Hadis
dari Ibnu Umar ra. yang berkata bahwa ada beberapa orang dari sahabat Nabi yang
diperlihatkan Lailatul Qadar dalam mimpi mereka pada tujuh hari terakhir. Maka
Rasulullah Saw. bersabda, أَرَى رُؤْيَاكُمْ
قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيْهَا فَلْيَتَحَرَّهَا
فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ “Aku melihat bahwa mimpi kalian jatuh
pada tujuh malam terakhir, maka siapa yang ingin mencarinya, hendaklah ia
mencarinya pada tujuh malam terakhir (dari bulan Ramadan)”. Hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari ini
menyingkapkan salah satu dimensi spiritual yang istimewa dalam bulan Ramadan,
yakni keutamaan tujuh malam terakhir sebagai waktu yang sangat potensial untuk
mendapatkan Lailatul Qadar. Hadis ini bermula dari mimpi-mimpi para sahabat
Nabi yang secara serempak menunjukkan tanda-tanda Lailatul Qadar terjadi pada
rentang waktu tujuh malam terakhir. Rasulullah Saw., sebagai pemimpin ruhani
umat, tidak serta-merta menafikan mimpi mereka, tetapi justru menguatkan dan
mengarahkan: "Barang siapa ingin mencarinya, hendaklah ia
mencarinya pada tujuh malam terakhir."
Ini menunjukkan bahwa mimpi yang benar dapat menjadi salah satu bentuk isyarat
Ilahi bagi orang-orang saleh.
Hadis
ini sangat inspiratif karena menunjukkan bahwa pencarian Lailatul Qadar bukanlah
sebuah misteri yang membuat orang pasif, melainkan dorongan untuk
bersungguh-sungguh. Rasulullah Saw. tidak menyebutkan tanggal pastinya, tetapi
memberi panduan: fokuskan pencarian pada tujuh malam terakhir. Hal ini
menciptakan suasana penuh harap dan kesungguhan, di mana setiap malam dipenuhi
ibadah, doa, introspeksi, dan harapan akan perjumpaan dengan malam yang lebih
baik dari seribu bulan. Maka, umat Islam tidak sekadar “menunggu keajaiban”,
melainkan menjemputnya dengan usaha yang tulus dan tekun.
Menariknya,
hadis ini juga menunjukkan kebersamaan spiritual antara Nabi dan para sahabat.
Mereka bukan hanya berkumpul untuk ibadah, tetapi juga saling berbagi
pengalaman ruhani, seperti mimpi. Rasulullah tidak menutup ruang bagi mimpi
yang benar, bahkan memvalidasinya selama tidak bertentangan dengan wahyu. Ini
menunjukkan bahwa dalam kehidupan spiritual Islam, ada ruang bagi pengalaman
batin dan intuisi yang sehat, terutama jika disertai dengan kesalehan dan
keikhlasan.
Dalam
konteks kehidupan kita hari ini, hadis ini menjadi pengingat bahwa pencarian
spiritual memerlukan niat dan waktu yang fokus. Kita hidup di tengah hiruk
pikuk dunia yang penuh gangguan, dan Ramadan memberi kita oase untuk
kembali kepada Allah secara total. Tujuh malam terakhir adalah saat di mana
kita diajak untuk berhenti sejenak dari urusan duniawi, dan menghidupkan malam
dengan zikir, shalat malam, membaca Al-Qur’an, dan doa-doa yang penuh harap.
Karena bisa jadi, di salah satu malam itu, Allah menetapkan perubahan besar
dalam hidup kita berupa ampunan, petunjuk, atau bahkan takdir baru yang membawa
kebaikan abadi.
Hadis ini juga mengajarkan nilai ikhtiar dan tawakal. Kita tidak tahu kapan tepatnya Lailatul Qadar, tetapi dengan berusaha maksimal di tujuh malam terakhir, kita menunjukkan kesiapan hati dan ketaatan. Allah menyukai hamba yang bersungguh-sungguh dalam mencari ridha-Nya. Maka, siapa pun kita, seberapa pun masa lalu kita, tujuh malam terakhir Ramadan adalah waktu untuk kembali, memperbaiki diri, dan meminta segalanya kepada Allah. Tidak ada permintaan yang terlalu besar bagi malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Akhirnya, hadis ini menanamkan optimisme dan semangat. Rasulullah Saw. memberi arahan yang jelas agar umatnya tidak melewatkan kesempatan emas ini. Kita tidak pernah tahu apakah Ramadan tahun ini akan menjadi Ramadan terakhir kita. Maka mari kita jadikan tujuh malam terakhir ini sebagai medan perjuangan spiritual, tempat kita menuangkan seluruh cinta, harap, dan tobat kepada Allah. Barangkali di salah satu malam itu, doa-doa kita menembus langit, dan hidup kita berubah selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar