Minggu, 12 Januari 2025

Percaya Diri dan Sadar Diri: Keseimbangan Menuju Kesuksesan Bermakna

Ungkapan "Percaya diri penting, tapi sadar diri lebih penting" mengandung pesan mendalam tentang keseimbangan dalam mengenali dan mengelola potensi diri. Percaya diri adalah kunci untuk mengambil langkah pertama, membuka peluang, dan menghadapi tantangan dengan optimisme. Namun, tanpa kesadaran diri, kepercayaan diri dapat berubah menjadi kesombongan atau keputusan yang gegabah. Kesadaran diri mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat ke depan dengan keyakinan tetapi juga memahami kekuatan, kelemahan, dan batasan diri dengan jujur.

Percaya diri yang sehat berasal dari kesadaran diri yang kuat. Ketika kita menyadari apa yang mampu kita lakukan dan apa yang masih perlu kita pelajari, kita bisa membangun kepercayaan diri yang kokoh. Kesadaran diri membantu kita menetapkan tujuan yang realistis, menilai kemampuan dengan jernih, dan bersikap bijak dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, percaya diri bukan sekadar keberanian melangkah, tetapi juga langkah yang penuh pertimbangan.

Kesadaran diri juga menjaga kita dari bahaya merasa paling benar atau menganggap diri superior. Seseorang yang percaya diri tanpa kesadaran diri mungkin mengabaikan kritik, gagal melihat kesalahan, atau terlalu cepat mengambil risiko. Sebaliknya, kesadaran diri mendorong kita untuk terus belajar, mendengarkan masukan, dan beradaptasi dengan perubahan. Sadar diri adalah fondasi bagi kerendahan hati yang memungkinkan kita tumbuh lebih baik.

Dalam hubungan dengan orang lain, kombinasi percaya diri dan sadar diri menciptakan pribadi yang menarik dan dapat dipercaya. Percaya diri membuat kita mampu menyampaikan ide dengan jelas, sementara kesadaran diri membuat kita peka terhadap reaksi orang lain. Dengan sadar diri, kita dapat membangun hubungan yang sehat, karena kita menghormati perspektif orang lain dan tidak memaksakan kehendak.

Ungkapan ini juga mengingatkan kita untuk selalu introspeksi. Hidup bukan hanya tentang keberhasilan mencapai tujuan, tetapi juga tentang proses memahami diri sendiri. Dengan sadar diri, kita bisa mengevaluasi perjalanan hidup, belajar dari kesalahan, dan merayakan pencapaian tanpa kehilangan pijakan. Percaya diri mungkin membawa kita menuju puncak, tetapi sadar diri memastikan kita tetap rendah hati di sana.

Pada akhirnya, percaya diri dan sadar diri adalah dua sisi dari koin yang sama. Percaya diri adalah kendaraan yang membawa kita melangkah, sementara sadar diri adalah peta yang memastikan kita berada di jalur yang benar. Ketika kedua hal ini berjalan beriringan, kita tidak hanya mampu mencapai kesuksesan, tetapi juga menjadi pribadi yang bermakna bagi diri sendiri dan orang lain.

Sabtu, 11 Januari 2025

Seleksi Alam: Menguji Kualitas, Membentuk Kapasitas

Ungkapan “Seleksi alam akan memperlihatkan kualitas dan kapasitas” menggambarkan proses alami di mana individu atau kelompok akan diuji oleh tantangan, dan hanya yang memiliki kemampuan, ketahanan, serta kualitas terbaik yang mampu bertahan dan berkembang. Dalam kehidupan, tantangan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan. Seleksi alam menguji bukan hanya kekuatan fisik, tetapi juga kecerdasan, kreativitas, adaptabilitas, dan ketangguhan mental. Proses ini memastikan bahwa hanya mereka yang siap dan mampu yang dapat terus melangkah maju.

Seleksi alam juga menjadi mekanisme pembelajaran dan penyaringan. Dalam menghadapi ujian hidup, seseorang belajar mengenali potensi diri, mengatasi kelemahan, dan mengembangkan strategi untuk bertahan. Proses ini secara alami mengungkapkan kualitas sejati seseorang, baik dari segi integritas, kerja keras, maupun keuletan. Individu yang tidak memiliki komitmen atau kemampuan untuk terus beradaptasi akan tersisih, sedangkan mereka yang bertahan adalah yang mampu mengatasi tantangan dengan inovasi dan semangat pantang menyerah.

Ungkapan ini juga relevan dalam dunia kompetisi. Dalam kehidupan profesional, misalnya, seleksi alam terlihat melalui persaingan ketat di tempat kerja atau dalam usaha. Hanya mereka yang memiliki kapasitas unggul, seperti kepemimpinan, kompetensi teknis, dan kemampuan interpersonal, yang mampu mencapai keberhasilan. Seleksi ini bukan berarti menghilangkan yang lain, tetapi mendorong setiap orang untuk terus meningkatkan kualitas dirinya agar tetap relevan dan berdaya saing.

Lebih dalam lagi, seleksi alam tidak hanya berlaku di level individu, tetapi juga pada kelompok, organisasi, bahkan bangsa. Dalam dinamika global, negara atau organisasi yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi, ekonomi, atau sosial cenderung tertinggal. Hal ini mengajarkan pentingnya inovasi, pembelajaran berkelanjutan, dan visi jauh ke depan. Seleksi alam menjadi pengingat bahwa stagnasi adalah ancaman, dan kemajuan hanya dapat dicapai melalui perbaikan berkelanjutan.

Namun, seleksi alam juga memberikan pelajaran tentang nilai-nilai manusiawi. Dalam proses menghadapi tantangan, kualitas seperti kerja sama, empati, dan solidaritas juga menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan. Kadang-kadang, kapasitas individu untuk bertahan tidak cukup tanpa dukungan dan kerja sama dari lingkungan sekitar. Ini menunjukkan bahwa seleksi alam tidak semata-mata mengandalkan kekuatan individu, tetapi juga bagaimana individu tersebut mampu berkolaborasi dan mendukung satu sama lain.

