Halaman

Jumat, 28 Maret 2025

Zakat Fitrah, Jejak Terakhir Menuju Penerimaan Ilahi

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Dailami, إِنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، وَلَا يُرْفَعُ إِلَى اللهِ إِلَّا بِزَكَاةِ الْفِطْرِBulan Ramadan tergantung antara langit dan bumi, dan tidak akan diangkat kepada Allah kecuali dengan zakat fitrah” mengandung pesan spiritual yang sangat dalam mengenai kesempurnaan ibadah Ramadan. Hadis ini menunjukkan bahwa puasa dan ibadah selama Ramadan belum sempurna atau belum “terangkat” kepada Allah Swt. sebelum ditunaikannya zakat fitrah. Dengan kata lain, zakat fitrah adalah penyempurna sekaligus penyegel amal Ramadan, yang menjadikan seluruh ibadah di bulan suci itu diterima dengan utuh oleh Allah.

Zakat fitrah bukan sekadar kewajiban sosial, tetapi juga ibadah ruhani yang mengandung makna pembersihan dan pensucian diri. Dalam konteks hadis ini, Ramadan yang penuh dengan ibadah seperti puasa, salat malam, tilawah, dan sedekah, masih belum mencapai langit (tempat diterimanya amal) sebelum seseorang mengeluarkan zakat fitrah. Artinya, meskipun seseorang telah beribadah sekuat tenaga, bila ia mengabaikan zakat fitrah, maka ibadah itu seperti "tergantung", belum sampai ke hadirat Ilahi secara sempurna.

Zakat fitrah memiliki dimensi yang sangat luhur: ia menyucikan jiwa dari kesalahan selama berpuasa dan sekaligus memberikan kebahagiaan kepada kaum fakir di hari raya. Rasulullah Saw. menyebut zakat fitrah sebagai "طُهْرَةٌ لِلصَّائِمِ" (penyucian bagi orang yang berpuasa). Ini menunjukkan bahwa selama Ramadan, mungkin kita lalai, berbuat salah, atau tidak sepenuhnya khusyuk. Maka zakat fitrah hadir sebagai bentuk istighfar sosial, pengakuan atas kekurangan kita yang disempurnakan dengan memberi kepada yang membutuhkan.

Hadis ini juga menggugah kesadaran bahwa ibadah dalam Islam selalu mengandung dua dimensi: vertikal (habl min Allah) dan horizontal (habl min al-nas). Ramadan adalah bulan pembinaan spiritual, tetapi puncaknya adalah bagaimana hasil ibadah itu menjelma dalam kepedulian kepada sesama. Maka zakat fitrah menjadi simbol bahwa ibadah kita tidak boleh hanya “terasa” oleh diri sendiri, tapi juga harus “berdampak” bagi orang lain. Inilah keindahan Islam: spiritualitas dan solidaritas berjalan seiring.

Dalam konteks sosial, zakat fitrah menjamin bahwa tidak ada orang yang kelaparan atau merasa kesepian di hari kemenangan. Ia menyatukan umat dalam kebahagiaan dan saling memberi. Dengan zakat fitrah, yang kaya merendahkan diri untuk peduli, dan yang miskin merasa dihargai dan dilibatkan dalam suasana Idulfitri. Maka tidak heran jika zakat fitrah menjadi penentu “pengangkatan” amal Ramadan, karena ia menjadikan ibadah itu hidup, nyata, dan berdampak.

Akhirnya, hadis ini mengingatkan kita untuk tidak meremehkan hal-hal yang mungkin dianggap “kecil” tapi memiliki makna besar. Zakat fitrah, walau nilainya tidak seberapa dibanding amalan Ramadan lainnya, justru menjadi kunci penerimaan amal. Ibarat amplop bagi surat, zakat fitrah membungkus semua amalan Ramadan dan menyerahkannya ke hadapan Allah dengan penuh keindahan. Maka jangan tunda, jangan lupa, tunaikan zakat fitrah dengan hati yang tulus dan niat yang bersih. Semoga dengan itu, Ramadan kita tidak lagi “menggantung”, tetapi naik ke langit sebagai amal yang diterima dan diberkahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mimpi Tinggi, Hidup Bermakna: Menemukan Nilai dalam Tujuan yang Mulia

Ucapan H. Anies Rasyid Baswedan, S.E., M.P.P., Ph.D., “ Tinggikan mimpimu, tidak khawa...