Ungkapan
penuh hikmah, "Maafkanlah kesalahan orang lain, tutup aibnya dan
lupakan. Tujuan kita hidup untuk beribadah dan mengingat Allah, bukan mengingat
kesalahan orang lain," adalah nasihat yang sangat relevan untuk
membentuk jiwa yang jernih dan hati yang bersih. Dalam kehidupan sehari-hari,
kita tidak akan lepas dari interaksi yang terkadang menimbulkan luka,
kesalahpahaman, dan kecewa. Namun, alih-alih menyimpan dendam dan membuka aib, ungkapan
inspiratif ini mengajak kita untuk kembali kepada inti dari keberadaan manusia:
beribadah dan mengingat Allah.
Dalam
Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
"Jadilah
pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A’raf: 199). Ayat ini menjadi
dasar kuat bahwa memaafkan adalah bagian dari akhlak orang beriman. Bukan hanya
menunjukkan kemuliaan pribadi, memaafkan juga menjadi bentuk ibadah karena
mengikis rasa dendam, iri, dan kebencian dari hati. Dengan memaafkan, kita
sedang membebaskan diri kita sendiri dari beban emosi negatif yang merusak
kedekatan kita dengan Allah.
Rasulullah
Saw. juga memberikan teladan luar biasa dalam hal memaafkan. Beliau bersabda:
مَا
نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا
عِزًّا
"Harta
tidak akan berkurang karena sedekah, dan tidaklah Allah menambah kepada seorang
hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan."
(HR. Muslim). Bahkan ketika disakiti, Nabi selalu memilih jalan
pemaafan. Saat Fath Makkah (penaklukan kota Mekah) meski beliau berkuasa
untuk membalas semua orang Quraisy yang dulu menyiksanya, beliau justru
berkata, اِذْهَبُوْا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ "Pergilah, kalian semua bebas." Ini bukan kelemahan, tapi kekuatan
spiritual tingkat tinggi. Pemaaf bukan berarti lemah, justru ia menandakan
kematangan ruhani.
Menutupi
aib orang lain juga termasuk perbuatan yang sangat dianjurkan. Nabi Muhammad
Saw. bersabda,
مَنْ
سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
"Barang
siapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia
dan akhirat." (HR. Muslim). Terlalu sibuk mengingat kesalahan
dan membuka aib orang lain justru menjauhkan kita dari rahmat Allah. Hidup
bukan untuk menjadi hakim atas kesalahan orang, melainkan menjadi hamba yang
terus memperbaiki diri dan mendekat kepada Sang Pencipta.
Ungkapan inspiratif ini mengingatkan bahwa fokus hidup kita adalah ibadah dan zikir, bukan menyimpan rekaman atas setiap kesalahan orang lain. Semakin kita larut dalam mengingat luka dan keburukan orang, semakin kabur pula arah hidup kita. Sebaliknya, saat kita memilih untuk melupakan kesalahan dan memaafkan, kita sedang membersihkan hati agar lebih lapang untuk menerima cahaya Ilahi. Orang yang sibuk mengingat Allah tidak punya ruang untuk menyimpan dendam.
Akhirnya, nasihat ini adalah ajakan untuk hidup dengan hati yang ringan dan tujuan yang jernih. Maafkan, lupakan, tutupi, dan biarkan Allah yang mengurus segala urusan manusia. Kita hanya hamba, dan tugas utama kita bukan menjadi pengingat kesalahan, tapi penyebar kasih, penutup aib, dan pengingat Allah. Di situlah letak kemuliaan dan kebahagiaan sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar