Hadis
yang berbunyi "مَنْ قَامَ لَيْلَتَيِ الْعِيْدَيْنِ مُحْتَسِبًا
لِلَّهِ، لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ"
yang artinya "Barang siapa menghidupkan malam dua hari raya (Idul Fitri
dan Idul Adha) dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka
hatinya tidak akan mati pada hari ketika hati-hati manusia mati"
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Hadis ini mengandung pesan
spiritual yang mendalam tentang pentingnya menjaga kesadaran rohani bahkan di
saat kebanyakan manusia sibuk dalam kegembiraan duniawi. Hari raya bukan hanya
tentang perayaan lahiriah, tapi juga momentum penguatan batin.
Menghidupkan
malam hari raya (qiyam al-lail fî laylat al-‘id) berarti tidak hanya
berjaga tanpa tujuan, tetapi mengisinya dengan ibadah seperti bertakbir, shalat
malam, zikir, membaca Al-Qur’an, atau merenungi nikmat Allah. Rasulullah Saw. memberikan
jaminan spiritual: siapa yang mengisi malam tersebut dengan niat yang lurus dan
harapan pahala dari Allah, maka hatinya akan tetap hidup, yakni tetap lembut, peka,
dan terpaut pada kebaikan, pada hari yang sangat dahsyat, yaitu hari kiamat,
saat banyak hati dalam kegelisahan dan ketakutan.
Kalimat
" لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ" (hatinya tidak akan mati pada hari ketika hati-hati
manusia mati) merupakan metafora yang kuat. Pada hari kiamat, banyak manusia
kehilangan harapan dan kebingungan, namun orang yang hatinya terjaga di dunia
akan tetap teguh karena telah terbiasa dekat dengan Allah. Hati yang hidup
adalah hati yang mengenal Allah, mencintai kebenaran, dan tidak terpikat oleh
kesenangan sesaat. Inilah buah dari ibadah yang dilakukan secara konsisten,
bahkan pada malam yang dianggap penuh kesenangan duniawi seperti malam hari
raya.
Hadis ini juga menjadi pengingat bahwa ibadah bukan hanya di bulan Ramadan atau pada hari-hari tertentu, melainkan bagian dari gaya hidup seorang Muslim. Bahkan saat Idul Fitri dan Idul Adha (dua momen besar dalam Islam yang sarat dengan kegembiraan) Rasulullah Saw. tetap mengajak umatnya untuk menyambutnya dengan kekhusyukan, bukan sekadar euforia. Menghidupkan malam hari raya adalah simbol bahwa kegembiraan kita tetap berdampingan dengan ketundukan kepada Allah.
Dengan memahami hadis ini, kita diajak untuk melihat hari raya bukan hanya sebagai akhir dari ibadah, tetapi permulaan dari hidup baru yang lebih bertakwa. Malam sebelum hari raya adalah malam penuh potensi pahala dan kekuatan rohani, yang sayang jika dilewatkan. Semoga kita termasuk hamba-hamba yang hatinya senantiasa hidup (baik di dunia maupun di akhirat) karena terus terhubung dengan cahaya keimanan dan amal saleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar