas lisan dan ketelitian tulisan. Kecerdasan lisan sering kali menuntut respons cepat, yang bisa mengorbankan kedalaman analisis. Sebaliknya, tulisan yang terlalu terstruktur mungkin kehilangan nuansa emosional yang sering menjadi kekuatan lisan. Tantangan ini dapat diatasi dengan melatih kemampuan mendengar aktif, berpikir kritis, dan refleksi berkelanjutan sehingga seseorang dapat menyampaikan ide secara spontan namun tetap terstruktur.

Manfaat dari penguasaan kombinasi ini melampaui sekadar komunikasi yang efektif. Ketika seseorang mampu berbicara dengan kejelasan seperti ia menulis, dan menulis dengan kehangatan seperti ia berbicara, ia menjadi pemimpin pemikiran yang autentik. Kemampuan ini membuka peluang untuk menjembatani berbagai dunia: akademik dan praktis, personal dan profesional, serta lokal dan global. Lebih dari itu, kombinasi ini menciptakan dampak yang mendalam dan berkelanjutan pada orang-orang yang mendengarkan atau membaca pesan tersebut.

Di tengah dunia yang terus berubah, kemampuan memadukan kecerdasan lisan dan tulisan menjadi keterampilan abad ke-21 yang esensial. Dengan mempraktikkan keduanya secara seimbang, seseorang dapat menciptakan komunikasi yang tidak hanya menginspirasi, tetapi juga bermakna dan memengaruhi. Hal ini menegaskan bahwa kekuatan sejati komunikasi terletak pada kemampuan untuk berbicara dengan keindahan tulisan dan menulis dengan semangat berbicara. Inilah seni komunikasi yang sesungguhnya: memadukan kata dengan jiwa.

Rabu, 25 Desember 2024

Meraih Kebijaksanaan Hidup Melalui Ilmu, Teladan, dan Hikmah

Hadis جَالِسُوا الْكُبَرَاءَ، وَسَائِلُوا الْعُلَمَاءَ، وَخَالِطُوا الْحُكَمَاءَ (jālisul kubarā, wa sāilul ‘ulamā, wa khālithul hukamā)Duduklah bersama orang-orang besar, bertanyalah kepada para cendekiawan, dan bergaullah dengan orang-orang ahli hikmah” yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabarani ini mengandung pesan moral yang sangat mendalam, mengarahkan umat Islam untuk memilih lingkungan dan interaksi yang memperkaya jiwa, akal, dan hikmah. Dalam konteks sosial, hadis ini memberikan petunjuk untuk senantiasa belajar dari orang-orang yang memiliki keutamaan dalam berbagai aspek kehidupan. Kata “jālisul kubarā” menekankan pentingnya berkumpul dengan orang-orang besar, yang dapat dimaknai sebagai mereka yang memiliki integritas moral, kedudukan yang terhormat, atau pengalaman hidup yang kaya. Dengan berinteraksi dengan mereka, seseorang dapat menyerap kebijaksanaan hidup dan keteladanan yang tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri tetapi juga masyarakat luas.

Aspek kedua dari hadis ini, “wa sāilul ‘ulamā” atau bertanya kepada para ulama, menekankan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai cahaya kehidupan. Dalam Islam, ulama adalah pewaris para nabi, yang tugasnya adalah membimbing umat dengan ilmu agama dan dunia yang benar. Bertanya kepada mereka tidak hanya mengindikasikan adab dalam menuntut ilmu, tetapi juga menunjukkan keutamaan sikap rendah hati dalam belajar. Seseorang yang bertanya dengan niat tulus untuk mencari kebenaran akan mendapatkan ilmu yang mendekatkan dirinya kepada Allah dan meningkatkan kemaslahatan hidupnya.

Sementara itu, “wa khālithul hukamā” atau bergaul dengan para ahli hikmah, menyoroti pentingnya memilih teman dan lingkungan yang penuh dengan kebijaksanaan. Ahli hikmah tidak selalu identik dengan ulama, tetapi mereka adalah orang-orang yang memahami kehidupan dengan baik, memiliki hati yang bersih, dan kebijaksanaan dalam menyikapi masalah. Bergaul dengan mereka memberikan inspirasi dalam menjalani kehidupan dengan cara yang bijak, sabar, dan penuh syukur, meskipun menghadapi tantangan.