Pada akhirnya, seleksi alam mengajarkan bahwa kualitas dan kapasitas seseorang atau kelompok tidak hanya ditentukan oleh bakat bawaan, tetapi oleh bagaimana mereka merespons dan belajar dari tantangan. Proses ini membentuk karakter yang kuat, kecerdasan yang tajam, dan kebijaksanaan yang mendalam. Dengan memahami dan menerima ungkapan ini, kita dapat menghadapi kehidupan dengan sikap yang lebih positif, penuh semangat, dan terus berkembang menuju kualitas terbaik yang kita miliki.

Sabar dan Syukur: Kunci Kehidupan yang Mendekatkan Diri pada Allah

Nasihat Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho ini memberikan petunjuk yang mendalam tentang sikap yang harus dimiliki seorang Muslim dalam menghadapi berbagai kondisi kehidupan, baik yang penuh kenikmatan maupun ujian. Dalam pesan pertama, beliau mengingatkan tentang pentingnya menyikapi kenikmatan dengan rasa syukur yang tulus, dan bukan dengan kebanggaan. Ketika seseorang menerima nikmat dari Allah, baik itu rezeki, kesuksesan, atau keberuntungan, kewajiban kita adalah mengucapkan rasa syukur dan menceritakan kebahagiaan kita dengan cara yang tidak berlebihan. Dengan berbagi kebahagiaan kepada orang lain, kita menunjukkan sikap rendah hati dan mengingatkan diri kita bahwa segala nikmat yang kita terima adalah karunia dari Allah, bukan hasil dari kemampuan atau usaha semata.

Selanjutnya, Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho menegaskan bahwa kebanggaan atas nikmat yang kita miliki dapat mengarah pada sifat sombong. Ketika kita bangga secara berlebihan, sering kali kita lupa bahwa nikmat tersebut berasal dari Allah yang Maha Pemurah. Kebanggaan yang berlebihan bisa mengurangi keberkahan dari nikmat itu sendiri. Oleh karena itu, beliau mengajarkan bahwa saat berbagi cerita tentang nikmat, kita sebaiknya menekankan rasa syukur kepada Allah, bukan mengungkapkan kebanggaan diri. Dengan demikian, kita akan menjaga hati tetap bersih dari sifat sombong dan selalu mengingat bahwa segala sesuatu adalah milik Allah semata.

Berbeda dengan saat menghadapi kesulitan atau cobaan hidup, Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho mengajarkan agar kita tidak terlalu banyak berbicara tentang kesusahan yang kita alami. Ketika berada dalam kesulitan, beliau mengingatkan untuk lebih memilih sabar dan ikhlas. Dalam Islam, sabar adalah salah satu sifat yang sangat dihargai dan merupakan bentuk penghambaan kepada Allah. Kesulitan atau ujian hidup adalah bagian dari takdir yang harus diterima dengan lapang dada. Daripada mengeluh atau membicarakan kesulitan kita kepada orang lain, lebih baik kita menahan diri dan bersabar, karena dengan sabar, kita memperoleh pahala yang luar biasa.

Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho juga menjelaskan bahwa dengan kesabaran dalam menghadapi ujian, dosa-dosa kita akan diampuni. Hal ini sesuai dengan banyak hadis yang menyebutkan bahwa kesabaran dalam menghadapi musibah akan menghapuskan dosa-dosa kita. Bahkan, jika seseorang tidak memiliki dosa, Allah akan mengangkat derajatnya dan memberikan pahala yang lebih tinggi. Ini adalah anugerah yang luar biasa, karena sabar bukan hanya membuat seseorang tetap kuat dalam menghadapi kesulitan, tetapi juga menjadikan dirinya lebih dekat dengan Allah. Dengan sabar, seseorang mendapatkan kemuliaan dan keberkahan hidup yang lebih besar dari apa yang dia bayangkan.

Akhirnya, nasihat ini mengajak kita untuk selalu menjaga sikap kita dalam setiap kondisi. Ketika kita mendapat kenikmatan, kita harus menyikapinya dengan rasa syukur dan berbagi kebahagiaan dengan rendah hati. Ketika kita menghadapi kesulitan, kita harus bersabar dan percaya bahwa Allah akan memberikan jalan keluar dan mengampuni dosa-dosa kita. Dengan sikap ini, kita tidak hanya memperoleh keberkahan di dunia, tetapi juga pahala yang besar di sisi Allah. Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho mengajarkan kita untuk menjadikan setiap keadaan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan tetap menjaga hati dan niat agar selalu ikhlas dan penuh tawakal.

Jumat, 10 Januari 2025

Kedekatan dalam Sujud: Menggapai Rahmat Allah dengan Penuh Penghormatan

Nasihat Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho tentang memperlama sujud dalam sholat mengandung makna yang sangat dalam, menggambarkan ketulusan, kecintaan, dan kedekatan beliau kepada Allah Ta'ala. Beliau menyampaikan bahwa saat sujud yang terakhir adalah momen yang sangat berharga, di mana seseorang berada dalam posisi paling dekat dengan Allah. Dalam posisi sujud, hati lebih terbuka, doa lebih diterima, dan jiwa lebih khusyuk. Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho mengajarkan bahwa ini adalah waktu terbaik untuk berdoa, memuji, dan menghadap Allah dengan sepenuh hati, mengingat bahwa dalam Islam, sujud adalah puncak dari ibadah yang mengandung ketundukan dan kehambaan kepada Sang Pencipta.

Keutamaan sujud ini sudah dijelaskan dalam banyak hadis Nabi Muhammad Saw., yang menyebutkan bahwa doa dalam sujud adalah doa yang paling mustajab, atau yang paling mudah diterima oleh Allah. Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho dengan bijaksana mengingatkan pentingnya memanfaatkan momen sujud untuk berdoa, tidak hanya untuk meminta, tetapi juga untuk memuji Allah dengan penuh keikhlasan. Ketika seseorang memuji Allah dengan tulus, ia semakin mendekatkan diri kepada-Nya, mengakui kebesaran dan kekuasaan-Nya atas segala sesuatu. Ini adalah bentuk penghambaan yang murni, di mana seorang hamba tidak merasa sombong atau tinggi hati di hadapan Penciptanya.

Sujud dalam sholat juga merupakan waktu di mana seorang hamba benar-benar melepaskan segala beban duniawi dan hanya fokus pada Allah. Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho mengajarkan bahwa memanjangkan waktu sujud adalah salah satu cara untuk benar-benar merasakan kedekatan dengan Allah, mengingat betapa besar rahmat dan kasih-Nya. Dalam sujud, seorang hamba seharusnya tidak hanya sekadar mengucapkan doa, tetapi juga merenung dan meresapi segala karunia dan nikmat yang diberikan oleh Allah. Ini adalah bentuk penghargaan dan rasa syukur yang tak terhingga terhadap segala yang telah Allah berikan.

Lebih jauh, Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho juga mengingatkan bahwa dalam sujud yang panjang, kita dapat berdoa tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain, keluarga, dan umat. Doa yang tulus dalam sujud akan memperkuat ikatan spiritual, tidak hanya dengan Allah, tetapi juga dengan sesama. Sebagai seorang guru dan pembimbing, beliau memotivasi untuk menjadikan shalat, khususnya sujud, sebagai waktu untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah, memperbanyak permohonan ampunan, dan memohon petunjuk-Nya agar selalu berada di jalan yang benar.

Akhirnya, nasihat ini mengajak kita untuk memahami bahwa shalat adalah lebih dari sekadar kewajiban ritual. Shalat adalah sarana untuk berkomunikasi langsung dengan Allah, untuk merasakan kedekatan yang hakiki, dan untuk memohon segala kebaikan. Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho mengajarkan bahwa dalam sujud yang panjang, ada kesempatan untuk membersihkan hati, memperbarui niat, dan memperdalam kecintaan kepada Allah. Ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan, karena dengan sujud yang khusyuk, seorang hamba bisa mencapai kedamaian sejati dalam hidupnya.

Belajar dari Kejatuhan: Mengungkap Kepedulian Sejati di Tengah Ujian Hidup

Ungkapan “Terkadang jatuh itu perlu, agar kita tahu siapa yang mengulurkan tangan dan siapa yang bertepuk tangan” menggambarkan momen-momen sulit dalam hidup sebagai ujian yang mengungkap karakter sejati orang-orang di sekitar kita. Dalam hidup, tidak ada yang benar-benar kebal dari kegagalan atau kejatuhan, baik dalam karier, hubungan, atau aspek lain. Namun, ungkapan ini menekankan bahwa kejatuhan tidak hanya tentang menghadapi kesulitan, tetapi juga menjadi momen untuk mengenali siapa yang benar-benar peduli dan mendukung kita.

Kejatuhan sebagai proses pembelajaran adalah inti dari ungkapan ini. Saat kita jatuh, kita dipaksa untuk merenung, mengevaluasi diri, dan memahami pelajaran dari kegagalan. Kejatuhan mengajarkan kita tentang kerendahan hati, ketekunan, dan kekuatan untuk bangkit kembali. Selain itu, momen-momen sulit ini menjadi cermin yang memperlihatkan realitas hubungan kita dengan orang lain, baik keluarga, teman, maupun rekan kerja.

Orang yang mengulurkan tangan saat kita jatuh adalah mereka yang tulus peduli dan mencintai kita. Mereka hadir tidak hanya ketika hidup kita berjalan mulus tetapi juga ketika kita berada di titik terendah. Bantuan mereka bisa berupa dukungan emosional, nasihat, atau tindakan nyata untuk membantu kita bangkit kembali. Orang-orang ini adalah harta yang perlu kita syukuri dan jaga, karena mereka adalah pilar dalam perjalanan hidup kita.

Sebaliknya, mereka yang bertepuk tangan saat kita jatuh adalah refleksi dari hubungan yang tidak tulus atau bahkan bermuatan negatif. Sikap seperti ini sering muncul dari rasa iri, dengki, atau keinginan untuk melihat orang lain gagal. Meski menyakitkan, momen ini membantu kita mengenali siapa yang sebenarnya tidak memiliki niat baik terhadap kita. Hal ini menjadi pelajaran penting untuk menjaga diri dari hubungan yang tidak sehat.

Ungkapan ini juga menyiratkan bahwa kejatuhan adalah kesempatan untuk memperkuat karakter kita sendiri. Ketika kita mampu menerima kenyataan bahwa tidak semua orang di sekitar kita adalah pendukung sejati, kita belajar untuk lebih bijaksana dalam membangun hubungan. Kita juga belajar untuk menjadi pribadi yang tidak hanya bangkit dari kegagalan tetapi juga memberikan dukungan kepada orang lain ketika mereka jatuh.

Ungkapan ini mengajarkan kita untuk melihat kejatuhan sebagai pengalaman yang memperkaya hidup. Jatuh bukan akhir dari segalanya, melainkan bagian dari perjalanan yang membuat kita lebih kuat, lebih sadar, dan lebih mampu membedakan antara teman sejati dan sekadar pengamat. Dengan demikian, kita tidak hanya bangkit menjadi pribadi yang lebih tangguh, tetapi juga lebih bijak dalam menjalani kehidupan.

Kamis, 09 Januari 2025

Berbuat Baik Tanpa Pamrih: Mengejar Ridha Allah di Atas Segalanya

Nasihat Abah Guru Sekumpul (KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani) Martapura Banjarmasin Kalimantan Selatan, “Jika kita berbuat baik tapi orang tak suka, tak apa. Yang kita cari ridha Allah, bukan ridha manusia,” adalah pengingat yang mendalam tentang keikhlasan dan tujuan hidup seorang hamba. Dalam kehidupan, tidak semua kebaikan yang kita lakukan akan diterima dengan baik oleh orang lain. Terkadang, niat baik kita justru disalahpahami, dicurigai, bahkan dicemooh. Namun, Abah Guru Sekumpul menekankan bahwa dalam setiap amal, fokus utama kita adalah mendapatkan ridha Allah, bukan pengakuan atau pujian dari manusia.

