Kisah
Sayyidah Aisyah radhiyallahu 'anha yang bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang
apa yang sebaiknya diucapkan saat menyambut malam Lailatul Qadar adalah
pelajaran berharga bagi umat Islam dalam meraih keberkahan malam yang lebih
baik dari seribu bulan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh lima imam hadis
kecuali Imam Abu Dawud, disebutkan bahwa Sayyidah Aisyah radhiyallahu 'anha
berkata, "Wahai Rasulullah, jika aku mengetahui malam Lailatul Qadar,
apa yang harus aku ucapkan?" Rasulullah Saw. menjawab dengan kalimat
yang singkat namun sarat makna: اللَّهُمَّ
إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي "Ya
Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan menyukai pemaafan, maka maafkanlah
aku."
Doa
yang diajarkan Rasulullah Saw. ini menunjukkan bahwa inti dari Lailatul Qadar
bukan hanya soal beribadah sebanyak mungkin, tetapi juga tentang memohon
ampunan dan pembersihan jiwa. Dalam banyak riwayat, malam ini adalah malam di
mana catatan takdir diturunkan, malaikat turun ke bumi, dan kedamaian tersebar
hingga terbit fajar. Maka, ketika kita memohon ampunan, kita sedang berusaha
membersihkan diri agar layak menerima takdir yang baik dan rahmat dari Allah.
Penggunaan
kata "عَفُوٌّ"
(Afuww) dalam doa ini sangat menarik. Allah memiliki banyak nama
yang berkaitan dengan pengampunan, seperti Al-Ghaffar (Maha Pengampun), At-Tawwab
(Maha Penerima Tobat), dan Al-‘Afuww (Maha Pemaaf). Namun Rasulullah
Saw. memilih kata Al-‘Afuww, yang maknanya lebih dalam dari sekadar
mengampuni. Al-‘Afuww berarti menghapus dosa secara total, seolah-olah
tidak pernah terjadi. Ini menunjukkan bahwa pada malam Lailatul Qadar, kita
tidak hanya meminta agar dosa kita diampuni, tetapi agar jejak dosa itu
benar-benar dihapus dari catatan amal kita.
Doa
ini juga mencerminkan kelembutan dalam hubungan antara hamba dan Tuhannya.
Dengan menyebut bahwa Allah "menyukai pemaafan", kita diajarkan bahwa
Allah bukan hanya Maha Kuasa dalam mengampuni, tetapi juga mencintai perbuatan
memberi maaf. Maka dari itu, kita pun dianjurkan untuk tidak hanya meminta
ampun kepada Allah, tetapi juga meneladani sifat ini dalam kehidupan sosial
yaitu memaafkan kesalahan orang lain sebagaimana kita berharap Allah memaafkan
kita.
Kisah ini juga menunjukkan betapa Sayyidah Aisyah radhiyallahu 'anha adalah sosok yang cerdas dan berhati lembut. Ia tidak bertanya tentang tanda-tanda Lailatul Qadar, melainkan langsung bertanya apa yang sebaiknya ia ucapkan saat malam itu datang. Ini mencerminkan kesadaran spiritual yang tinggi: bahwa yang terpenting bukan mengetahui kapan malam itu terjadi, melainkan bagaimana memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Maka, bagi kita pun, fokus utama saat Ramadan terutama pada 10 malam terakhir adalah memperbanyak doa, zikir, dan permohonan ampunan.
Akhirnya, doa ini adalah permohonan paling dalam dan paling manusiawi: kita adalah hamba yang penuh kekurangan, dan hanya dengan pemaafan Allah-lah kita dapat meraih keselamatan. Maka, di malam-malam terakhir Ramadan, mari kita panjatkan doa ini dengan sepenuh hati. Ucapkan kalimat indah tersebut bukan hanya dengan lisan, tetapi dengan jiwa yang benar-benar mengharapkan penghapusan dosa dan pembaruan hati. Semoga kita menjadi bagian dari mereka yang mendapatkan Lailatul Qadar dan keluar dari Ramadan dalam keadaan bersih dan dicintai Allah.
Semangat Pak Dosen
BalasHapusTerima kasih Mas Khoiruman. Berkah dan sukses untuk semua, aamiin.
BalasHapus