Halaman

Jumat, 07 Februari 2025

Menjalin Cinta dan Iman: 4 Pilar Harmoni dalam Pernikahan

 

Tulisan ini hadir sebagai ‘kado pernikahan’ untuk Ustadz Muhammad Luthfi Lc, (putra dari almarhum Bapak Mardjuki & Ibu Hj. Zumrotul Alfiyah, S.Pd) dengan Ustadzah Afifah Akmalia, M.Pd (putri dari Bapak Ahmad Wahyudi, S.Pd & Ibu Hj. Laily Fuadah, S.Ag) yang dilaksanakan pada hari Jum’at, 7 Februari 2025 dan bertempat di halaman PP Hidayatul Mubtadiin Tasikmadu Malang. Setidaknya ‘kado pernikahan’ ini diharapkan bisa menjadi kompas kehidupan berumah tangga, sehingga nantinya tercipta rumah tangga yang tentram/harmonis (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan penuh kasih sayang (rahmah).

Pernikahan dalam Islam bukan sekadar ikatan lahiriah antara dua insan, melainkan sebuah perjanjian sakral yang membawa makna spiritual, sosial, dan moral yang mendalam. Kata نِكَاحٌ (nikāh), jika dianalisis berdasarkan huruf-hurufnya (walaupun ada analisis yang lain), mencerminkan 4 pilar utama yang membangun rumah tangga: نِعْمَةٌ (ni’mah/kenikmatan), كَرَامَةٌ (karāmah/kemuliaan), أَمَانَةٌ (amānah/amanah), dan حِكْمَةٌ (hikmah/kebijaksanaan). Keempat konsep ini merupakan fondasi dalam menjalani kehidupan pernikahan agar harmonis, penuh berkah, dan diridai Allah Swt.

Pertama, pernikahan adalah kenikmatan (نِعْمَةٌ) yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia. Nikmat dalam pernikahan tidak hanya sebatas kenikmatan fisik, tetapi juga mencakup ketenangan jiwa, kebersamaan, dan kasih sayang yang diberikan oleh pasangan. Allah berfirman dalam Al-Qur'an, وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ (Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājan li taskunū ilaihā wa ja’ala bainakum mawaddatan wa rahmatan, inna fī dzālika laāyātin li qaumin yatafakkarūna) “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar-Rūm: 21). Ini menunjukkan bahwa pernikahan adalah anugerah yang harus disyukuri dengan menjaga keharmonisan, keintiman, dan kebersamaan dalam rumah tangga.

Kedua, pernikahan membawa kemuliaan (كَرَامَةٌ) bagi laki-laki maupun perempuan. Islam menjunjung tinggi martabat suami dan istri dalam pernikahan yang sah. Rasulullah Saw. bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ (Yā ma’syaras-syabābi, man-istathā’a minkumul-bāata fal-yatazawwaj, fainnahu aghaddlu lil-bashari wa ahshanu lil-farji) “Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian telah mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan” (HR. Al-Bukhari & Muslim). Melalui pernikahan, seseorang dapat menjaga kehormatan diri, menjauhi maksiat, dan membangun kehidupan yang lebih terhormat dalam masyarakat. Kemuliaan dalam rumah tangga juga tercermin dalam sikap saling menghormati antara suami dan istri, serta mendidik anak-anak dengan akhlak yang luhur.

Ketiga, pernikahan adalah sebuah amanah (أَمَانَةٌ) yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Suami memiliki kewajiban untuk menafkahi, melindungi, dan membimbing keluarganya, sementara istri bertanggung jawab dalam menjaga keharmonisan rumah tangga serta mendidik anak-anak dengan baik. Rasulullah Saw. bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (Kullukum rā’in wa kullukum masūlun ‘an ra’iyyatihi, fal-imāmu rā’in wa masūlun ‘an ra’iyyatihi, war-rajulu rā’in fī ahlihi wa huwa masūlun ‘an ra’iyyatihi, wal-mar’atu rā’iyatun fī baiti zaujihā wa masūlatun ‘an ra’iyyatihā, wal-khādimu rā’in fī māli sayyidihi wa huwa masūlun ‘an ra’iyyatihi, fa kullukum rā’in wa kullukum masūlun ‘an ra’iyyatihi) Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang pemimpin adalah pemimpin atas rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Seorang pembantu adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Maka setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Al-Bukhari & Muslim). Amanah ini menuntut suami dan istri untuk menjalankan perannya dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan komitmen agar rumah tangga tetap kokoh dan harmonis.

Keempat, rumah tangga yang kuat dibangun dengan kebijaksanaan (حِكْمَةٌ) dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Tidak semua perjalanan pernikahan berjalan mulus, ada saat-saat sulit yang menguji kesabaran dan kedewasaan pasangan. Kebijaksanaan dalam rumah tangga berarti mampu menyelesaikan konflik dengan kepala dingin, mengutamakan komunikasi yang baik, dan mencari solusi yang terbaik tanpa mengedepankan ego. Rasulullah Saw. mencontohkan bagaimana beliau selalu bersikap lembut dan bijaksana terhadap istri-istrinya, sehingga rumah tangga beliau penuh dengan keteladanan dan kasih sayang.

Ketika keempat pilar ini (kenikmatan, kemuliaan, amanah, dan kebijaksanaan) diterapkan dalam kehidupan rumah tangga, maka pernikahan akan menjadi ladang ibadah yang membawa keberkahan. Suami dan istri tidak hanya hidup bersama, tetapi juga tumbuh bersama dalam keimanan dan ketakwaan. Mereka saling mendukung dalam kebaikan, membimbing satu sama lain menuju ridha Allah, dan menjadikan rumah tangga sebagai tempat yang penuh cinta dan keberkahan.

Lebih dari sekadar hubungan duniawi, pernikahan dalam Islam adalah jalan menuju surga. Rasulullah Saw. bersabda, إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ (Idzā shallatil-mar’atu khamsahā, wa shāmat syahrahā, wa hafidhat farjahā, wa athā’at zaujahā, qīla lahā: udkhulīl-jannata min ayyi abwābil-jannati syi’ti) “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya, dan menaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki” (HR. Ahmad). Demikian pula seorang suami yang bertanggung jawab terhadap keluarganya akan mendapatkan pahala besar di sisi Allah.

Dengan memahami filosofi نِكَاحٌ (nikāh), setiap pasangan dapat lebih menghargai pernikahan sebagai sebuah perjalanan suci yang harus dijaga dan diperjuangkan. Rumah tangga yang dibangun atas dasar nikmat, kemuliaan, amanah, dan kebijaksanaan akan menjadi sumber kebahagiaan di dunia serta ladang amal menuju kehidupan yang lebih mulia di akhirat. Bārakallah laka, wa bāraka ‘alaika, wa jama’a bainakumā fī khairin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hidup Bermakna, Hidup Bahagia: Filosofi Menjadi Pribadi yang Berdampak

Ucapan Anies Rasyid Baswedan “ Kebahagiaan sejati itu datang dari perasaan bahwa kita ...