Ridha Allah adalah puncak tujuan seorang mukmin. Dalam menjalani kehidupan, sering kali kita tergoda untuk mencari apresiasi dari sesama. Padahal, penghargaan manusia bersifat sementara dan tidak menjamin kebahagiaan sejati. Sebaliknya, jika amal kita diniatkan semata-mata untuk Allah, maka kekecewaan akibat penolakan atau ketidaksukaan orang lain tidak akan menggoyahkan hati kita. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 112, “. . . Barang siapa menyerahkan dirinya kepada Allah dan dia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya . . .”

Nasihat ini juga mengajarkan tentang pentingnya keikhlasan dalam setiap perbuatan. Ikhlas berarti melakukan kebaikan tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balasan dari manusia. Hanya dengan keikhlasan, amal kita akan diterima oleh Allah. Ketika seseorang memurnikan niatnya, ia tidak akan terlalu terpengaruh oleh sikap orang lain. Keikhlasan menjadi perisai yang melindungi hati dari rasa sakit akibat celaan, sehingga kita tetap istiqamah dalam berbuat baik meski dihadapkan pada penolakan.

Lebih dari itu, nasihat ini adalah ajakan untuk berani menjadi pribadi yang teguh memegang prinsip kebenaran. Tidak semua kebaikan yang kita lakukan akan terlihat baik di mata manusia, terutama di zaman yang nilai-nilainya sering kali terbalik. Tugas kita adalah tetap berbuat baik sesuai tuntunan agama, meskipun orang lain tidak menghargai atau bahkan menentangnya. Rasulullah Saw. pun pernah menghadapi berbagai hinaan dan penolakan, tetapi beliau tetap teguh berdakwah demi menggapai ridha Allah.

Nasihat ini juga mengingatkan kita untuk tidak mudah kecewa atau berhenti berbuat baik hanya karena respon negatif dari orang lain. Dalam perspektif spiritual, kebaikan yang dilakukan semata-mata untuk Allah akan menjadi tabungan pahala yang abadi. Bahkan, kebaikan itu sering kali menjadi sebab turunnya pertolongan Allah di saat kita membutuhkannya. Dengan demikian, respon manusia, baik berupa pujian atau celaan, hanyalah ujian kecil yang tidak seharusnya mengubah niat kita.

Pada akhirnya, nasihat ini menginspirasi kita untuk menjalani hidup dengan hati yang tulus dan jiwa yang kuat. Berbuat baik karena Allah adalah bentuk penghambaan yang paling murni, yang membawa ketenangan dan kebahagiaan sejati. Maka, meskipun dunia tidak selalu menghargai kebaikan kita, yakinlah bahwa Allah tidak pernah luput dari setiap amal yang dilakukan dengan ikhlas. Dengan berpegang pada nasihat ini, kita akan menjadi hamba yang tegar, bersemangat, dan tetap istiqamah di jalan kebaikan.

Menghormati Orang Tua Melalui Keindahan Bahasa dan Akhlak

Nasihat Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho kepada para santri setiap menjelang liburan, “Kalau pulang jangan lupa boso (bahasa Jawa krama) kepada orang tua,” mengandung pesan mendalam tentang adab, penghormatan, dan pelestarian nilai-nilai luhur budaya. Melalui pesan sederhana ini, Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho mengingatkan pentingnya menjaga kesopanan dalam berkomunikasi dengan orang tua, terutama saat kembali ke rumah setelah menimba ilmu di pesantren. Bahasa krama, sebagai wujud penghormatan dalam budaya Jawa, menjadi sarana untuk menunjukkan bakti dan rasa hormat kepada mereka yang telah berjasa besar dalam kehidupan kita.

Bahasa krama tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol dari kesopanan, tata krama, dan penghormatan yang diajarkan dalam tradisi Jawa. Ketika seorang santri menggunakan bahasa ini, ia sedang mengekspresikan nilai-nilai adab Islami yang mengajarkan untuk menghormati orang tua. Dalam Islam, memuliakan orang tua adalah kewajiban besar yang sejajar dengan tauhid, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an. Dengan menggunakan bahasa krama, seorang santri menunjukkan akhlak mulia yang menjadi ciri khas seorang penuntut ilmu.

Nasihat ini juga mencerminkan bagaimana Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho memahami pentingnya mempertahankan budaya lokal yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dalam era modernisasi yang serba cepat, budaya tradisional seperti bahasa krama sering kali tergerus oleh perubahan zaman. Melalui nasihat ini, Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho mengingatkan bahwa menjadi santri tidak berarti melupakan akar budaya, tetapi justru memperkaya dan melestarikannya sebagai bagian dari identitas diri yang kokoh.

Selain itu, menggunakan bahasa krama kepada orang tua menjadi sarana efektif untuk mempererat hubungan keluarga. Bahasa yang santun dan penuh penghormatan menciptakan suasana yang harmonis dan menguatkan rasa kasih sayang. Orang tua akan merasa dihargai dan bangga melihat anaknya membawa pulang nilai-nilai adab yang diajarkan di pesantren. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa pendidikan di pesantren tidak hanya membentuk aspek keilmuan, tetapi juga karakter dan perilaku.

Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho juga mengajarkan bahwa menggunakan bahasa krama adalah cara untuk menghadirkan keberkahan dalam hubungan antara anak dan orang tua. Kesopanan dan penghormatan kepada orang tua akan mendatangkan ridha mereka, yang dalam Islam menjadi jalan terbukanya ridha Allah. Dengan menjaga adab dalam berbicara, seorang santri tidak hanya mendapatkan keberkahan dunia, tetapi juga akhirat.

Nasihat ini menjadi pengingat bahwa sekecil apa pun tindakan hormat kepada orang tua, termasuk melalui bahasa, memiliki makna besar. Dengan menghidupkan kembali tradisi berbahasa krama, para santri tidak hanya membawa harum nama pesantren, tetapi juga menjadi teladan di tengah masyarakat. Nasihat Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho ini memberikan inspirasi bagi siapa saja untuk terus menjaga hubungan yang baik dengan orang tua, memuliakan budaya, dan mengamalkan nilai-nilai Islami dalam kehidupan sehari-hari.

