Halaman

Rabu, 09 April 2025

Hati yang Memaafkan, Jiwa yang Mengingat Allah

Ungkapan penuh hikmah, "Maafkanlah kesalahan orang lain, tutup aibnya dan lupakan. Tujuan kita hidup untuk beribadah dan mengingat Allah, bukan mengingat kesalahan orang lain," adalah nasihat yang sangat relevan untuk membentuk jiwa yang jernih dan hati yang bersih. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan lepas dari interaksi yang terkadang menimbulkan luka, kesalahpahaman, dan kecewa. Namun, alih-alih menyimpan dendam dan membuka aib, ungkapan inspiratif ini mengajak kita untuk kembali kepada inti dari keberadaan manusia: beribadah dan mengingat Allah.

Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman,

 خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ

"Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A’raf: 199). Ayat ini menjadi dasar kuat bahwa memaafkan adalah bagian dari akhlak orang beriman. Bukan hanya menunjukkan kemuliaan pribadi, memaafkan juga menjadi bentuk ibadah karena mengikis rasa dendam, iri, dan kebencian dari hati. Dengan memaafkan, kita sedang membebaskan diri kita sendiri dari beban emosi negatif yang merusak kedekatan kita dengan Allah.

Rasulullah Saw. juga memberikan teladan luar biasa dalam hal memaafkan. Beliau bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا

"Harta tidak akan berkurang karena sedekah, dan tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan." (HR. Muslim). Bahkan ketika disakiti, Nabi selalu memilih jalan pemaafan. Saat Fath Makkah (penaklukan kota Mekah) meski beliau berkuasa untuk membalas semua orang Quraisy yang dulu menyiksanya, beliau justru berkata, اِذْهَبُوْا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ "Pergilah, kalian semua bebas." Ini bukan kelemahan, tapi kekuatan spiritual tingkat tinggi. Pemaaf bukan berarti lemah, justru ia menandakan kematangan ruhani.

Menutupi aib orang lain juga termasuk perbuatan yang sangat dianjurkan. Nabi Muhammad Saw. bersabda,

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

"Barang siapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat." (HR. Muslim). Terlalu sibuk mengingat kesalahan dan membuka aib orang lain justru menjauhkan kita dari rahmat Allah. Hidup bukan untuk menjadi hakim atas kesalahan orang, melainkan menjadi hamba yang terus memperbaiki diri dan mendekat kepada Sang Pencipta.

Ungkapan inspiratif ini mengingatkan bahwa fokus hidup kita adalah ibadah dan zikir, bukan menyimpan rekaman atas setiap kesalahan orang lain. Semakin kita larut dalam mengingat luka dan keburukan orang, semakin kabur pula arah hidup kita. Sebaliknya, saat kita memilih untuk melupakan kesalahan dan memaafkan, kita sedang membersihkan hati agar lebih lapang untuk menerima cahaya Ilahi. Orang yang sibuk mengingat Allah tidak punya ruang untuk menyimpan dendam.

Akhirnya, nasihat ini adalah ajakan untuk hidup dengan hati yang ringan dan tujuan yang jernih. Maafkan, lupakan, tutupi, dan biarkan Allah yang mengurus segala urusan manusia. Kita hanya hamba, dan tugas utama kita bukan menjadi pengingat kesalahan, tapi penyebar kasih, penutup aib, dan pengingat Allah. Di situlah letak kemuliaan dan kebahagiaan sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mimpi Tinggi, Hidup Bermakna: Menemukan Nilai dalam Tujuan yang Mulia

Ucapan H. Anies Rasyid Baswedan, S.E., M.P.P., Ph.D., “ Tinggikan mimpimu, tidak khawa...