Halaman

Sabtu, 01 Februari 2025

Istirahat dalam Pengabdian: Menemukan Kedamaian Sejati Melalui Ilmu dan Pengajaran

Kalam hikmah Al-Habib Ali Masyhur bin Hafidz (Tarim), "رَاحَتُنَا لَيْسَتْ فِي الْجُلُوْسِ بَلْ فِي الدُّرُوْسِ" (Rāhatunā laisat fil-julūsi bal fid-durūsi/Santai dan istirahatnya kita bukan ketika duduk tetapi ketika mengajar), mengandung pesan mendalam tentang makna istirahat yang sejati bagi seorang hamba yang berilmu. Hikmah ini menekankan bahwa kebahagiaan dan kenyamanan sejati seorang pendidik atau penuntut ilmu tidak terletak pada berhentinya aktivitas, tetapi pada keberlanjutan upaya menyampaikan ilmu yang bermanfaat. Beliau mengajak kita untuk memahami kehidupan sebagai ladang pengabdian yang bermakna, terutama dalam konteks berbagi ilmu.

Makna pertama dari kalam hikmah ini adalah bahwa ilmu adalah cahaya yang harus disebarkan. Seseorang yang memiliki ilmu sejatinya tidak akan merasa tenang jika ilmunya tidak bermanfaat bagi orang lain. Mengajar bukan sekadar tugas formal, tetapi bentuk ibadah dan panggilan hati yang memberikan ketenangan batin. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw. “خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ” (Khairun-nāsi anfa’uhum lin-nāsi/Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain). Dalam pengajaran, seseorang tidak hanya berbagi pengetahuan, tetapi juga membangun manusia dan menanamkan nilai-nilai kebaikan yang dapat diwariskan. 

Kedua, kalam hikmah ini mengajarkan bahwa keistirahatannya seorang pecinta ilmu terletak pada keberlanjutan amalnya. Orang yang mencintai ilmu dan pengajaran tidak memandang duduk diam sebagai istirahat, karena hati mereka justru merindukan aktivitas yang memberi manfaat. Dalam mengajar, mereka menemukan ketenangan karena dapat melibatkan diri dalam proses transformasi kehidupan orang lain. Mengajar bukan sekadar pekerjaan, melainkan juga cara untuk memperbaharui semangat dan menghidupkan jiwa.

Ketiga, nasihat ini mencerminkan pentingnya keikhlasan dalam mengajar. Seseorang yang mengajar dengan niat untuk beribadah kepada Allah Swt. tidak akan merasa lelah, karena ia memahami bahwa aktivitas tersebut adalah bagian dari pengabdian kepada-Nya. Keikhlasan menjadikan setiap peluh dalam mengajar menjadi amal yang bernilai pahala, sehingga justru terasa sebagai istirahat dari kelelahan duniawi. Dalam mengajar, ada rasa kedekatan dengan Allah yang memberikan ketenangan jiwa.

Keempat, kalam hikmah ini juga menyoroti nilai kesungguhan dalam menuntut ilmu dan menyebarkannya. Orang yang serius dalam mengajar tidak akan merasa bosan, karena mereka tahu bahwa ilmu adalah amanah yang harus diteruskan. Mereka menyadari bahwa waktu yang dimiliki sangat berharga, sehingga tidak ingin menyia-nyiakannya dengan duduk tanpa aktivitas. Dalam Islam, ilmu diibaratkan seperti air mengalir; jika tidak dibagikan, ia akan kehilangan manfaatnya.

Kelima, nasihat ini menginspirasi kita untuk melihat keberkahan dalam proses mengajar. Ketika seseorang menyampaikan ilmu, ia sejatinya sedang memperpanjang usianya di dunia ini. Ilmu yang diajarkan dengan ikhlas akan terus mengalirkan pahala meskipun orang yang mengajarnya telah tiada. Inilah yang disebut dengan amal jariyah, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. “إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ” (Idzā māta ibnu Ādama inqatha’a ‘anhu ‘amaluhu illā min tsalātsin: shadaqatin jāriyatin, au ‘ilmin yuntafa’u bihi, au waladin shālihin yad’ū lahu/Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya).

Keenam, kalam hikmah ini juga mengajarkan pentingnya menghidupkan tradisi ilmu di tengah masyarakat. Dengan mengajar, seseorang tidak hanya membangun individu tetapi juga membentuk komunitas yang lebih baik. Masyarakat yang dipenuhi dengan aktivitas belajar dan mengajar adalah masyarakat yang dinamis, bersemangat, dan memiliki visi yang jelas untuk masa depan. Dalam suasana seperti inilah, keberkahan Allah akan turun dan rahmat-Nya akan melimpah.

Akhirnya, kalam hikmah ini mengajarkan kepada kita bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang diisi dengan memberi. Mengajar bukan sekadar menyampaikan ilmu, tetapi juga menanamkan kebaikan, membangun peradaban, dan mewariskan nilai-nilai yang abadi. Maka, jika seseorang merasa lelah dalam mengajar, hendaklah ia mengingat bahwa lelahnya adalah bukti cinta kepada ilmu, kepada umat, dan kepada Allah Swt. Inilah keistirahatannya para pecinta ilmu sejati, bukan dalam diam, tetapi dalam aktivitas yang membawa manfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cinta yang Menyesuaikan Diri: Kunci Harmoni dalam Rumah Tangga

Ungkapan " Termasuk kunci langgeng rumah tangga, istri (wanita) harus menyesuaika...