Seni Melihat Dunia dengan Hati dan Pikiran

Richard Feynman, seorang fisikawan dan pemikir brilian, pernah berkata, "Pemahaman adalah sebuah seni, dan tidak semua orang itu seniman." Kutipan ini menyiratkan bahwa memahami sesuatu, entah itu konsep ilmiah, situasi kehidupan, atau pandangan orang lain, memerlukan kepekaan, imajinasi, dan keterampilan. Pemahaman tidak hanya sekadar pengetahuan; ia adalah proses mendalam yang melibatkan kemampuan untuk melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang, menghubungkan informasi dengan cara kreatif, dan menemukan makna yang sering kali tidak terlihat di permukaan.

Dalam dunia yang semakin kompleks, seni memahami menjadi semakin penting. Kita dihadapkan pada informasi yang melimpah, dan kemampuan untuk memilah, mencerna, dan memahaminya adalah keterampilan yang langka. Feynman sendiri dikenal dengan metode “Feynman Technique”-nya, yang menunjukkan bagaimana menyederhanakan konsep rumit menjadi sesuatu yang mudah dipahami. Ini menegaskan bahwa pemahaman sejati tidak hanya soal menguasai fakta, tetapi juga kemampuan untuk menjelaskan dan menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Namun, Feynman juga mengingatkan bahwa tidak semua orang secara alami memiliki kemampuan ini. Menjadi “seniman pemahaman” memerlukan latihan, kesabaran, dan kerendahan hati. Pemahaman sejati sering kali dimulai dengan pengakuan bahwa kita tidak tahu segalanya, bahwa ada ruang untuk belajar dan berkembang. Sikap seperti ini membuka pintu bagi eksplorasi dan inovasi, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, seni memahami melibatkan empati, terutama dalam hubungan antarindividu. Memahami seseorang berarti mencoba melihat dunia dari perspektif mereka, menghargai pengalaman dan perasaan mereka, bahkan ketika itu berbeda dengan pandangan kita. Ini membutuhkan keberanian untuk keluar dari zona nyaman dan melepaskan bias kita sendiri. Dalam dunia yang sering kali terpecah oleh perbedaan, seni memahami ini dapat menjadi jembatan yang menyatukan.

Inspirasi dari ucapan Feynman adalah pengingat bahwa kita semua bisa menjadi "seniman" jika kita mau melatih kemampuan untuk memahami. Kita dapat memulai dengan mendengarkan lebih dalam, bertanya lebih banyak, dan mencoba menjelaskan hal-hal yang kita pelajari kepada orang lain. Ketika kita belajar untuk melihat keindahan dalam memahami sesuatu yang baru, hidup menjadi lebih kaya dan bermakna.

Seni pemahaman bukanlah tujuan, tetapi perjalanan yang terus berlangsung. Setiap hari adalah kesempatan untuk menggali lebih dalam, untuk menemukan pola, hubungan, dan makna baru di dunia sekitar kita. Dengan menanamkan rasa ingin tahu dan dedikasi pada pemahaman, kita tidak hanya menjadi lebih bijaksana, tetapi juga membantu menciptakan dunia yang lebih harmonis dan penuh pengertian.

Rabu, 08 Januari 2025

Keindahan Sejati: Mata, Mulut, dan Hati yang Memancarkan Kebaikan

Ungkapan “Mata terindah adalah mata yang selalu melihat kebaikan orang lain. Mulut terindah adalah mulut yang selalu belajar berkata-kata dengan baik. Hati terindah adalah hati yang selalu berprasangka baik terhadap orang lain” mengandung pesan mendalam tentang keindahan sejati yang bersumber dari kualitas batin seseorang. Keindahan ini tidak semata-mata bersifat fisik, melainkan tercermin dari perilaku, sikap, dan cara pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya. Ungkapan ini mengajarkan bahwa karakter dan kebajikan jauh lebih bermakna daripada penampilan luar semata.

“Mata yang selalu melihat kebaikan orang lain” mengajarkan kita pentingnya fokus pada hal-hal positif dalam diri orang lain. Setiap individu memiliki kelebihan, meskipun mungkin tersembunyi di balik kekurangannya. Dengan melihat kebaikan, kita tidak hanya memperkuat hubungan sosial tetapi juga melatih diri untuk bersikap rendah hati dan menghargai keberagaman. Mata seperti ini mengajarkan kasih sayang, toleransi, dan empati nilai-nilai yang sangat dibutuhkan di dunia yang sering kali diwarnai oleh prasangka dan kritik yang berlebihan.

“Mulut yang belajar berkata-kata dengan baik” adalah simbol penting komunikasi yang penuh kesadaran. Kata-kata memiliki kekuatan besar untuk membangun atau merusak, sehingga belajar berkata-kata dengan baik adalah langkah menuju menciptakan hubungan yang harmonis. Mulut yang “indah” adalah mulut yang berbicara untuk mendukung, menginspirasi, dan menyemangati, bukan untuk menjatuhkan atau menyakiti. Ungkapan ini mengingatkan kita untuk menggunakan kata-kata sebagai alat kebaikan yang mampu membawa pengaruh positif dalam hidup orang lain.

“Hati yang selalu berprasangka baik” adalah inti dari kehidupan yang damai dan bahagia. Ketika hati dipenuhi prasangka baik, kita belajar memahami dan memaafkan kelemahan orang lain. Prasangka baik membantu kita menjauhkan diri dari energi negatif seperti kebencian, iri hati, dan dendam. Hati seperti ini memungkinkan kita menjalani hidup dengan ringan karena tidak membawa beban prasangka buruk yang menguras emosi. Hati yang indah adalah fondasi dari jiwa yang sehat dan hubungan yang harmonis.

Secara keseluruhan, ungkapan ini adalah pengingat bahwa keindahan sejati lahir dari dalam diri seseorang. Mata, mulut, dan hati yang “indah” mencerminkan sikap hidup yang positif dan berbudi pekerti. Keindahan batin ini tidak hanya memperkaya kehidupan individu tetapi juga menciptakan efek domino bagi lingkungan sekitar. Orang yang mempraktikkan nilai-nilai ini cenderung menjadi sumber inspirasi dan cahaya bagi orang lain.

