Dalam budaya Islam Jawa, ketupat
bukan hanya sekadar hidangan khas Idul Fitri, melainkan simbol yang kaya akan makna
spiritual dan sosial. Salah satu filosofi mendalam yang menyertainya adalah
konsep “Laku Papat” atau empat laku (tindakan) yang menjadi panduan kehidupan
setelah Ramadan. Konsep ini merupakan warisan kearifan lokal yang menggambarkan
nilai-nilai Islam dalam bentuk yang membumi dan menyentuh sisi kemanusiaan.
Keempat laku tersebut adalah: Laku Lebaran, Laku Luberan, Laku Leburan, dan
Laku Laburan, semuanya memiliki makna yang saling terhubung, membentuk siklus
penyucian jiwa dan pemulihan relasi sosial.
Laku Lebaran bermakna “usai
atau selesai”. Dalam konteks ini, Idul Fitri tidak hanya menandai berakhirnya
bulan puasa secara fisik, tetapi juga selesainya proses pembersihan diri secara
spiritual. Ramadan adalah bulan pembakaran hawa nafsu, dan Lebaran adalah momen
lahir kembali menuju fitrah. Laku Lebaran mengajarkan bahwa setiap manusia
memiliki titik tolak untuk berubah dan memperbaiki diri, dan hari kemenangan
ini adalah simbol dimulainya lembaran baru yang lebih bersih, jujur, dan penuh
semangat kebaikan.
Laku Luberan berasal dari
kata “meluber atau melimpah”. Filosofi ini mengajarkan pentingnya berbagi
rezeki dan kebaikan dengan sesama. Pada momen Idul Fitri, zakat fitrah,
sedekah, dan berbagai bentuk berbagi adalah perwujudan nyata dari laku ini. Ketupat
yang dibagikan ke tetangga dan kerabat bukan hanya simbol makanan, melainkan
ekspresi kasih sayang dan kepedulian sosial. Laku Luberan mengingatkan kita
bahwa keberkahan hidup akan melimpah ketika rezeki tidak dikumpulkan untuk diri
sendiri, tetapi dibagi dengan tulus kepada orang lain.
Laku Leburan bermakna “melebur
atau menghancurkan dosa dan kesalahan”. Inilah inti dari tradisi saling
memaafkan dalam Halal Bi Halal. Ketupat menjadi lambang dari “ngaku
lepat” (mengakui kesalahan), baik kepada Tuhan maupun sesama manusia. Dalam
momen ini, dinding kesombongan dan dendam diruntuhkan, digantikan dengan
keikhlasan dan kerendahan hati. Laku Leburan adalah ajakan untuk membersihkan
hati dari luka lama, memperbaiki relasi yang retak, dan memulai kembali dengan
jiwa yang lebih lapang.
Laku Laburan berasal dari kata labur yang berarti “memutihkan”. Ini adalah simbol dari niat menyucikan hati, seperti dinding yang dilabur kapur agar kembali bersih. Setelah melewati Lebaran, meluberkan kebaikan, dan meleburkan kesalahan, seseorang diajak untuk menjaga kebersihan hati dalam kehidupan sehari-hari. Laburan menjadi penegasan bahwa spiritualitas tidak berhenti pada seremonial, melainkan harus terus dijaga dalam perilaku, ucapan, dan niat. Hati yang putih menjadi cermin dari kesadaran diri yang jernih dan jiwa yang terhubung dengan Tuhan.
Keempat laku ini (Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan) membentuk satu kesatuan filosofi hidup yang sarat makna. Ia mengajarkan bahwa ketulusan, kepedulian, pemaafan, dan kesucian hati adalah bekal penting dalam menapaki kehidupan pasca-Ramadan. Filosofi “Laku Papat” menjadi pengingat bahwa ketupat bukan hanya simbol kemenangan, tapi juga peta perjalanan menuju kehidupan yang lebih berkah dan bermakna. Dalam balutan janur yang sederhana, tersembunyi pelajaran agung tentang bagaimana manusia seharusnya hidup, penuh cinta, damai, dan kembali ke fitrah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar