Ucapan
hikmah dari Ibnu Rajab al-Hanbali, seorang ulama besar berbunyi:
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ
لَبِسَ الْجَدِيْدَ، إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ
تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوْبِ، إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْبُ
"Bukanlah
hari raya bagi siapa yang memakai pakaian baru, melainkan hari raya bagi siapa
yang ketaatannya bertambah. Dan bukanlah hari raya bagi siapa yang berhias
dengan pakaian dan kendaraan, melainkan hari raya bagi siapa yang dosa-dosanya
diampuni".
Ucapan ini mengandung
pesan spiritual yang sangat dalam, menuntun kita untuk memaknai hari raya (Idul
Fitri) bukan hanya sebagai momen perayaan lahiriah, tetapi sebagai momentum
peningkatan batiniah. Ibnu Rajab mengingatkan bahwa esensi hari raya bukan
terletak pada kemewahan penampilan, melainkan pada peningkatan kualitas
hubungan dengan Allah dan penghapusan dosa-dosa melalui ibadah yang diterima.
Dalam
realitas modern, hari raya seringkali dikaitkan dengan busana baru, makanan
lezat, liburan, dan media sosial, padahal hakikat hari raya dalam pandangan
ulama salaf adalah perayaan spiritual, buah dari perjuangan menundukkan hawa
nafsu selama bulan ibadah (Ramadan). Maka, ucapan Ibnu Rajab menjadi kritik
lembut bagi mereka yang merayakan lahir tanpa memaknai batin.
Ketika
seseorang berhasil meningkatkan ketaatannya kepada Allah, baik melalui puasa, shalat
malam, sedekah, atau tobat yang tulus, maka dia telah menyentuh inti dari
"hari raya". Hari kemenangan sejati bukanlah saat mengenakan yang
baru, tapi saat jiwa menjadi baru. Oleh karena itu, orang yang taat lebih
layak bergembira daripada mereka yang hanya berhias secara fisik tanpa bekal
ruhani.
Bagian
kedua dari ucapan itu, "bukan hari raya bagi yang berhias dengan pakaian
dan kendaraan . . .", menunjukkan bahwa simbol status sosial dan
penampilan luar bukan ukuran kemuliaan di sisi Allah. Yang lebih utama adalah
mereka yang mendapatkan ampunan, karena ampunan Allah adalah modal utama
keselamatan dunia dan akhirat. Allah berfirman: اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ مَقَامٍ اَمِيْنٍ "Sesungguhnya
orang-orang yang bertakwa itu berada dalam tempat yang aman" (QS.
Ad-Dukhān: 51).
Ucapan
ini juga mengajarkan bahwa hari raya adalah ujian kesyukuran. Apakah kita tetap
tawadhu (rendah hati) dan menjaga ibadah setelah Ramadan? Apakah euforia
hari raya membuat kita lupa pada zikir dan tilawah? Orang yang tidak menjaga
ibadah setelah Ramadan ibarat petani yang lupa memanen setelah bercocok tanam.
Maka, hari raya sejati adalah saat kita memetik buah dari amal saleh yang kita
tanam.
Inspirasi
dari Ibnu Rajab juga mengajarkan bahwa tidak semua yang merayakan Idul Fitri
adalah "pemenang". Yang benar-benar menang adalah mereka yang hatinya
lembut, lisannya bersih, amalnya bertambah, dan jiwanya merasa dekat dengan Allah.
Seperti kata ulama salaf: كُلُّ يَوْمٍ
لَا يُعْصَى اللَّهُ فِيْهِ فَهُوَ عِيْدٌ "Setiap hari
yang tidak dipakai untuk maksiat adalah hari raya." Maka, kita bisa
menjadikan setiap hari sebagai "Idul Fitri" selama kita menjaga diri
dalam ketaatan.
Akhirnya,
marilah kita maknai hari raya dengan rasa syukur, kerendahan hati, dan semangat
memperbaiki diri. Jangan sampai kita termasuk orang yang bersuka cita dengan
jasad, tetapi hatinya gersang dari zikir. Karena sesungguhnya, hari raya bukan
milik yang berpakaian indah, melainkan milik mereka yang hidup dalam ampunan
dan berada di jalan kebaikan. Itulah makna mendalam dari kalimat bijak Ibnu
Rajab yang layak menjadi renungan kita setiap tahun.
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ صَالِحَ الْأَعْمَالِ،
وَجَعَلَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ،
وَكُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ
“Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1446 H/31 Maret 2025 M
Mohon Maaf Lahir dan Batin atas Segala Kesalahan”