Dalam dunia yang sering kali lebih mementingkan penampilan luar, ungkapan ini menawarkan sudut pandang yang berbeda. Ia mengajak kita untuk memperbaiki diri dari dalam, membangun karakter yang kuat, dan mempraktikkan kebaikan yang tulus. Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi pribadi yang lebih baik tetapi juga menciptakan dunia yang lebih penuh cinta, pengertian, dan harmoni. Ungkapan ini, meskipun sederhana, memiliki daya tarik yang kuat untuk mengubah cara pandang dan perilaku kita menuju kehidupan yang lebih bermakna.

Mengajar sebagai Jalan Silaturahim yang Membawa Keberkahan Hidup

Nasihat Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho tentang hadis Nabi Muhammad Saw. “Barang siapa ingin dipanjangkan umurnya, diluaskan rezekinya, dan dijauhkan dari mati su’ul khatimah, maka bertakwalah kepada Allah dan sambunglah silaturahim” yang menekankan pentingnya takwa dan silaturahim sebagai jalan untuk mendapatkan keberkahan hidup memberikan pesan yang sangat mendalam. Dalam hadis tersebut, Rasulullah Saw. menjanjikan tiga kebaikan bagi siapa saja yang bertakwa dan menyambung silaturahim: umur yang panjang, rezeki yang luas, dan akhir hidup yang baik. Penekanan pada silaturahim menunjukkan bahwa hubungan baik dengan sesama manusia adalah salah satu cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Lebih lanjut, beliau menyebutkan bahwa mengajar juga merupakan bentuk mulia dari silaturahim, yang membawa manfaat besar tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.

Silaturahim dalam konteks mengajar memiliki arti yang luas. Mengajar bukan sekadar menyampaikan ilmu, tetapi juga membangun hubungan emosional, spiritual, dan intelektual dengan orang lain. Ketika seseorang mengajar, ia tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai dan membentuk karakter generasi mendatang. Dengan demikian, mengajar menjadi salah satu bentuk silaturahim yang berdampak panjang, karena ilmu yang diajarkan akan terus memberikan manfaat bahkan setelah pengajar tersebut tiada.

Mengajar sebagai bentuk silaturahim juga mendekatkan seseorang kepada Allah Swt. Dalam Islam, menuntut dan mengajarkan ilmu adalah ibadah yang sangat dianjurkan. Rasulullah Saw. bersabda bahwa ilmu yang bermanfaat adalah salah satu amal jariyah yang pahalanya terus mengalir. Melalui mengajar, seorang individu tidak hanya membantu orang lain memahami dunia, tetapi juga menjadi jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan begitu, aktivitas mengajar menjadi sarana memperkuat ikatan dengan Sang Pencipta sekaligus sesama manusia.

Bentuk silaturahim yang diimplementasikan melalui mengajar juga mencerminkan takwa kepada Allah Swt. Takwa berarti menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh kesadaran. Mengajar, jika dilakukan dengan niat ikhlas dan penuh dedikasi, adalah wujud nyata dari pengabdian kepada Allah dan masyarakat. Seorang guru, misalnya, bukan hanya mendidik secara akademis, tetapi juga memberikan teladan moral dan etika, yang pada akhirnya menjadi amal saleh yang diridhai Allah.

Lebih dari itu, mengajar sebagai bentuk silaturahim memiliki dampak positif yang besar pada keberkahan hidup. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa orang-orang yang secara konsisten berbagi ilmu dan mendukung orang lain dengan tulus sering kali mendapatkan kelapangan rezeki, kebahagiaan, dan ketenangan batin. Ini karena Allah tidak hanya melimpahkan balasan di dunia, tetapi juga mencatat setiap perbuatan baik sebagai tabungan pahala di akhirat. Dengan terus menyambung silaturahim melalui mengajar, seseorang juga dapat menghindari mati dalam keadaan su’ul khatimah, karena ilmu yang diajarkan bisa menjadi amal penghapus dosa.

Nasihat ini mengingatkan kita bahwa kebaikan, keberkahan, dan keselamatan hidup tidak datang dengan sendirinya, tetapi membutuhkan usaha nyata, seperti bertakwa kepada Allah dan menjaga silaturahim. Mengajar, sebagai salah satu bentuk silaturahim, adalah jalan yang mulia untuk memberikan manfaat kepada sesama, memperbaiki diri, dan mendekatkan diri kepada Allah. Mari kita jadikan nasihat ini sebagai motivasi untuk terus berbagi ilmu dan menjadikan hidup kita lebih bermakna melalui hubungan baik dengan sesama manusia.

Selasa, 07 Januari 2025

Menemukan Makna Spiritual dalam Setiap Langkah Mengajar

Nasihat Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho tentang pentingnya niat dan kesungguhan dalam mengajar mengandung nilai yang sangat mendalam, tidak hanya bagi pendidik tetapi juga bagi siapa saja yang ingin menebar manfaat kepada sesama. Beliau menekankan bahwa mengajar bukan hanya aktivitas fisik menyampaikan ilmu, melainkan ibadah yang memerlukan kesungguhan hati sejak awal hingga akhir. Dengan niat yang tulus dan fokus, setiap langkah mengajar menjadi lebih bermakna dan bernilai di sisi Allah.

Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho mengajarkan untuk memulai niat mengajar sejak dari kamar, sebelum benar-benar bertemu murid. Hal ini menunjukkan bahwa persiapan batiniah sangat penting bagi seorang guru. Niat yang diluruskan sejak awal akan menjadi landasan utama dalam menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab. Guru tidak hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga menjadi perantara kebaikan, membentuk akhlak, dan menanamkan nilai-nilai hidup kepada anak didik.

Selain itu, beliau mengajarkan pentingnya tawasul atau memohon perantara doa kepada guru-guru dan orang tua sebelum memulai aktivitas mengajar. Hal ini mengingatkan bahwa kesuksesan seorang pendidik tidak lepas dari barokah ilmu yang diturunkan oleh para guru sebelumnya dan doa restu dari orang tua. Dengan tawasul, seorang guru menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah kelanjutan dari perjuangan para pendidik sebelumnya, sehingga mereka melibatkan keberkahan tersebut dalam proses pengajaran.

Ketika mengucapkan surat Al-Fatihah sebelum mengajar, Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho mengingatkan agar niat tulus tersebut dilintaskan kembali di hati. Ini menjadi simbol pentingnya mengulang niat di setiap langkah agar fokus tidak bergeser. Surat Al-Fatihah, yang merupakan inti dari Al-Qur’an, menjadi doa yang meliputi permohonan petunjuk, keberkahan, dan keikhlasan. Membaca Al-Fatihah dengan niat yang sungguh-sungguh juga menjadi pengingat bahwa mengajar adalah bagian dari ibadah dan tugas suci yang membutuhkan kesadaran penuh.

Nasihat ini juga mencerminkan betapa Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho memahami bahwa mengajar adalah tugas yang melibatkan dimensi spiritual, intelektual, dan emosional. Dengan menanamkan niat yang kokoh dan melibatkan Allah dalam setiap prosesnya, seorang guru akan mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin muncul. Keikhlasan penuh dari seorang pendidik akan memberikan kekuatan untuk bersabar, memotivasi, dan mendampingi anak didik dengan penuh kasih sayang.

Akhirnya, nasihat ini mengajarkan bahwa menjadi pendidik bukan hanya soal menyampaikan pengetahuan, tetapi juga soal mentransformasi hati dan pikiran murid. Dengan niat yang benar dan ikhlas, seorang guru tidak hanya mengajarkan ilmu duniawi tetapi juga menanamkan nilai-nilai Ilahiyah dalam diri anak-anak didiknya. Maka, mengajar menjadi jalan keberkahan yang membawa manfaat tidak hanya bagi sang guru, tetapi juga bagi generasi yang akan datang.

Meraih Impian: Perjuangan, Tekad, dan Kerja Keras Menuju Kesuksesan

Ungkapan “Impian tidak akan menjadi kenyataan dengan sihir. Dibutuhkan keringat, tekad, dan kerja keras” adalah pengingat bahwa untuk mencapai apa yang kita impikan, kita perlu melakukan upaya nyata. Dalam hidup, impian adalah peta awal yang memberi arah. Namun, peta itu tidak cukup jika kita tidak mengambil langkah untuk mewujudkannya. Seperti benih yang tidak akan tumbuh tanpa air dan perawatan, impian pun memerlukan dedikasi dan usaha untuk berkembang menjadi kenyataan.

Kerja keras adalah elemen pertama yang tak tergantikan dalam proses ini. Setiap langkah kecil yang kita ambil untuk mendekati impian kita adalah bukti komitmen kita terhadap tujuan tersebut. Kerja keras melibatkan konsistensi, fokus, dan kesediaan untuk melakukan pengorbanan. Tidak ada jalan pintas menuju kesuksesan. Setiap detik yang kita habiskan untuk belajar, berlatih, atau memperbaiki diri adalah investasi yang akan membawa kita semakin dekat pada impian.

Namun, kerja keras saja tidak cukup tanpa tekad. Tekad adalah bahan bakar emosional yang menjaga kita tetap bersemangat meskipun menghadapi hambatan dan kegagalan. Tekad adalah suara di dalam diri yang mengatakan, “Jangan menyerah” ketika segalanya terasa berat. Impian besar sering kali dihadapkan pada tantangan besar. Dengan tekad yang kuat, kita mampu mengatasi rasa lelah, keraguan, dan ketakutan yang mungkin muncul sepanjang perjalanan.

Selain itu, keringat atau usaha nyata adalah bukti fisik dari dedikasi kita. Ini melibatkan tindakan nyata, bukan sekadar angan-angan. Banyak orang memiliki impian besar, tetapi hanya mereka yang berani melangkah dan melakukan tindakan nyata yang akhirnya melihat hasilnya. Dalam proses ini, kita belajar banyak hal, seperti disiplin, manajemen waktu, dan cara mengatasi hambatan. Setiap tetes keringat yang kita keluarkan adalah tanda bahwa kita benar-benar berjuang untuk impian kita.

Mewujudkan impian juga membutuhkan keberanian untuk menghadapi ketidakpastian. Perjalanan menuju impian sering kali tidak lurus; ada belokan, jalan buntu, dan bahkan kegagalan. Namun, di sinilah kekuatan tekad dan kerja keras diuji. Mereka yang bertahan, terus belajar, dan beradaptasi dengan perubahan akan menemukan cara untuk tetap bergerak maju. Ingatlah bahwa setiap tantangan yang kita atasi bukan hanya membawa kita lebih dekat ke impian, tetapi juga membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kuat dan tangguh.

Pada akhirnya, impian yang diwujudkan melalui keringat, tekad, dan kerja keras adalah impian yang paling bermakna. Proses perjuangan memberikan rasa bangga dan kepuasan yang tidak bisa diberikan oleh hal-hal instan. Kesuksesan yang diraih dengan usaha adalah bukti dari kekuatan dan kemampuan kita untuk menciptakan perubahan. Jadi, jangan hanya berharap pada sihir atau keberuntungan. Mulailah bertindak, tetaplah berjuang, dan percaya bahwa impianmu layak diperjuangkan. Hasilnya mungkin tidak instan, tetapi pasti sepadan dengan usaha yang kamu lakukan.

Senin, 06 Januari 2025

Meraih Jalan Selamat di Akhir Zaman dengan Shalawat

Nasihat Abah Guru Sekumpul (KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani), ulama kharismatik dari Martapura Banjarmasin Kalimantan Selatan, tentang pentingnya memperbanyak shalawat di akhir zaman adalah pesan yang penuh hikmah dan relevan untuk setiap umat Islam. Di tengah kehidupan yang penuh dengan fitnah, godaan, dan tantangan spiritual, beliau menegaskan bahwa shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. adalah jalan yang paling selamat menuju keridhaan Allah Swt. Shalawat bukan hanya bentuk kecintaan kepada Rasulullah, tetapi juga perisai rohani yang melindungi hati dari penyakit-penyakit batin seperti kesombongan, iri hati, dan putus asa.

Dalam perspektif spiritual, shalawat adalah penghubung antara hamba dan Rasulullah. Dengan memperbanyak shalawat, kita tidak hanya memperkuat ikatan cinta kepada Nabi, tetapi juga mendapatkan syafaatnya di hari kiamat kelak. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw., “Orang yang paling dekat denganku pada hari kiamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku.” Ini menjadi pengingat bahwa dalam perjalanan hidup yang penuh ujian, kita membutuhkan kasih sayang dan perlindungan dari Allah melalui perantara Rasul-Nya.

