Hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari ini mengisahkan bagaimana Rasulullah
Saw. memperlakukan sepuluh malam terakhir bulan Ramadan dengan penuh
kesungguhan dan kekhusyukan. Sabda beliau: كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا
لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
(Dahulu Nabi Muhammad Saw. apabila
memasuki sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan, beliau mengencangkan ikatan
sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan istrinya). Ini bukan
hanya gambaran amaliah ibadah Nabi, tetapi juga sebuah ajakan dan teladan untuk
kita semua agar tidak menyia-nyiakan waktu-waktu paling mulia di bulan suci
Ramadan.
Ungkapan
“mengencangkan ikatan sarungnya” oleh para ulama ditafsirkan sebagai simbol
kesungguhan dan kesiapan total dalam beribadah, bahkan sebagian ulama
menafsirkannya sebagai bentuk menjauhi hubungan suami-istri agar bisa lebih fokus
dalam mendekatkan diri kepada Allah. Ini menunjukkan betapa Nabi Saw. memberikan
perhatian penuh terhadap sepuluh malam terakhir, karena di dalamnya terdapat
malam Lailatul Qadr, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah
Saw. mengajarkan kepada umatnya bahwa puncak perjuangan rohani di bulan Ramadan
ada pada detik-detik terakhirnya, bukan di awal atau tengah saja.
Paragraf
berikutnya menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. “menghidupkan malamnya”, yang
berarti beliau memperbanyak ibadah seperti salat malam (qiyamul lail),
membaca Al-Qur’an, berzikir, dan berdoa. Ini menjadi teladan bagi umat Islam
bahwa waktu malam, terutama di sepuluh malam terakhir, adalah momen spiritual
yang sangat bernilai. Nabi tidak sekadar melakukan ibadah secara biasa, tetapi benar-benar
“menghidupkan” malam, menjadikannya penuh makna dan cahaya kebaikan. Hal ini
sekaligus membantah kebiasaan sebagian orang yang justru lebih banyak
menghabiskan malam Ramadan dengan hal-hal yang melalaikan.
Yang menarik, Rasulullah Saw. juga “membangunkan istrinya” untuk turut serta dalam ibadah malam. Ini menunjukkan bahwa ibadah bukanlah sesuatu yang dilakukan secara individual semata, tetapi juga melibatkan keluarga. Nabi mengajarkan pentingnya membangun rumah tangga yang mendekatkan diri kepada Allah, terlebih pada malam-malam yang mulia. Membangunkan istri atau keluarga bukan sekadar untuk bersama-sama beribadah, tetapi juga sebagai bentuk cinta sejati, mengajak orang tercinta menuju ampunan dan pahala dari Allah.
Hadis ini menjadi sumber inspirasi besar bagi umat Islam, bahwa keberkahan Ramadan tak hanya terletak pada puasa siangnya, tetapi juga pada ibadah malamnya, terutama di sepuluh malam terakhir. Di saat sebagian orang mulai lelah dan kendur semangatnya, Rasulullah Saw. justru menambah intensitas ibadahnya. Ini mengajarkan kita untuk tidak menyerah dalam kebaikan, untuk selalu berjuang hingga akhir, dan menggapai malam Lailatul Qadr dengan hati yang bersih dan ibadah yang ikhlas. Maka, mari kita teladani semangat Rasulullah Saw., karena siapa tahu, justru di malam terakhir itulah ampunan Allah turun dan menghapus seluruh dosa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar