Halaman

Rabu, 26 Maret 2025

Menghidupkan Malam, Menggapai Ampunan: Refleksi Hadis Nabi di Pengujung Ramadan

 

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari ini mengisahkan bagaimana Rasulullah Saw. memperlakukan sepuluh malam terakhir bulan Ramadan dengan penuh kesungguhan dan kekhusyukan. Sabda beliau: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ (Dahulu Nabi Muhammad Saw. apabila memasuki sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan, beliau mengencangkan ikatan sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan istrinya). Ini bukan hanya gambaran amaliah ibadah Nabi, tetapi juga sebuah ajakan dan teladan untuk kita semua agar tidak menyia-nyiakan waktu-waktu paling mulia di bulan suci Ramadan.

Ungkapan “mengencangkan ikatan sarungnya” oleh para ulama ditafsirkan sebagai simbol kesungguhan dan kesiapan total dalam beribadah, bahkan sebagian ulama menafsirkannya sebagai bentuk menjauhi hubungan suami-istri agar bisa lebih fokus dalam mendekatkan diri kepada Allah. Ini menunjukkan betapa Nabi Saw. memberikan perhatian penuh terhadap sepuluh malam terakhir, karena di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadr, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah Saw. mengajarkan kepada umatnya bahwa puncak perjuangan rohani di bulan Ramadan ada pada detik-detik terakhirnya, bukan di awal atau tengah saja.

Paragraf berikutnya menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. “menghidupkan malamnya”, yang berarti beliau memperbanyak ibadah seperti salat malam (qiyamul lail), membaca Al-Qur’an, berzikir, dan berdoa. Ini menjadi teladan bagi umat Islam bahwa waktu malam, terutama di sepuluh malam terakhir, adalah momen spiritual yang sangat bernilai. Nabi tidak sekadar melakukan ibadah secara biasa, tetapi benar-benar “menghidupkan” malam, menjadikannya penuh makna dan cahaya kebaikan. Hal ini sekaligus membantah kebiasaan sebagian orang yang justru lebih banyak menghabiskan malam Ramadan dengan hal-hal yang melalaikan.

Yang menarik, Rasulullah Saw. juga “membangunkan istrinya” untuk turut serta dalam ibadah malam. Ini menunjukkan bahwa ibadah bukanlah sesuatu yang dilakukan secara individual semata, tetapi juga melibatkan keluarga. Nabi mengajarkan pentingnya membangun rumah tangga yang mendekatkan diri kepada Allah, terlebih pada malam-malam yang mulia. Membangunkan istri atau keluarga bukan sekadar untuk bersama-sama beribadah, tetapi juga sebagai bentuk cinta sejati, mengajak orang tercinta menuju ampunan dan pahala dari Allah.

Hadis ini menjadi sumber inspirasi besar bagi umat Islam, bahwa keberkahan Ramadan tak hanya terletak pada puasa siangnya, tetapi juga pada ibadah malamnya, terutama di sepuluh malam terakhir. Di saat sebagian orang mulai lelah dan kendur semangatnya, Rasulullah Saw. justru menambah intensitas ibadahnya. Ini mengajarkan kita untuk tidak menyerah dalam kebaikan, untuk selalu berjuang hingga akhir, dan menggapai malam Lailatul Qadr dengan hati yang bersih dan ibadah yang ikhlas. Maka, mari kita teladani semangat Rasulullah Saw., karena siapa tahu, justru di malam terakhir itulah ampunan Allah turun dan menghapus seluruh dosa kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mimpi Tinggi, Hidup Bermakna: Menemukan Nilai dalam Tujuan yang Mulia

Ucapan H. Anies Rasyid Baswedan, S.E., M.P.P., Ph.D., “ Tinggikan mimpimu, tidak khawa...