Shalawat juga memiliki manfaat yang besar dalam membersihkan hati dan pikiran dari gangguan duniawi. Dalam suasana akhir zaman yang penuh dengan hiruk-pikuk modernitas dan hedonisme, shalawat membantu menenangkan jiwa dan mengarahkan hati kita kembali kepada Allah. Setiap kali kita bershalawat, kita sedang menghidupkan kembali semangat spiritual yang sering kali tertutupi oleh kesibukan dunia. Hati yang terbiasa bershalawat akan lebih mudah merasakan kehadiran Allah dan menerima petunjuk-Nya.

Lebih dari itu, shalawat adalah amalan yang sederhana tetapi memiliki dampak luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tradisi tasawuf, shalawat dipandang sebagai cahaya yang menerangi perjalanan hidup seorang mukmin. Ia membawa keberkahan dalam usaha, kemudahan dalam kesulitan, dan ketenangan di tengah kegelisahan. Dengan memperbanyak shalawat, seorang hamba tidak hanya mendekatkan dirinya kepada Allah, tetapi juga menjadi pribadi yang lebih baik dalam berinteraksi dengan sesama.

Nasihat Abah Guru Sekumpul mengingatkan kita bahwa akhir zaman adalah masa yang penuh cobaan, di mana hanya orang-orang yang berpegang teguh kepada Allah yang akan selamat. Dalam kondisi ini, shalawat menjadi sarana untuk menguatkan hubungan kita dengan Allah dan Rasul-Nya. Ia mengajarkan kita untuk tidak terlalu sibuk dengan urusan duniawi hingga melupakan tujuan akhir kehidupan, yaitu menggapai ridha Allah dan surga-Nya.

Pada akhirnya, nasihat ini menginspirasi kita untuk menjadikan shalawat sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak ada kata terlambat untuk memulai kebiasaan baik ini. Dengan melibatkan shalawat dalam setiap langkah hidup kita, insyaAllah kita akan diberi keberkahan, ketenangan, dan kemudahan dalam menghadapi segala tantangan, sehingga kita dapat berjalan menuju Allah dengan hati yang penuh cinta dan pengharapan.

Membangun Jembatan Kasih dalam Mendidik Anak

Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho, seorang ulama kharismatik yang dikenal karena kearifannya, memberikan nasihat yang sangat mendalam tentang pentingnya bersabar dan penuh kasih sayang dalam mendidik anak, terutama ketika mereka menunjukkan perilaku nakal. Beliau berkata, “Kalau anakmu nakal, jangan diusir, ditelateni saja. Kalau diusir maka hubungannya akan putus sama sekali, kalau tidak diusir, maka masih bisa ditarik sedikit-sedikit.” Nasihat ini mengandung filosofi mendalam tentang pentingnya menjaga hubungan dan membangun komunikasi yang baik dengan anak sebagai fondasi utama dalam pendidikan keluarga.

Ketika anak berperilaku nakal, sering kali orang tua merasa kesal, marah, atau bahkan kehilangan kesabaran. Namun, Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho mengingatkan bahwa mengusir anak atau memutuskan hubungan emosional dengannya hanya akan memperburuk situasi. Anak yang diusir atau ditolak akan merasa tidak diterima, kehilangan rasa aman, dan akhirnya menjauh secara fisik maupun emosional dari orang tua. Sebaliknya, dengan “ditelateni” atau dihadapi dengan kesabaran dan kasih sayang, orang tua menciptakan ruang bagi anak untuk memperbaiki diri secara perlahan.

Nasihat ini juga menekankan pentingnya membangun hubungan yang kokoh berdasarkan cinta dan empati. Anak yang nakal sering kali sebenarnya sedang mencari perhatian atau mengalami kebingungan dalam memahami emosi mereka. Ketelatenan orang tua memberi kesempatan untuk memahami penyebab perilaku anak dan membantu mereka menemukan solusi yang lebih baik. Dalam proses ini, anak belajar bahwa keluarga adalah tempat yang aman untuk berbagi, belajar, dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho juga mengajarkan nilai besar dalam Islam tentang “rahmat” dan “kesabaran”. Orang tua adalah cerminan kasih Allah bagi anak-anak mereka. Dengan meneladani sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, orang tua dapat menjadi pemandu yang tidak hanya mendidik tetapi juga merangkul kelemahan anak-anak mereka dengan cinta. Ketelatenan ini adalah bagian dari “tarbiyah” atau pendidikan Islami yang bertujuan untuk membentuk karakter dan akhlak mulia.

Secara praktis, nasihat ini mengajarkan teknik mendidik yang humanis. Ketika anak melakukan kesalahan, daripada menghukumnya secara berlebihan atau menolaknya, orang tua perlu mengambil pendekatan dialogis. Mendengarkan, berbicara dari hati ke hati, dan memberikan contoh perilaku yang baik adalah langkah-langkah penting untuk mendidik anak tanpa memutuskan hubungan emosional. Proses ini membutuhkan kesabaran, tapi hasilnya adalah hubungan keluarga yang lebih harmonis dan anak yang tumbuh dengan fondasi moral yang kuat.

Nasihat Almaghfurlah KH. M. Basori Alwi Murtadho ini menjadi inspirasi bagi setiap orang tua untuk terus memperjuangkan kebaikan dalam keluarga. Anak adalah amanah yang harus dirawat dengan cinta dan kesabaran, meskipun mereka menunjukkan sisi sulit dari pertumbuhan mereka. Dengan terus mendampingi mereka di setiap langkah, orang tua dapat menanamkan nilai-nilai kebaikan yang akan menjadi bekal bagi anak hingga dewasa. Seperti pepatah, “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah,” demikian pula kasih sayang orang tua yang tulus akan menjadi bekal perjalanan panjang anak di dunia dan akhirat.

Percaya Diri dan Sadar Diri: Keseimbangan Menuju Kesuksesan Bermakna

Ungkapan " Percaya diri penting, tapi sadar diri lebih penting " mengandung ...