Ketiga arahan dalam hadis ini saling melengkapi. Duduk bersama orang besar memberikan teladan moral dan sosial; bertanya kepada ulama membuka pintu ilmu dan pengetahuan; sementara bergaul dengan ahli hikmah mengasah kecerdasan emosional dan spiritual. Jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, ketiganya membentuk karakter seseorang menjadi pribadi yang utuh, memiliki pengetahuan yang luas, moral yang luhur, dan kebijaksanaan dalam bertindak.

Hadis ini juga memiliki relevansi besar dalam kehidupan modern. Di tengah derasnya arus informasi yang tidak selalu bermanfaat, memilih lingkungan dan guru yang tepat menjadi kebutuhan mendesak. Dalam era digital ini, “kubarā” bisa berarti tokoh panutan yang inspiratif, “ulamā” mencakup para pakar yang mendalami ilmu secara mendalam, dan “hukamā” adalah mereka yang memiliki kepekaan sosial dan kebijaksanaan dalam berbagai kondisi. Prinsip ini mengajarkan bahwa interaksi dengan mereka yang memiliki kualitas unggul adalah investasi jangka panjang dalam membangun peradaban.

Terakhir, hadis ini mengingatkan kita untuk senantiasa introspeksi. Sudahkah kita memilih teman, guru, dan lingkungan yang mendekatkan diri kepada kebaikan? Sudahkah kita menjadi bagian dari mereka yang menginspirasi, membimbing, dan membawa manfaat bagi orang lain? Dengan menjadikan hadis ini sebagai pedoman, kita dapat membangun kehidupan yang tidak hanya bermakna untuk diri sendiri tetapi juga menjadi cahaya bagi orang lain.

Selasa, 24 Desember 2024

Sahabat Sejati: Hadiah Terindah dalam Perjalanan Hidup

Ungkapan مَوَدَّةُ الصَّدِيْقِ تَظْهَرُ وَقْتَ الضِّيْقِ (mawaddatus shadīq tadhharu waqtad dlīqi) “Kecintaan seorang teman itu akan tampak pada waktu kesempitan” mengandung makna yang dalam tentang arti persahabatan sejati. Teman sejati bukan hanya ada saat kita bahagia atau dalam keadaan lapang, tetapi juga ketika kita berada dalam situasi sulit. Kecintaan seorang teman akan terlihat dengan jelas ketika kita menghadapi kesulitan hidup, baik itu masalah pribadi, finansial, atau emosional. Di saat itulah, seorang teman sejati akan hadir dengan penuh ketulusan, memberikan dukungan, dan membantu kita melewati masa-masa yang penuh tantangan.

Kesulitan hidup sering kali menguji kualitas hubungan antar manusia. Banyak orang yang hanya muncul saat kita sukses atau berada di puncak, tetapi ketika kita jatuh, mereka menghilang. Inilah yang membedakan antara teman biasa dan teman sejati. Teman sejati, sebagaimana ungkapan tersebut, adalah mereka yang tetap ada, memberi perhatian, bahkan rela berkorban untuk kita, meskipun itu mungkin mengganggu kenyamanan atau kepentingan mereka. Mereka tak hanya hadir di saat kita senang, tetapi juga saat kita terpuruk.

Dalam situasi sulit, kita juga bisa melihat sejauh mana teman kita memahami dan peduli dengan kondisi kita. Seorang teman sejati akan mencoba memahami apa yang kita alami dan memberi dukungan emosional yang dibutuhkan. Mereka tidak hanya datang dengan kata-kata hiburan kosong, tetapi juga dengan tindakan nyata. Entah itu melalui bantuan praktis atau sekadar mendengarkan, teman sejati tahu bagaimana caranya membuat kita merasa didengar dan dihargai.

Persahabatan yang diuji oleh kesulitan akan menghasilkan hubungan yang lebih kuat dan tahan lama. Dalam kesempitan, kita belajar untuk lebih menghargai orang-orang di sekitar kita. Mereka yang tetap bersama kita dalam ujian hidup adalah mereka yang pantas kita percayai dan rawat persahabatannya. Proses berbagi kesulitan ini menciptakan ikatan yang lebih dalam, yang jauh lebih berarti daripada sekadar berbagi kebahagiaan. Teman sejati adalah mereka yang hadir dalam suka dan duka, yang mampu menunjukkan ketulusan dalam setiap tindakan mereka.

