Senin, 30 Desember 2024

Ujian Nikmat: Jalan Menuju Syukur atau Lupa?

 

Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho, seorang ulama yang bijak, memberikan nasihat mendalam tentang hakikat ujian dalam kehidupan. Dawuh (nasihat) beliau mengingatkan bahwa ujian tidak hanya datang dalam bentuk niqmat (نِقْمَةٌ/hal-hal yang membuat seseorang menderita), seperti kemiskinan, tetapi juga dalam bentuk nikmat (نِعْمَةٌ/hal-hal yang membuat bahagia), seperti kekayaan. Pernyataan ini mengandung makna filosofis bahwa hidup adalah rangkaian ujian yang harus dihadapi dengan kesadaran dan kebijaksanaan. Dalam banyak kasus, justru ujian berupa nikmat lebih sering membuat manusia terjerumus karena godaannya lebih halus dan sulit disadari.

Ketika seseorang menghadapi kesusahan, ia cenderung lebih sadar untuk berserah diri kepada Allah. Rasa lemah dan tidak berdaya sering kali membuat manusia mendekat kepada Sang Pencipta, memohon pertolongan, dan bersabar. Sebaliknya, ketika hidup dipenuhi kenikmatan, banyak yang terlena dan lupa bahwa semua itu juga berasal dari Allah. Kekayaan, keberhasilan, atau kebahagiaan dapat membuat seseorang merasa sombong, lupa bersyukur, dan bahkan merasa tidak membutuhkan Tuhan. Inilah mengapa ujian berupa kenikmatan sering kali lebih sulit diatasi.

Ujian berupa kenikmatan menguji integritas hati dan kedewasaan iman seseorang. Apakah ia mampu menggunakan nikmat tersebut untuk kebaikan, berbagi kepada sesama, dan tetap rendah hati? Ataukah ia terjebak dalam kerakusan, kesombongan, atau penyalahgunaan nikmat? Di sinilah letak tantangan terbesar manusia: menjaga hati tetap bersih meskipun hidup dipenuhi oleh kemewahan atau kesenangan. Dalam hal ini, dawuh (nasihat) Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho menjadi pengingat agar manusia tidak lalai dalam mensyukuri dan memanfaatkan nikmat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ujian nikmat juga sering kali melibatkan kepekaan sosial. Seseorang yang diberikan rezeki lebih harus menyadari bahwa nikmat tersebut bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk membantu orang lain. Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." Jika nikmat itu tidak dimanfaatkan dengan benar, maka ujian tersebut bisa berubah menjadi bumerang yang merugikan dirinya di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kunci menghadapi ujian berupa nikmat adalah sikap syukur dan berbagi.

Selain itu, penting bagi setiap individu untuk terus mengingat bahwa hidup adalah sementara, dan segala nikmat yang dimiliki hanyalah titipan Allah. Kesadaran ini akan membantu manusia untuk tidak terlalu melekat pada dunia. Dengan hati yang ikhlas, seseorang akan mampu menjadikan setiap nikmat sebagai sarana untuk beribadah, baik melalui sedekah, kerja keras, maupun amal kebaikan lainnya. Sikap seperti inilah yang menunjukkan keberhasilan seseorang dalam menghadapi ujian berupa nikmat.

Dawuh (nasihat) Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho ini mengajarkan kita untuk terus mawas diri. Baik dalam kesulitan maupun dalam kelimpahan, kedekatan kepada Allah harus tetap menjadi prioritas utama. Dengan memahami bahwa segala sesuatu adalah ujian, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bijaksana dan penuh rasa syukur. Pada akhirnya, keberhasilan sejati bukanlah diukur dari jumlah nikmat yang dimiliki, tetapi dari bagaimana kita menjaga iman dan amal dalam segala kondisi yang Allah berikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Percaya Diri dan Sadar Diri: Keseimbangan Menuju Kesuksesan Bermakna

Ungkapan " Percaya diri penting, tapi sadar diri lebih penting " mengandung ...