Akhirnya, ungkapan ini mengingatkan kita bahwa kecintaan dalam persahabatan bukanlah sekadar kata-kata atau janji-janji manis, melainkan tindakan nyata yang diuji oleh waktu dan kondisi. Kesempitan hidup adalah saat di mana nilai sejati seorang teman terungkap. Dalam kesulitan, kita akan tahu siapa yang sungguh-sungguh peduli dan siapa yang hanya datang ketika semuanya mudah. Oleh karena itu, marilah kita menjadi teman yang baik dan setia, yang tidak hanya ada dalam kebahagiaan, tetapi juga hadir untuk memberi dukungan dan cinta saat orang lain membutuhkannya.

Senin, 23 Desember 2024

Jejak Waktu: Memetik Hikmah di Setiap Langkah Perjalanan Hidup

Waktu adalah perjalanan, ambillah pelajaran dari setiap kejadian” adalah ungkapan yang menggambarkan bagaimana waktu tidak hanya bergerak maju, tetapi juga membawa makna dan pembelajaran dalam setiap peristiwa yang kita alami. Layaknya perjalanan, waktu menghadirkan berbagai pemandangan kehidupan: kebahagiaan, kesedihan, kesuksesan, kegagalan, cinta, dan kehilangan. Setiap momen memberikan peluang untuk belajar dan tumbuh. Hidup menjadi lebih bermakna ketika kita tidak hanya melewati waktu, tetapi juga meresapi hikmah dari setiap langkah yang kita tempuh.

Setiap kejadian dalam perjalanan waktu, baik yang manis maupun pahit, adalah guru yang mengajarkan kita untuk menjadi lebih bijak dan dewasa. Keberhasilan mengajarkan rasa syukur, sementara kegagalan menanamkan ketangguhan dan introspeksi. Ketika kita mampu melihat setiap kejadian sebagai pelajaran, kita mengubah tantangan menjadi peluang, dan luka menjadi kekuatan. Waktu mengajarkan kita bahwa tidak ada peristiwa yang sia-sia jika kita mau mengambil hikmahnya.

Selain itu, ungkapan ini mengingatkan kita untuk hidup dengan kesadaran penuh di masa kini. Perjalanan waktu mengajarkan pentingnya memanfaatkan setiap detik untuk hal-hal yang bermakna. Ketika kita menyadari bahwa waktu adalah aset yang tidak bisa diulang, kita akan lebih menghargai setiap interaksi, pekerjaan, dan momen kecil dalam hidup. Setiap kejadian, sekecil apa pun, dapat menjadi pelajaran berharga yang membentuk siapa kita di masa depan.

Inspirasi dari ungkapan ini juga terletak pada pentingnya refleksi. Dalam perjalanan waktu, refleksi menjadi alat untuk memahami apa yang telah kita alami, merancang masa depan, dan memperbaiki diri. Seperti seorang pelancong yang duduk untuk merenungkan perjalanannya, kita perlu meluangkan waktu untuk mengevaluasi diri, mengingat pelajaran yang telah diperoleh, dan menentukan langkah selanjutnya. Dengan demikian, perjalanan waktu tidak hanya mengantarkan kita pada destinasi, tetapi juga pada pemahaman yang lebih mendalam tentang diri dan kehidupan.

Sebagai penutup, ungkapan ini mengajarkan bahwa hidup adalah proses pembelajaran tanpa akhir. Setiap kejadian dalam perjalanan waktu adalah bagian dari cerita besar yang membentuk pengalaman dan kebijaksanaan kita. Dengan mengambil pelajaran dari setiap kejadian, kita tidak hanya bertahan dalam perjalanan hidup, tetapi juga tumbuh dan berkembang. Waktu menjadi saksi perjalanan kita, dan bagaimana kita memaknainya menentukan kualitas hidup yang kita jalani. Jadikanlah setiap momen sebagai pelajaran, karena di situlah letak kebijaksanaan sejati.

Hidup Bermakna, Hidup Bahagia: Filosofi Menjadi Pribadi yang Berdampak

Ucapan Anies Rasyid Baswedan “ Kebahagiaan sejati itu datang dari perasaan bahwa kita ...